Jumat, 31 Juli 2015

Lelaki di Antrian



Lelaki di Antrian
Selasa pagi, saat selimut asap membungkus rapi kota ini, aku bergegas mengambil tas kecilku yang berisi surat-surat penting .
Namun,  pagi ini aku juga harus mengantarkan sepupu kecilku, Rapi Ahmah, si boncel yang sudah kelas 4 SD, iya berjanji padaku untuk berangkat pagi-pagi sekali jam 6.30 agar ia tidak terlambat,  karena hari senin kemarin aku lupa mengantarkannya, alhasil jam 7 kukebut supra  putihku menuju sekolahnya.
Dan pagi ini jam 6.30 aku sudah standby di rumahnya, tetapi tu kurcaci kecil baru sarapan pagi, bundanya telat membangunkannya, jadi aku yang gantian  menunggunya sejenak. Sembari menunggu, aku memilih mengangsur mengisi formulir pembuatan pasport yang kemarin pagi kuambil dari kantor imigrasi.
Akhirnya jam 06.50 aku berangkat mengantarkan si kurcaci ke sekolahnya, lalu memacu sepeda motorku menuju kantor imigrasi yang hanya membutuhkan waktu 10 menit dari sekolahnya Rapi. Sepanjang perjalanan aku masih teringat pesan dari bapak yang bertugas di kantor imigrasi kemarin pagi.
“Formulir ini diisi saja di rumah, besok pagi-pagi datang ke sini ya?” pesannya.
“PAGI?” Jawabku penuh kebingungan.
“Iya, yang lain mengantri dari jam 7.00 pagi kamu juga besok jam 7 harus sudah di sini.” Jelasnya
“Oh, memang jam 9 sekarang g bisa ya Pak?” tanyaku polos.
“g bisa,, nomor antriannya sudah habis, sehari hanya untuk 70 orang saja, termasuk lansia dan anak di bawah umur.” Balasnya dengan tenang.
Baiknya petugas ini fikirku, dan seketika itu juga aku langsung berfikir untuk hadir jam 7.00 tepat di kantor imigrasi.
Sayangnya pukul 07.10 aku baru sampai di parkiran kantor imigrasi, bergegasku berjalan ke tempat antrian dan ada satu kata saat aku sampai di sana.
“wow”
Sejenak aku terperanjat dengan antrian yang sudah berjejer dua banjar, tanpa fikir panjang aku langsung ikutan ngantri di belakang seorang laki-laki dan di sebelah kananku juga ada bapak-bapak yang mensejajariku, setelah aku perkirakan, kuhitung dan kuanalisa maka sepertinya aku akan berada di antrian 40 an...
“huft”...
Dan  kalian tahu, kantor ini baru akan dibuka pukul 08.00 WIB. Baiklah satu jam kedepan apa yang akan aku lakukan.
Aku sedikit menunduk sembari mencari buku apa yang bisa kubaca menjelang  pukul 08.00. Aku tersenyum bahagia saat kuambil novel Ayah karya Andrea Hirata di tas pinggangku, tiba-tiba kepalaku beradu dengan punggung seorang pemuda yang antri tepat di depanku.
“Maaf bang” Sapaku sopan.
Ia menoleh dan hanya tersenyum, dan itu adalah senyuman termanis yang kutemui pagi ini, aku terpana dibuatnya, dan aku mulai berimajinasi merangkai impian-impian aneh, seperti misalnya jodohku di antrian kantor imigrasi, ah aku langsung cepat-cepat istigfar.
Kubaca novel Ayah perlahan lalu membalikkannya secara cepat, karena aku adalah tipikal orang yang bisa membaca cepat, sesekali aku tersenyum karena kelucuan di novel ini, dan kenyamaanku dalam membaca mulai terganggu dengan motor pegawai kantor imigrasi yang lalu lalang membelah antrian. Maklumlah kami antri di depan loket lapangan parkir pegawai, jadi... ya ketika seorang pegawai datang kami terpaksa memberikan jalan, maju kedepan atau mundur ke belakang. Dan inilah bagian yang sungguh menguji keimananku, bagaimana bisa? Tentu saja
Setelah ada seorang ibu-ibu dan 3 anak gadisnya ikutan antri di belakangku, bayangkan  kalian tahu berurusan dengan ibu-ibu itu membuat hati sering kesal, jadi tu ibu-ibu suka memepet barisan, maju-maju sambil membuatku bergeser ke depan, nah jikalau aku bergeser kedepan artinya aku akan berada pas di belakang punggung laki-laki bersenyum manis ini, dan ini mengganggu kenyamananku.
Aku berusaha membuat bentengku sendiri berusaha tidak bergeming saat antrian terdorong kedepan, tetapi yah gitu tu ibu-ibu tetep aja maju, mengenai punggunggu. Dan aku beristigfar berkali-kali, rasanya ingin bertukar posisi antrian tetapi apa daya, ini masalah kebutuhan, aku butuh antrian ini dan tidak akan kuulangi lagi untuk mengantri dari jam 7 pagi.
Kupilih memasukkan novelku kembali ke dalam tas, dan fokus kedepan. Dan aku terfokus ke kepala pemuda yang persis berada di depanku, jarak kami mungkin hanya sejengkal saja, yah sejengkal, dan jarak ini membuatku bisa melihat semuanya, dimulai dari gaya rambutnya yang belah samping kiri, rambut hitamnya yang lurus dan sedikit lengket, kukira itu efek minyak rambut yang di pakainya, baju kemeja setengah lengan yang dikenakannya, celana levis biru yang menutupi kakinya, ditambah sepatu kets yang biasa kupakai saat hiking.
Ya Allah, kulihat ia begitu sempurnya, dan satu lagi yah satu lagi ia lebih tinggi sejengkal dariku, akupun hampir luluh. Perfecman fikirku langsung, tetapi lagi-lagi tipikal darah O ku kembali muncul. Aku adalah pengamat yang ulung, kulihat jari-jari tangannya saat ia melipat kedua tangannya, aku memperhatikan kuku-kukunya, dan ternyata aku langsung sedikit down, kukunya panjang-panjang  sepertinya bukan  dipanjangin buat gaya, tapi panjang 0,5 cm, sedangkan aku tidak suka pada siapapun yang memiliki kuku panjang,  jika rasanya kuku jariku saja sudah tumbuh panjang aku akan segera memotongnya, karena itu adalah tempat setan bergantung, bayangkan 10 jari kita membawa setan kemana-mana dan dia bergelantungan di jari-jari kita.,
Aku terdiam, sebenarnya aku juga sedang mencari kekurangannya agar aku tidak terpedaya dengan pesona ketampanan serta kesempurnaan dirinya. Selanjutnya aku dari tadi mendengarkan ia dan lelaki yang di sebelah kanannya yang ternyata ayahnya, aku bergumam sendiri
“sebesar ini, ngurus pasport ditemenin ayah? G mandiri ya...?”
Dan aku menemukan kekurangannya, dan lagi kudengar surat-surat yang dibawanya kurang lengkap, yaitu ijazahnya tidak ia bawa, syarat pengurusan pasport itu adalah KK, AKTE, KTP Asli, jika tidak ada akte bisa diganti dengan ijazah, dan ia tidak membawa ijazahnya. Kembali dalam hati aku bergumam.
“ni orang niat buat pasport atau g scih? Kok g prepare dari rumah apa yang mau dibawa dan apa saja yang dibutuhkan, dan kenapa semuanya bergantung dengan ayahnya...”
Seketika pintu loket dibuka, dan petugas sudah berdiri bersiap membagikan nomor antrian, dan nomor yang ia pegang hanya 70 antrian. Sementara antrian sudah memanjang menutupi jalan dan pinggir gedung, akupun menghela nafas, setidaknya penantian mengantri ini ada hasilnya juga.
Perlahan antrian mulai bergerak pelan, satu persatu orang-orang yang mengantri tadi sudah mengisi formulir dan sebagian ada yang kembali pulang karena kurang syarat, sebagian lagi memfotocopy syaratnya, dan aku masih kesal karena 4 wanita di belakangku tidak sabar bahkan terkesan mendorongku, akupun hampir saja menyentuh punggung pemuda di depanku, hingga pergerakan antrian sampai di satu anak tangga, kebelutan ada satu saja anak tangga untuk sampai di pintu loket, dan ini menguji imanku, ya Allah jaraknya kini denganku hanya sehelai rambut di tambah dorongan ibu-ibu di belakangku, hingga aku memutuskan untuk tidak menaiki anak tangga itu memilih bertahan di bawah saja.
Ibu-ibu di belakang mencoba mendesakku dengan dorongannya, hampir saja aku menoleh dan ingin menegurnya tetapi aku terdiam ketika mendengar petugas loket mengatakan kepada pemuda di depanku kalau syaratnya kurang dan tidak bisa diproses, alhasil harus mengulang ngantri besok pagi, ayahnya terlihat sangat kesal dan marah, tetapi apa mau dikata, hanya sang ayah yang dapat nomor antrian dan aku juga akhirnya mendapatkan no antrian serta terbebas dari jerat antrian yang tak berhijab ini.
Aku lega sangat sangat lega, kulihat nomor antrianku 46 setelah ayahnya 45. Aku memperlihatkan syarat-syarat yang kubawa dan semuanya lengkap, sehingga aku tinggal menunggu sesi wawancara dan foto untuk pasport.
Kuperhatikan di sekitar ruangan mencoba mencari tempat duduk untuk menunggu, dan akhirnya aku sudah menemukan tempat duduk yang membuatku bisa merenggangkan otot kaki dan bernafas sejenak dari proses antrian ini.
Sekarang tinggal menunggu nomor antrian dipanggil dan selesai. Namun sayang, kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 09.30 artinya aku hanya punya waktu sampai jam 12.00 karena si kurcaci Rapi Ahmad harus dijemput dan tidak mungkin aku mengabaikannya, sementara aku tidak tahu antrianku ini apakah sebelum istirahat siang atau malah sesudah istirahat siang. Aku lumayan galau, hingga akhirnya terdengar suara di langit-langit kantor.
“Perhatian untuk urutan nomor 50 hingga 70 akan dilaksanakan stelah istirahat siang pukul 13.15”
Kembali aku menarik nafas lega, semoga aku bisa menyelesaikan ini tepat waktu, dan sekrang baru antrian 11, ya Allah.... kembali menunggu  sampai jam 12.00
Aku memilih membaca kembali novel ayah yang kubawa, karena aku lupa membawa mushaf Alqur’anku, yang terbawa dalam tas pinggang ini hanya novel serta berkas-berkas penting, sementara Alqur’an kuletakkan di tas ranselku dan aku lupa memindahkannya ke tas pinggangku ini.
Dan aku tersenyum saat pukul 11.30 urutan 45 dan 46 dipanggil dan proses ini kuanggap selesai, menjelang sampai di counter aku memperhatikan pemuda tadi yang menemani ayahnya, tertinggal di kursi tunggu, aku memperhatikannya dan iapun menoleh kepadaku spontan kubagi ia senyuman reflekku yang semoga tidak meninggalakn apa-apa di hatinya..
Kamu, yah kamu, lelaki di antrian yang entah siapa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar