Lelaki
di Antrian
Selasa
pagi, saat selimut asap membungkus rapi kota ini, aku bergegas mengambil tas
kecilku yang berisi surat-surat penting .
Namun,
pagi ini aku juga harus mengantarkan
sepupu kecilku, Rapi Ahmah, si boncel yang sudah kelas 4 SD, iya berjanji
padaku untuk berangkat pagi-pagi sekali jam 6.30 agar ia tidak terlambat, karena hari senin kemarin aku lupa
mengantarkannya, alhasil jam 7 kukebut supra putihku menuju sekolahnya.
Dan
pagi ini jam 6.30 aku sudah standby
di rumahnya, tetapi tu kurcaci kecil baru sarapan pagi, bundanya telat membangunkannya,
jadi aku yang gantian menunggunya
sejenak. Sembari menunggu, aku memilih mengangsur mengisi formulir pembuatan
pasport yang kemarin pagi kuambil dari kantor imigrasi.
Akhirnya
jam 06.50 aku berangkat mengantarkan si kurcaci ke sekolahnya, lalu memacu
sepeda motorku menuju kantor imigrasi yang hanya membutuhkan waktu 10 menit
dari sekolahnya Rapi. Sepanjang perjalanan aku masih teringat pesan dari bapak
yang bertugas di kantor imigrasi kemarin pagi.
“Formulir ini diisi saja di rumah,
besok pagi-pagi datang ke sini ya?” pesannya.
“PAGI?”
Jawabku penuh kebingungan.
“Iya, yang lain mengantri dari jam
7.00 pagi kamu juga besok jam 7 harus sudah di sini.”
Jelasnya
“Oh, memang jam 9 sekarang g bisa
ya Pak?” tanyaku polos.
“g bisa,, nomor antriannya sudah
habis, sehari hanya untuk 70 orang saja, termasuk lansia dan anak di bawah umur.”
Balasnya dengan tenang.
Baiknya
petugas ini fikirku, dan seketika itu juga aku langsung berfikir untuk hadir
jam 7.00 tepat di kantor imigrasi.
Sayangnya
pukul 07.10 aku baru sampai di parkiran kantor imigrasi, bergegasku berjalan ke
tempat antrian dan ada satu kata saat aku sampai di sana.
“wow”
Sejenak
aku terperanjat dengan antrian yang sudah berjejer dua banjar, tanpa fikir
panjang aku langsung ikutan ngantri di belakang seorang laki-laki dan di
sebelah kananku juga ada bapak-bapak yang mensejajariku, setelah aku perkirakan,
kuhitung dan kuanalisa maka sepertinya aku akan berada di antrian 40 an...
“huft”...
Dan kalian tahu, kantor ini baru akan dibuka
pukul 08.00 WIB. Baiklah satu jam kedepan apa yang akan aku lakukan.
Aku
sedikit menunduk sembari mencari buku apa yang bisa kubaca menjelang pukul 08.00. Aku tersenyum bahagia saat
kuambil novel Ayah karya Andrea Hirata di tas pinggangku, tiba-tiba kepalaku
beradu dengan punggung seorang pemuda yang antri tepat di depanku.
“Maaf bang”
Sapaku sopan.
Ia
menoleh dan hanya tersenyum, dan itu adalah senyuman termanis yang kutemui pagi
ini, aku terpana dibuatnya, dan aku mulai berimajinasi merangkai impian-impian
aneh, seperti misalnya jodohku di antrian kantor imigrasi, ah aku langsung
cepat-cepat istigfar.
Kubaca
novel Ayah perlahan lalu membalikkannya secara cepat, karena aku adalah tipikal
orang yang bisa membaca cepat, sesekali aku tersenyum karena kelucuan di novel
ini, dan kenyamaanku dalam membaca mulai terganggu dengan motor pegawai kantor
imigrasi yang lalu lalang membelah antrian. Maklumlah kami antri di depan loket
lapangan parkir pegawai, jadi... ya ketika seorang pegawai datang kami terpaksa
memberikan jalan, maju kedepan atau mundur ke belakang. Dan inilah bagian yang
sungguh menguji keimananku, bagaimana bisa? Tentu saja
Setelah
ada seorang ibu-ibu dan 3 anak gadisnya ikutan antri di belakangku, bayangkan kalian tahu berurusan dengan ibu-ibu itu
membuat hati sering kesal, jadi tu ibu-ibu suka memepet barisan, maju-maju
sambil membuatku bergeser ke depan, nah jikalau aku bergeser kedepan artinya
aku akan berada pas di belakang punggung laki-laki bersenyum manis ini, dan ini
mengganggu kenyamananku.
Aku
berusaha membuat bentengku sendiri berusaha tidak bergeming saat antrian
terdorong kedepan, tetapi yah gitu tu ibu-ibu tetep aja maju, mengenai
punggunggu. Dan aku beristigfar berkali-kali, rasanya ingin bertukar posisi
antrian tetapi apa daya, ini masalah kebutuhan, aku butuh antrian ini dan tidak
akan kuulangi lagi untuk mengantri dari jam 7 pagi.
Kupilih
memasukkan novelku kembali ke dalam tas, dan fokus kedepan. Dan aku terfokus ke
kepala pemuda yang persis berada di depanku, jarak kami mungkin hanya sejengkal
saja, yah sejengkal, dan jarak ini membuatku bisa melihat semuanya, dimulai
dari gaya rambutnya yang belah samping kiri, rambut hitamnya yang lurus dan
sedikit lengket, kukira itu efek minyak rambut yang di pakainya, baju kemeja
setengah lengan yang dikenakannya, celana levis biru yang menutupi kakinya,
ditambah sepatu kets yang biasa kupakai saat hiking.
Ya
Allah, kulihat ia begitu sempurnya, dan satu lagi yah satu lagi ia lebih tinggi
sejengkal dariku, akupun hampir luluh. Perfecman
fikirku langsung, tetapi lagi-lagi tipikal darah O ku kembali muncul. Aku
adalah pengamat yang ulung, kulihat jari-jari tangannya saat ia melipat kedua
tangannya, aku memperhatikan kuku-kukunya, dan ternyata aku langsung sedikit down, kukunya panjang-panjang sepertinya bukan dipanjangin buat gaya, tapi panjang 0,5 cm,
sedangkan aku tidak suka pada siapapun yang memiliki kuku panjang, jika rasanya kuku jariku saja sudah tumbuh
panjang aku akan segera memotongnya, karena itu adalah tempat setan bergantung,
bayangkan 10 jari kita membawa setan kemana-mana dan dia bergelantungan di
jari-jari kita.,
Aku
terdiam, sebenarnya aku juga sedang mencari kekurangannya agar aku tidak
terpedaya dengan pesona ketampanan serta kesempurnaan dirinya. Selanjutnya aku
dari tadi mendengarkan ia dan lelaki yang di sebelah kanannya yang ternyata
ayahnya, aku bergumam sendiri
“sebesar ini, ngurus pasport ditemenin
ayah? G mandiri ya...?”
Dan
aku menemukan kekurangannya, dan lagi kudengar surat-surat yang dibawanya
kurang lengkap, yaitu ijazahnya tidak ia bawa, syarat pengurusan pasport itu
adalah KK, AKTE, KTP Asli, jika tidak ada akte bisa diganti dengan ijazah, dan
ia tidak membawa ijazahnya. Kembali dalam hati aku bergumam.
“ni orang niat buat pasport atau g
scih? Kok g prepare dari rumah apa yang mau dibawa dan apa saja yang
dibutuhkan, dan kenapa semuanya bergantung dengan ayahnya...”
Seketika
pintu loket dibuka, dan petugas sudah berdiri bersiap membagikan nomor antrian,
dan nomor yang ia pegang hanya 70 antrian. Sementara antrian sudah memanjang
menutupi jalan dan pinggir gedung, akupun menghela nafas, setidaknya penantian
mengantri ini ada hasilnya juga.
Perlahan
antrian mulai bergerak pelan, satu persatu orang-orang yang mengantri tadi
sudah mengisi formulir dan sebagian ada yang kembali pulang karena kurang
syarat, sebagian lagi memfotocopy syaratnya, dan aku masih kesal karena 4
wanita di belakangku tidak sabar bahkan terkesan mendorongku, akupun hampir
saja menyentuh punggung pemuda di depanku, hingga pergerakan antrian sampai di
satu anak tangga, kebelutan ada satu saja anak tangga untuk sampai di pintu
loket, dan ini menguji imanku, ya Allah jaraknya kini denganku hanya sehelai
rambut di tambah dorongan ibu-ibu di belakangku, hingga aku memutuskan untuk
tidak menaiki anak tangga itu memilih bertahan di bawah saja.
Ibu-ibu
di belakang mencoba mendesakku dengan dorongannya, hampir saja aku menoleh dan
ingin menegurnya tetapi aku terdiam ketika mendengar petugas loket mengatakan
kepada pemuda di depanku kalau syaratnya kurang dan tidak bisa diproses,
alhasil harus mengulang ngantri besok pagi, ayahnya terlihat sangat kesal dan
marah, tetapi apa mau dikata, hanya sang ayah yang dapat nomor antrian dan aku
juga akhirnya mendapatkan no antrian serta terbebas dari jerat antrian yang tak
berhijab ini.
Aku
lega sangat sangat lega, kulihat nomor antrianku 46 setelah ayahnya 45. Aku
memperlihatkan syarat-syarat yang kubawa dan semuanya lengkap, sehingga aku
tinggal menunggu sesi wawancara dan foto untuk pasport.
Kuperhatikan
di sekitar ruangan mencoba mencari tempat duduk untuk menunggu, dan akhirnya
aku sudah menemukan tempat duduk yang membuatku bisa merenggangkan otot kaki
dan bernafas sejenak dari proses antrian ini.
Sekarang
tinggal menunggu nomor antrian dipanggil dan selesai. Namun sayang, kulirik jam
tanganku sudah menunjukkan pukul 09.30 artinya aku hanya punya waktu sampai jam
12.00 karena si kurcaci Rapi Ahmad harus dijemput dan tidak mungkin aku
mengabaikannya, sementara aku tidak tahu antrianku ini apakah sebelum istirahat
siang atau malah sesudah istirahat siang. Aku lumayan galau, hingga akhirnya
terdengar suara di langit-langit kantor.
“Perhatian untuk urutan nomor 50
hingga 70 akan dilaksanakan stelah istirahat siang pukul 13.15”
Kembali
aku menarik nafas lega, semoga aku bisa menyelesaikan ini tepat waktu, dan
sekrang baru antrian 11, ya Allah.... kembali menunggu sampai jam 12.00
Aku
memilih membaca kembali novel ayah yang kubawa, karena aku lupa membawa mushaf
Alqur’anku, yang terbawa dalam tas pinggang ini hanya novel serta berkas-berkas
penting, sementara Alqur’an kuletakkan di tas ranselku dan aku lupa memindahkannya
ke tas pinggangku ini.
Dan
aku tersenyum saat pukul 11.30 urutan 45 dan 46 dipanggil dan proses ini
kuanggap selesai, menjelang sampai di counter
aku memperhatikan pemuda tadi yang menemani ayahnya, tertinggal di kursi tunggu,
aku memperhatikannya dan iapun menoleh kepadaku spontan kubagi ia senyuman
reflekku yang semoga tidak meninggalakn apa-apa di hatinya..
Kamu,
yah kamu, lelaki di antrian yang entah siapa...