Rabu, 22 Juli 2015

Makwo dengan Rumah itu



Makwo dengan Rumah itu
Lebaran kali ini sama seperti biasanya tidak ada yang berubah, ada sich mungkin pertumbuhan badanku, usiaku, serta adek-adek yang semakin dewasa. Yah, kini usiaku sudah 23 tahun aku sudah menyelesaikan Sarjanaku impian sederhana orangtuaku dan alhamdulillah aku sudah diterima kerja di salah satu dinas sosial tempat yang sangat kusukai.
Nah, kali ini setelah sholat ied bersama-sama warga di lapangan kebanggaan kami, biasanya aku akan mengelilingi rumah tetangga- tetanggaku, yah aku orang yang sangat peduli dengan keadaan tetanggaku terutama lebaran ini aku harus bisa mengunjungi rumah mereka satu persatu.
Akan kuhabiskan waktu setengah hari untuk keliling, karena setelah zuhur aku akan “nonggok” kalian tahu artinya? Yah “nonggok” atau berdiam lama di salah satu tempat atau duduk berjam-jam di sana, di mana lagi kalau bukan di rumah makwo.
Rumah makwo merupakan tempat favoritku setiap kali lebaran. Sedari kecil masa-masa nakal dan jahil hingga sekarang sudah menjadi gadis dewasa aku masih saja betah berlama-lama di rumah makwo.
Makwo tidak ada ikatan nasab dengan keluarga kami, dia hanya orang rantau sama seperti keluargaku, dulu saat ayah dan ibu memutuskan merantau ke kota minyak ini usiaku masih 2 tahun dan abangku 4 tahun, dan tetangga kami saat itu adalah makwo yang kebetulan orang yang paling tua di rumah bedengan itu, dan makwo beserta suaminya sangat menyayangiku dan abang, mereka sudah menganggap kami anaknya sendiri, walaupun sebenarnya makwo sudah memiliki 5 orang anak, Bang Robi, Bang Dedek, K Susan, Bang Rudi dan si bungsu Yanti, tetapi entahlah abang-abang itupun sudah menganggap kami adiknya sendiri.
Aku sempat bertanya sama makwo saat itu,
“Makwo, kenapa ya abang-abang tu suka jahilin uli?” Tanyaku polos saat baru masuk sekolah Dasar.
Eh bang Rudi langsung ngejawab spontan,
“Karena gigi kelinci kamu...” Ia berlalu sembari mencubit pipi caby ku..
Spontan aku mengejarnya.
Ah, masa kecilku bersama keluarga makwo memang indah. Tapi kamipun tidak selamanya tinggal di bedeng itu, terkadang kami berpindah-pindah karena uang sewa yang suka naik tiba-tiba. Sementara makwo masih bertahan di bedengan ini. Dan walaupun rumahku jauh dari rumah makwo, aku tetap tidak absen datang ke rumahnya selalu kusempatkan ke sana, menggunakan sepeda ayahku yang tinggi, aku tidak peduli. tujuanku adalah rumah makwo.
Dan sesampainya di sana, pakwo menyambutku sambil mengacak-acak rambut panjangku,
“Dasar nakal! memanglah anak gadis pakwo satu ini, g pernah absen ke sini, udah jadi posko rumah pakwo ini dibuatnya.” Kata pakwo sambil tersenyum hangat kepadaku.
Dan aku hanya senyum lalu berlari ke dapur mencari opor ayam buatan makwo.
Pakwo juga sayang sama kami, pakwo bekerja di “kelenteng” rumah ibadah orang budha dekat rumah kami, ia masuk malam dan pulang pagi, seperti satpam, dan ketika pulang ia suka membawa lilin-lilin merah kepunyaan kelenteng yang sudah tidak bisa digunakan lagi, itu yang nantinya akan aku mainkan bersama si bungsu Yanti.
Lebaranku setiap tahun selalu saja seperti itu, hingga kala itu di tengah masa sekolahku, Pakwo meninggal dunia, jantungku berasa berhenti seketika mematung di depan pintu rumah makwo, aku melihat makwo sudah menangis di samping jenazah pakwo, k Susan bang Robi dan bang Rudi sudah duduk di sisi pakwo, hanya bang Dedek yang mengamuk, ia tidak menerima kenyataan kalau pakwo meninggal, bahkan tangannya lebab meninju pintu rumah, tidak percaya akan apa yang terjadi, sementara Yanti di sebelahku, kami terpaku lama hingga aku tersadar oleh terikan Yanti yang keras
“BAPAK........”
Aku terduduk lemas, tida percaya dengan ini semua.
Kesedihan itu telah berlalu, rumah makwo semakin sunyi, setiap hari akupun sibuk dengan persiapan kuliahku, ada rasa bersalah saat aku harus ngekost di luar kota, tentunya aku akan merindukan masa-masa “nonggok” di rumah itu.
Tetapi demi manjaga silaturahmi, kebiasaan, serta menjaga air mata makwo agar tidak tumpah aku selalu menyempatkan diri ke sana walau hanya sekedar tidur siang atau makan siang, meski tidak selama yang kulakukan saat masa kecil dulu.
Kini, rumah makwo semakin sunyi, aku sendiri bahkan tidak ingin mengunjungi karena aku takut, yah aku takut saat aku ke sana makwo akan menangis, ia akan teringat masa kecilku bersama pakwo walau kini ia tidak melihat rambut panjangku yang berkepang, ia hanya bisa melihat jilbab panjangku serta dua gigi kelinciku yang masih utuh. Tapi ibu selalu bilang,
“udah pergilah ke rumah makwo, hibur dia, bang Robi k Susan bang Rudi udah pada nikah dan jauh, sekarang hanya Uli yang ditunggu di sana walaupun bang Dedek dan Yanti ada, tetapi senyum putri ibu ini selalu dirindukannya.”
Aku mengangguk, ibu benar dan aku akan berusaha mengalihkan pembicaraan yang akan menghadirkan kesedihan di wajah tua makwoku. Biasanya kalau pembicaraan sudah mengarah ke hal-hal sedih aku akan mengganti topik dengan memuji kue-kue buatannya dan meminta dibungkus untuk aku makan di rumah.
Yah, itulah sepenggal kisah lebaranku, tempat “nonggok” di hari raya, rumah makwoku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar