Makwo
dengan Rumah itu
Lebaran
kali ini sama seperti biasanya tidak ada yang berubah, ada sich mungkin
pertumbuhan badanku, usiaku, serta adek-adek yang semakin dewasa. Yah, kini
usiaku sudah 23 tahun aku sudah menyelesaikan Sarjanaku impian sederhana orangtuaku
dan alhamdulillah aku sudah diterima kerja di salah satu dinas sosial tempat
yang sangat kusukai.
Nah,
kali ini setelah sholat ied bersama-sama warga di lapangan kebanggaan kami,
biasanya aku akan mengelilingi rumah tetangga- tetanggaku, yah aku orang yang
sangat peduli dengan keadaan tetanggaku terutama lebaran ini aku harus bisa
mengunjungi rumah mereka satu persatu.
Akan
kuhabiskan waktu setengah hari untuk keliling, karena setelah zuhur aku akan
“nonggok” kalian tahu artinya? Yah “nonggok” atau berdiam lama di salah satu
tempat atau duduk berjam-jam di sana, di mana lagi kalau bukan di rumah makwo.
Rumah
makwo merupakan tempat favoritku setiap kali lebaran. Sedari kecil masa-masa
nakal dan jahil hingga sekarang sudah menjadi gadis dewasa aku masih saja betah
berlama-lama di rumah makwo.
Makwo
tidak ada ikatan nasab dengan keluarga kami, dia hanya orang rantau sama
seperti keluargaku, dulu saat ayah dan ibu memutuskan merantau ke kota minyak
ini usiaku masih 2 tahun dan abangku 4 tahun, dan tetangga kami saat itu adalah
makwo yang kebetulan orang yang paling tua di rumah bedengan itu, dan makwo
beserta suaminya sangat menyayangiku dan abang, mereka sudah menganggap kami
anaknya sendiri, walaupun sebenarnya makwo sudah memiliki 5 orang anak, Bang
Robi, Bang Dedek, K Susan, Bang Rudi dan si bungsu Yanti, tetapi entahlah
abang-abang itupun sudah menganggap kami adiknya sendiri.
Aku
sempat bertanya sama makwo saat itu,
“Makwo, kenapa ya abang-abang tu
suka jahilin uli?” Tanyaku polos saat baru masuk sekolah
Dasar.
Eh
bang Rudi langsung ngejawab spontan,
“Karena gigi kelinci kamu...”
Ia berlalu sembari mencubit pipi caby ku..
Spontan
aku mengejarnya.
Ah,
masa kecilku bersama keluarga makwo memang indah. Tapi kamipun tidak selamanya
tinggal di bedeng itu, terkadang kami berpindah-pindah karena uang sewa yang
suka naik tiba-tiba. Sementara makwo masih bertahan di bedengan ini. Dan
walaupun rumahku jauh dari rumah makwo, aku tetap tidak absen datang ke
rumahnya selalu kusempatkan ke sana, menggunakan sepeda ayahku yang tinggi, aku
tidak peduli. tujuanku adalah rumah makwo.
Dan
sesampainya di sana, pakwo menyambutku sambil mengacak-acak rambut panjangku,
“Dasar nakal! memanglah anak gadis
pakwo satu ini, g pernah absen ke sini, udah jadi posko rumah pakwo ini
dibuatnya.” Kata pakwo sambil tersenyum hangat
kepadaku.
Dan
aku hanya senyum lalu berlari ke dapur mencari opor ayam buatan makwo.
Pakwo
juga sayang sama kami, pakwo bekerja di “kelenteng” rumah ibadah orang budha dekat
rumah kami, ia masuk malam dan pulang pagi, seperti satpam, dan ketika pulang
ia suka membawa lilin-lilin merah kepunyaan kelenteng yang sudah tidak bisa
digunakan lagi, itu yang nantinya akan aku mainkan bersama si bungsu Yanti.
Lebaranku
setiap tahun selalu saja seperti itu, hingga kala itu di tengah masa sekolahku,
Pakwo meninggal dunia, jantungku berasa berhenti seketika mematung di depan
pintu rumah makwo, aku melihat makwo sudah menangis di samping jenazah pakwo, k
Susan bang Robi dan bang Rudi sudah duduk di sisi pakwo, hanya bang Dedek yang
mengamuk, ia tidak menerima kenyataan kalau pakwo meninggal, bahkan tangannya
lebab meninju pintu rumah, tidak percaya akan apa yang terjadi, sementara Yanti
di sebelahku, kami terpaku lama hingga aku tersadar oleh terikan Yanti yang
keras
“BAPAK........”
Aku
terduduk lemas, tida percaya dengan ini semua.
Kesedihan
itu telah berlalu, rumah makwo semakin sunyi, setiap hari akupun sibuk dengan
persiapan kuliahku, ada rasa bersalah saat aku harus ngekost di luar kota,
tentunya aku akan merindukan masa-masa “nonggok” di rumah itu.
Tetapi
demi manjaga silaturahmi, kebiasaan, serta menjaga air mata makwo agar tidak
tumpah aku selalu menyempatkan diri ke sana walau hanya sekedar tidur siang
atau makan siang, meski tidak selama yang kulakukan saat masa kecil dulu.
Kini,
rumah makwo semakin sunyi, aku sendiri bahkan tidak ingin mengunjungi karena
aku takut, yah aku takut saat aku ke sana makwo akan menangis, ia akan teringat
masa kecilku bersama pakwo walau kini ia tidak melihat rambut panjangku yang
berkepang, ia hanya bisa melihat jilbab panjangku serta dua gigi kelinciku yang
masih utuh. Tapi ibu selalu bilang,
“udah pergilah ke rumah makwo,
hibur dia, bang Robi k Susan bang Rudi udah pada nikah dan jauh, sekarang hanya
Uli yang ditunggu di sana walaupun bang Dedek dan Yanti ada, tetapi senyum
putri ibu ini selalu dirindukannya.”
Aku
mengangguk, ibu benar dan aku akan berusaha mengalihkan pembicaraan yang akan menghadirkan
kesedihan di wajah tua makwoku. Biasanya kalau pembicaraan sudah mengarah ke
hal-hal sedih aku akan mengganti topik dengan memuji kue-kue buatannya dan
meminta dibungkus untuk aku makan di rumah.
Yah,
itulah sepenggal kisah lebaranku, tempat “nonggok” di hari raya, rumah
makwoku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar