Jumat, 25 September 2015

Sepatu Biru Debot (Undami Explorer 2)



Sepatu Biru Debot
(Cerpen Undami Eksplorer C.2)
          Senin yang masih diselimuti kabut asap nan semakin pekat, bahkan jarak pandang hanya 100 meter saja, belum lagi unsur asap bercampur dengan racun yang hanya akan membahayakan pernafasan serta paru-paru. Sekolahnya undami sebenarnya hari senin tidak ada KBM (Kegiatan Belajar Mengajar).
          Namun dikarenakan ada beberapa hal yang harus diselesaikan di sekolah, akhirnya undami memutuskan untuk rapat bertiga ditemani Edi yang kebetulan harus menyelesaikan kuisioner dan membantu kurikulum menyelesaikan jadwal lalu memprintnya agar selasa bisa dibagikan, dan ketika asap ini sempurna hilang, semuanya bisa diaplikasikan segera.
          Mereka berempat berjibaku di ruangan guru, kertas yang berserakan serta printer yang masih berjalan dengan lancar walaupun hasil print tidak sebagus yang diharapkan, namun masih bisa dibaca juga tulisannya.
“Pak Edi butuh print berapa untuk yaumiyah anak-anak SD?” Tanya uun di sela kesibukan mereka.
“60 buk,,” Jawab Edi yang masih sibuk dengan laptopnya sendiri, sembari bersenandung lagu-lagu nasyid yang ia hidupkan.
“Kamu bisa diam g Pak? Suara kamu mengganggu konsentrasi saya.!” Mamik yang posisinya tidak jauh dari Edipun berkomentar.
          Yang ditegur malah semakin menjadi-jadi melengkingkan suara ke udara membuat uda dan uun tertawa berbarengan.
“Ndeh... keg ginilah ya, kalo Edi lagi kerja, heboh.., berisik..!!!!!.” Komentar mamik ceplas ceplos.
          Edipun tak mau kalah,
“Santai lah Buk, ibuk tu kerjakan saja kerjaan ibuk, jangan komentar...”
          Edi dan mamik ini tidak pernah akur jika bertemu, apalagi jika ada debot wah.., makin parah ajalah keterpurukannya mamik, apalagi kali ini, uda yang usil ikut bantuin Edi.
“Iya.., santai ajalah mik, kalau nggak, ribut-ribut jugalah, nyanyi-nyanyi jugalah....” Balas uda santai
          Mereka berempat ini sedang menyelesaikan tugas masing-masing, sebelumnya mereka mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri, dan kali ini karena terdesak harus dikerjaan bersama, dan butuh team work, kita juga jadi tahu bagaimana mereka bekerja, ada yang bisa menyelsaikan sesuatu dengan diam-diam saja, ada yang butuh musik, atau murotal, ada juga yang sambil kerja dibarengi nonton, ada juga yang jika mengerjakan sesuatu malah nyusun-nyusun benda yang ada di meja baru bekerja, nah beda tipe ini bertemu dalam satu rungan sederhana, alhasil ya gitu, sekalinya ribut, ribut banget tetapi selaginya diam, diam banget ampe suara cicak aja bisa kedengeran.
          Setelah asyik bekerja, tiba-tiba mereka semua terdiam, bahkan musik di laptop Edipun sudah mati, hingga akhirnya terdengar sesuatu, ada rona curiga di wajahnya Edi, uun yang duduk selurus dengan Edipun heran.
“Kenapa Ed?” Tanya uun penasaran.
          Edi hanya diam, dan memperhatikan lurus ke jendela yang berada di atas kepala uun, kebetulan di ruangan ini mereka duduk lesehan, tanpa kursi, mejanyapun meja sederhana, tidak tinggi seperti pada umumnya.
          Tiba-tiba Edi berdiri.
“Oi........” Pekiknya keras.
“Diambilnya sepatu Debot.....” Tambahnya lagi dengan nada setengah teriak.
          Undami berdiri dan saling terkejut, Edi yang baru menyadari keadaanpun memilih langkah seribu mengejar anak laki-laki bersegaram sekolah itu, uda yang reflek terkejut, mengambil kunci hondanya dan ikut mengejar ke luar.
“G terkejar sepertinya mik, anak itu langsung loncat ke honda temennya, Edi udah terlanjur lari..” Jelas uun
“iya ya un? mamik fikir dia jalan un, tapi ya Allah,. Sepatunya debot..” Balas mamik dengan nada sedih.
          Uun dan mamik ditinggal berdua di kantor, dengan perasaan yang cemas, sementara debot masih berjibaku di ruangan pribadinya, tak lama kemudian Edi kembali, dan uda juga sudah kembali.
“G terkejar doh.., mereka ngebut....” Kata uda
“Saya  rasa bukan anak kita, soalnya wajahnya saya g kenal, tetapi pake seragam sekolah, kok berani ya dia...??” Kata Edi sembari berjalan memasuki kantor.
“Kok bisa kamu tahu Ed, kami aja hanya dengar suara kaki, kirain si debot lagi ke dapur atau masih di ruangan sebelah.” Kata Mamik
          Debot yang sedang dibicarakanpun keluar dari ruangannya dan menuju ruang guru.
“Kenapa un?” Tanya nya penasaran
“Sepatu biru kamu diambil orang bot, udah dikejar tapi g dapet...” Jawab uun.
          Debot langsung mengambil kunci hondanya dan seketika pula mengejar anak-anak tersebut, sepertinya ia tahu dimana anak-anak itu sembunyi.
“Emang debot tahu?” Tanya mamik
“Entahlah..” Jawab uun, uda dan Edi bersamaan.

          Merekapun saling diam di kantor, tidak ada penjelasan apapun, karena sudah terlanjur terlambat, dan tidak ada yang tahu siapa yang telah mengambil sepatunya debot, debot yang mendapati sepatunya hilangpun sudah kembali dari pencarian yang terlambat, dan ia hanya bisa berkomentar pendek
“Sudah diincar sepertinya, sepatu itukan selalu terpajang di luar, dan jarang gue pakai, bisajadi anak itu terlanjur suka sama sepatu biru gue, yaudah gpp, belum rezeki..” Katanya singkat.
“Kedepannya kita harus waspada, sekolah kita ini udah terlanjur terkenal, dan pasti ada yang suka, tentunya banyak juga yang g suka, kita harus siap siaga dengan segala kemungkinan, debot juga harus lebih waspada dan berhat-hati dengan orang yang tidak dikenal, kalau ada apa-apa infokan segera..” Ujar uda panjang lebar. Sifat Protektifnya keluar dech...
          Undami dan Edipun tak bisa berkata apa-apalagi, kini merekapun kembali tenggelam dalam pekerjaannya masing-masing.

          Oiya selang beberapa jam, ada kejadian lagi di sekolah mereka, nantikan di Undami Eksplorer 3 ya...

Kamis, 24 September 2015

Undami Explorer C.1



Pak Nasihin, Bapak Seribu
( Cerpen : Undami Explorer 1)
Sedikit, sebelum kita mengetahui perjalanan Undami, baiknya kita kenalan dulu dengan mereka, okeh.. undami merupakan singkatan dari panggilan tiga orang yang sifatnya hampir sama, tidak jauh berbeda, yaitu Un yang berarti uni memiliki sifat seorang kakak, tetapi tidak jarang juga seperti adek-adek, Da yang berarti uda memiliki sifat keabangan yang mewarnai hari-hari orang di sekitarnya, jarang banget marah dan kurang sensitif, dan  mi yang berarti mamik karena tipikalnya tegas, visioner, seperti mami-mami, dan yang unik dari mereka adalah, umur mereka yang tidak jauh berbeda, mereka juga bekerja di sekolah yang sama, sekolah non formal binaannya Lembaga Amil Zakat.
Oke, cukup kenalannya, karena nanti di tulisan ini kita juga akan mengenal mereka lebih jauh, lengkap dengan karakter masing-masing.
Pagi Jum’at saat mentari pagi tidak muncul, udara yang kelam bercampur asap dan jarak pandang yang hanya 100 meter saja, laksana negeri di atas awan. Yup inilah gambaran kota Pekanbaru pagi ini.
Sebenarnya semua anak-anak diliburkan dan guru-guru juga, nah si uni yang hoby banget jalan-jalan berinisiatif buat pulkam, alias pulang kampung, heboh dech di grup mempersiapkan perjalanan ke Sumbar. Mami yang juga memiliki hoby yang sama ikut menimpali, namun lebih ekstrim lagi.
“Kita pakai motor aja ke Sumbar nya...” Celotehnya di grup Whatsapp.
Tiba-tiba pembicaraan hening, nah, se berani-beraninya uni, dia orang yang paling patuh sama peraturan, terutama peraturan ayahnya yang melarang mengunakan motor untuk pergi ke luar daerah Pekanbaru, alias g bakalan di kasih izin.
“Jangan ada yang pergi pakai motor...” Kalimat ini terasa tegas banget, yuhu...siapalagi kalau bukan uda yang membalas, kan udah dibilang di atas, sifat keabangannya keluar dech, perhatiannya datang dech.
“Lebih Hemat Pakai Motor...” Balas mamik yang g mau kalah, sebenarnya mami dan uda ini jarang banget akur, mereka lebih sering berbeda pendapat.
“Haddeh, pakai mobil uda ajalah gimana?” Dan inilah mediator sok solutif, memberikan solusi di saat yang dibutuhkan, maksudnya gini, mamik adalah orang yang g suka minta tolong, nah sedangkan uda adalah orang yang suka banget nolong, tetapi harus ada yang minta tolong dulu, hingga akhirnya datanglah uni.
“Kita sewa mobil uda aja, sekalian uda nyupirin kita ke Sumbar, gimana? pada sepakat kan????”
Dan semuanya bersorak sorai, sepakat, semuanya sudah di susun, dana juga udah disiapkan, dan tinggal eksekusi, tetapi satu orang lagi, si bungsu di antara guru-guru,  yaitu debot, adek bontot yang belum memberi kabar hingga jam 12 malam, jadilah mereka semua galau maksimal.
“Jadi pergi g ni mik?” Tanya uni.
“Tergantung debot, kalau dia g ikut, g mungkin uda sendiri laki-laki di mobil? Mahrom uda g ada, lagian yang pergi banyakan cewek-ceweknya.” Balas mamik.
“Malas lah, gini mik, yaudah kita batalin ajalah lain kali aja, pun un g suka planing yang ragu-ragu” Balas uni lagi.
Subuh jumat, balasan dari debot belum juga ada, entah apa yang terjadi dengan debot, apakah sinyal yang hilang, atau paket internet yang habis, atau ia hilang dari peredaran. Hingga akhirnya keputusan itupun dibuat.
“Kita g jadi ke Sumbarnya, debot g bisa...” Kalimat itu sigkat namun penuh muatan duka, apalagi bagi seorang uni, yang hoby bikin planing tetapi seringkali yang ia planingkan gagal.
“Un tahu dari mana g jadi berangkat?” Balas uda yang sebenarnya sudah tahu jikalau uninya kecewa, tetapi ya gitu dech, belajar ngambil hati dan membujuk, uda tahu banget jikalau uni itu pengen ke Sumbar, jadi mana mungkin uni membatalkan sesautu jika bukan terjadi sesuatu kepadanya.
“Un hanya memahami makna tersirat dari debot, mungkin ada sesuatu yang terjadi  dan dia enggan cerita, dan berat mengatakan  tidak, jadi un simpulin sendiri aja kalau g jadi, dan yang lain udah un kabarain kok kalau g jadi, dan silahkan jika mau keluar kota sendiri.!”
Tidak ada pembicaraan lagi subuh itu, semuanya hening. Hingga akhirnya jam 07.00 masuk pesan dari mamik.
“Khusus penanggung jawab Agribisnis jam 08.00 kita kunjungan ke rumah Pak Nasihin ya, beliau akan mengajarkan kita tentang hidroponik, cc undami aja”
Sayangnya pesan ini tidak terbaca oleh uni, yang sudah terlanjur kecewa karena g jadi pergi, sebenarnya bukan kecewa g jadi pergi sich, tetapi kecewa karena setiap yang ia planingkan selalu gagal, selalu gagal, tidak pernah berhasil, sebaliknya, hal yang tidak terduga selalu berhasil ia tuntaskan seketika, inilah si uni yang suddenly banget sama dengan mamik.
Sebenarnya undami ini, mereka setipe, hanya saja mami lebih tegas dan lebih terfocus serta terarah dan lebih pandai mengelola emosinya sendiri, apalagi si uda paling dewasa, paling bijaksana paling perhatian, paling baek, paling –paling dech dan sayangnya dia paling g sensitif sama sifat cewe-cewe.
Tahu pesan itu belum dibaca sama uninya, uda menjapri uun untuk mengingatkan acara kunjungan yang dibalas singkat.
“oke..”
Dan alakuli hal, uni yang paling telat mengetahui info itu menjadi orang yang pertama sekali hadir di sekolah, ini kelebihan lainnya dari uni, orangnya on time, jangan coba-coba janji dengan uni kalo kamu g berniat ontime, kamu bakalan di cap di hatinya sebagai manusia lelet.
Di susul oleh mami, yang kebiasaan banget ngaret, g tepat waktu, sering telatnya masih bisa diterima sich, 5 atau 10 menit, nah ini ni si paling ganteng di antara mereka, uda, yang telat juga, dengan seribu alasan yang udah hafal di telinganya uni
“Dah yok berangkat...” Ajak uni.
“Kita bertiga aja ni?” Tanya mami yang merasa kurang rame kalau hanya bertiga.
“Trus mamik mau ngajak siapa lagi? Di grup g ada yang diajak? Ajaklah yang lain....” Balas uni
“Udah un, udah diajakain, tapi g ada yang balas....” Komentar mamik
“Ada ni, debot yang balas, jam berapa katanya...?”Kata uda
Uun dan mamik memilih diam.
 “Oke, biar uda yang balas..debot nanya yang ke Sumbar atau yang kunjungan?” Balas uda di grup.
Alhasil setelah ditunggu dan menunggu tidak ada jawaban juga, akhirnya uni dan mamik menghidupkan motornya menuju keluar sekolah.
“Yok, kita pergi aja, takutnya ntar pak Nasihin nunggu” Ujar uni singkat
Tanpa basa basi lagi merekapun keluar pagar sekolah, termasuk uda, mamik dan uni sudah berada di luar dan menunggu uda untuk mengunci pagar, uni terdiam sementara mamik tertawa.
“Kenapa?” Tanya uni
“Liat uda....” Jawabnya singkat
Mereka menoleh ke pagar, dan seketika juga uni dan mamik tertawa serentak, bahkan sampai terbahak, uda yang ditertawakan baru menyadari jika ternyata dirinya terkurung di dalam pagar..., seharusnya uda mengunci pagar itu dari luar sementara ia malah berada di dalam sekolah dan hondanya di luar.
“Astagfirullah, uda kira uda udah di luar, haddeh... gagal focus pagi ni....” Akhirnya si uda sadar jikalau ia terkurung.
Uni dan mamik masih saja tertawa.
“Kenapa g ditegur mik?” Tanya uni
“Bukan.., bukan gitu... mamik kira, dia mau keluar lewat bawah, atau manjat, g kepikir kalo dia terkurung, ha ha ha gagal focus semuanya pagi ini...”
Perbincangan undami di pagar berakhir, mereka bertiga beriring-iringan menuju jalan Harapan Raya yang dari Rumbai membutuhkan waktu 30 menit, dengan penunjuk jalan yang terkenal, siapa dia??? tentu saja uda, yang lebih tahu alamat-alamat di kota Pekanbaru ini, secara... udakan penjelajah kota, jalanan apapun dia mah tahu, apalagi jalanan di Sumbar, wah... uda paling hafal dech tuh, kalau uda g tahu, tenang... dia g bakalan nyerah, dia akan bertanya ke sana dan kesini, bertanya ke warga atau ke siapapun yang ia temui, nah kalau g ketemu juga nih, dia pake cara terakhir, yaitu googlemap.
Jam 9 lewat sedikit undami berhasil mendarat, eh sampai di rumah pak Nasihin. Beliaupun sudah menunggu di dalam rumahnya, dan langsung keluar lalu menjelaskan tentang proses pembuatan hidroponik.
Media tanam hidroponik merupakan media yang cocok untuk kota Pekanbaru, dikarenakan lahan yang semakin sedikit dan banyaknya ruko (rumah toko) yang dibangun sepanjang kota Pekanbaru, demi melihat adanya peluang, berangsung-angsur petani mulai kreatif dengan memanfaatkan media hidroponik, menanam sayur kini tidak perlu lahan lagi, cukup membuat tempat seperti jenjang lalu ditempelkan pipa-pipa berukuran besar di setiap tingkatnya dan pipa tadi dibolongi terlebih dahulu dengan alat bor, karena nantinya hasil bolongan itu akan diletakkan bibit yang sudah ditanam di dalam mini cup or aqua gelas gitu.
Okeh, setelah pipa terpasang, maka ia akan dialiri air yang sudah bercampur nutrisi yang bermana AB Mix, dan air tadi akan dipompa dengan mesin aquarium, agar air terus dan terus mengalir, nah bibit yang sudah di dalam cup tadi di letakkan di bolongan pipa-pipa, oiya sebelumnya, bibit tadi itu tidak dikasih tanah loh, tetapi gilingan serbuk kelapa yang membuat ia tetap lembab, dan air terus meresap dan perlahan namun pasti bibit nan kecil itu suatu hari akan menjadi besar dan tumbuh menjadi sayur, kebanyakan petani hidroponik menanam sayur selada dan pakcoy sich, tapi ada juga yang nanam kangkung.
Nah, kalau g ngerti gpp dech dingertiin aja ya.
Oke kita lanjutin, lihatlah mamik dan uni, mereka sudah dari tadi mengamati sekitaran tempat penanaman bibit milik pak Nasihin, ada banyak cup cup kecil yang sudah ditumbuhi benih-benih sayuran. Sementara itu,iuda asyik berbincang dengan pak Nasihin tentang proses pembuatan media hiroponik yang ternyata, kalau pesan sama pak Nasihin harga pembuatan media aja 2.500.000 ditambah bibit 1 cup 1.000 hitung deh berapa cup yang dibutuhkan.
Mereka bertiga termasuk cepat memahami sesuatu,  hingga ada pernyataan dari pak Nasihin yang sampai sekarang masih mereka ingat.
“ini semuanya saya jual ke anak sekolah, karenakan di sekolah mereka memang prakteknya membuat hydroponik, saya jual satu cup Rp.1.000 saja, pernah suatu hari ada juga teman yang mesan sama saya bibit selada 200 cup, malam itu saya kerjakan langsung dan selesai, saya susun rapi di belakang, dan paginya... Masya Allah habis di makanin tikus, ternyata tikus di rumah saya ini suka dengan selada, hilanglah uang Rp 200.000 saya.. he he he..” Jelas pak Nasihin sambil tertawa renyah.
Uda demi mendengar tikus menyukai selada, langsung menoleh ke arah uni dan mamik, dengan nada sedikit berbisik ia berkata
“cie.... tikus pecinta selada dang....”
Mendengar itu, uni dan mamik tersenyum sinis, karena uni dan mamik adalah pecinta selada.
Perjalanan mereka g sampai di sini, pak Nasihin mengajak mereka melihat media tanam yang lebih canggih yaitu dengan cara di infus dan nantinya airnya nyiram sendiri.
Ternyata tempatnya steril banget, tanaman pakcoy sekitaran seratusan pot di tanam di sana, dan memang seperti taman bunga, tetapi g ada rumput dan pake kelambu, hee.... sejenis kelambu atau bahasa kerennya paranet, dan udah dialirin pipa-pipa yang setiap tiga jam sekali pipa itu akan mengeluarkan air sendiri alias nyiram sndiri.
Undami terlihat bahagia di sini terutama mamik saat tahu ada 10 bibit jambu madu.
“Mau bibit jambu madunya...” Rengeknya kapada uni.
“Mana mau bapak tu ngasih mik, itu mahal lah....” Balas uni
“Kalau dijual 300 ribu mau ambil ha....” Rengeknya lagi
Mamik gitu orangnya, jika sudah suka dan terlalu suka dengan sesuatu ia akan merengek seperti anak kecil yang mengemis permen ke orangtua.
“ Apa.......lah ni buat malu aja...” Balas uda santai
Yang akhirnya dibalas dengan tatapan sinis mamik, sementara itu uni sedang menikmati keindahan sayur pakcoy atau sayur yang biasa digunakan untuk menemani semangkok bakso maupun mie goreng, mereka menyebutnya pakcoy.
Petualangan undami hari ini harus berakhir dikarenakan uda harus sholat jumat dan uni beserta mamik harus kembali pulang, sebelum itu, uda berbaik hati mentraktir mereka minum jus di tempat favorit mamik.

Okeh ini aja dulu ya keseruannya, ini baru permulaan loh, karena hari sabtunya mereka punya cerita lain yang lebih seru...


Selasa, 08 September 2015

Suara Wahyu Arruhama



Suara Wahyu Arruhama
(Cerpen Oleh : UniLilis)
Pagi saat suara-suara riuh itu kembali terdengar di PKBM nan sederhana ini, walaupun kami merupakan sekolah  non formal, tetapi kami bisa melakukan hal yang jauh lebih seru dan menyenangkan dibandingkan dengan sekolah formal.
Yah, pagi ini anak-anak sudah kembali aktif belajar, setelah libur bulan puasa serta lebaran Idul Fitri, anak-anak bersemangat sekali ke sekolah. Semua terlihat bahagia, terutama siswa-siswa baru yang memang baru bergabung di sekolah sederhana ini.
Aku juga sudah bertemu dengan anak-anakku di Paket C setara SMA. Tahun ini aku diamanahi untuk menjadi ketua program Paket C setara SMA. Menghadapi anak-anak yang umurnya tidak terlalu jauh denganku, mereka rata-rata seumuran dengan adik-adikku, tetapi ini ranah profesional maka etika sebagai guru dan murid tetap dijaga, namun tidak melepaskan kesan adik kakak agar lebih akrab dan seolah tidak ada jarak, dan mereka merasa senang.
Aku berjalan agak cepat menuju ruangan Tata Usaha yang terletak di ruang tamu depan, sedikit lagi aku sampai ke dalam, tiba-tiba langkahku tercegat oleh seorang anak laki-laki Paket A setara SD, kurasa ia baru masuk ke sekolah ini, karena sebelumnya aku memang tidak pernah melihatnya di sini, perlahan aku memperhatikannya, ia mengenakan seragam sekolah lengkap Putih Merah, oiya sekolah kami tidak memiliki seragam seperti sekolah lainnya, pakaian kami bebas tetapi syar’i dan yang wanita wajib mengenakan jilbab.
“Mungkin ia murid pindahan salah satu SD negeri...” Pikirku dalam hati.
Sekilas aku tersenyum kepadanya, namun aku menangkap sesuatu yang berbeda di matanya, seolah ia tidak memperhatikanku, seolah matanya berbicara serta bertanya aku siapa, dan mengapa menyapanya. Demi melihat raut muka serta isyarat matanya, aku buru-buru masuk ke ruangan TU bertemu dengan Buk Ayu yang lebih akrab kami penggil Debung (Adek Bungsu). Oiya, kami memiliki panggilan tersendiri untuk sesama guru, namun panggilan ini hanya digunakan ketika tidak ada anak-anak agar tidak ada yang salah paham. Keakraban di dalam tim juga harus tetap dijaga agar selalu erat dan kokoh.
“Debung, anak yang di luar baru masuk ke sini? Dia ada masalah apa di sekolah lama? Un melihat sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya Bung?” Perlahan aku berbisik kepada Debung.
Debung hanya tersenyum, menarik nafas pelan, lalu sedikit tertawa sinis, aku hafal ekspresi ini, ini adalah cara Debung menyampaikan sesuatu yang serius atau pembicaraan ini sangat serius.
“Dia bukan anak ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) kan Bung?” Potongku cepat.
“Bukan Un, dia hanya pendiam, dan belum bisa fokus, pecah konsentrasi dan pindah  dari sekolah lama dikarenakan itu, dia lambat dalam merespon segala hal, kita tahu sama tahulah Un, guru di sekolah formal tidak bisa maksimal memperhatikan anak muridnya satu persatu, jadi ibunya memindahkannya ke sini..” Jelas Debung.
Aku langsung kembali ke luar, dan benar saja ia masih terlihat di depan pintu tempat aku bertemu dengannya tadi. Aku tersenyum sembari perlahan menghampirinya.
“Kasih sayang ini akan kau dapatkan Nak, ibumu tidak salah memasukkanmu ke sini, aku.. yah aku akan membantumu walau aku sendiri tidak tahu caranya tapi kita coba perlahan Nak...” Gumamku sendiri dalam hati.
Aku menyentuh pundaknya, ia melihatku sekilas, aku tersenyum dan ia tidak membalas senyumku sedikitpun, aku sedikit menurunkan badanku, berusaha menyamakan tinggiku dengannya, lalu kutatap matanya.
“Nama kamu siapa Nak?” Sapaku dengan sangat lembut.
Dan ia tidak langsung menjawab namanya, biasanya anak-anak jika kita bertanya nama, mereka langsung menjawab dengan semangat, tetapi ia berbeda, kuhitung di dalam hati, dan dihitungan ke 35 ia baru bersuara.
“Wahyu” Jawabnya sangat pelan, sangat-sangat pelan, namun nama itu sangat jelas di telingaku.
Aku tersenyum, serta sedikit terharu, aku memeluknya entahlah, entah apa yang membuatku melakukan hal ini, aku merasa ada sesuatu yang harus kubagi dengannya, ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk membantunya, ada sesuatu yang bergetar di hatiku, membuat mata inipun mulai berkaca-kaca.
“Ibuk hantar ke saung ya Wahyu.., nanti di sana belajar sama Pak Medi, dan teman-teman yang lain...”
 Aku mencoba menuntunnya menuju saung Ibnu Batutah yang terletak di bagian Timur sekolah ini, berdekatan dengan hutan kecil yang ada di belakangnya. Tetapi ia diam tidak bergeming, mungkin masih mencerna kata-kataku satu persatu dan kembali aku menghitungnya, lalu dihitungan ke 60 ia bergerak mengikutiku.
Kugenggam tangannya, dan kutuntun ia menuju perkumpulan paket A.
Seperti yang kukatakan sebelumnya sekolah ini special, walau kami hanya PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) tetapi anak-anak lebih suka menyebutnya dengan nama sekolah Arruhama, sekolah binaan Lemabaga Amil Zakat Nasional (Laznas) Chevron wilayah Rumbai.
Awalnya sekolah ini menampung beberapa anak-anak ABK, namun dikarenakan perombakan, demi kefokusan sebuah tujuan, maka tahun ini ABK dihapuskan dan fokus ke sekolah Paket saja, agar guru-guru juga bisa bekerja sesuai dengan tugas dan jabatannya masing-masing.

Sudah satu bulan saja sekolah berlangsung, cepat sekali anak-anak akrab dengan kami para guru, sudah saling membaur dan saling membangun untuk sekolah ini. Akupun hampir hafal dengan semua anak-anak, dimulai dari Paket C, Paket B, dan Paket A. Walau ada satu atau dua orang yang terkadang aku menukar nama mereka, tetapi selebihnya aku hafal. Aku juga senang memperhatikan anak-anak ketika jam istirahat, terutama Wahyu.
Yah, selama ini aku selalu memperhatikannya, bahkan setiap berjumpa aku selalu tos dengannya, serta beberapa anak-anak kelas 1 yang lainnya, ia juga mulai akrab dengan teman-temannya, walau ia lebih banyak diam, tetapi respon, senyum, dan tawanya sudah memancarkan kebahagiaan yang luhur. Aku yang berdiri di sudut pohon sawit sebelah barat sekolahpun ikut tersenyum.
“Ya Allah, beri aku kekuatan untuk mengajar mereka, berikan aku keikhlasan dalam mengajar dan kesabaran dalam setiap menunggu perubahan mereka.... Terimakasih untuk kesempatan mengajar di sini Ya Rab....” Do’a ku sendiri dalam hati.
Jumat kembali menyapa, kegiatan kami pagi ini imtaq sama seperti sekolah lainnya, dan hari ini aku sedikit terlambat menuju lapangan, dikarenakan ada beberapa tulisan yang harus aku emailkan ke temanku. Setelah file itu terkirim, aku bergegas ke luar ruangan menuju lapangan imtaq yang terletak di gedung putih sebelah utara sekolah, tidak jauh, hanya saja harus melewati parit kecil yang sudah tertimbun tanah, dan agak sedikit curam bagi anak-anak. Karena terburu-buru aku tidak melihat kiri dan kanan serta belakang, aku terlalu fokus ke depan, hingga terdengar sesuatu yang terjatuh di belakangku, aku menoleh segera, dan terhenyak..
Saat aku melihat Wahyu dengan baju melayu berwarna hijau tua terjatuh di belakangku, aku membantunya berdiri, kulihat matanya berkaca-kaca dan sebentar lagi ia akan menangis, terlebih ia diperhatikan oleh semua anak-anak yang sudah duduk rapi di lapangan, dan saat itulah aku segara merangkulnya, sembari kubisikkan sesuatu di telinganya.
“Anak laki-laki itu harus kuat, tidak boleh cengeng, tidak boleh malu apalagi menangis, ditahan sakitnya ya Nak, kan tidak terluka.., harus kuat! Wahyu kan anak laki-laki yang kuat dan hebat...”
Aku membersihkan lututnya yang kotor, lalu menatapnya.
“Kita duduk ya Nak..” Aku sudah bersiap untuk menghitung menanti jawabnnya namun baru dihitungan ke 5 ia sudah mengangguk.
Ya Allah, aku takjub.
Pak Medi yang merupakan wali tingkat Paket A membawanya membaur di antara anak-anak yang lain, sedangkan aku mengambil posisi duduk di belakang murid-murid,  bergabung dengan guru-guru lainnya yang sudah duduk.
Perubahan yang diperlihatkan Wahyu tidak hanya di hari Jumat ini saja. Sabtu pagi setelah senam, semua anak-anak diperbolehkan untuk istirahat sejenak, lalu dilanjutkan dengan jam olahraga. Kali ini aku juga tidak ada waktu main bersama anak-anak ada beberapa tugas yang harus kuselesaikan.
Sebenarnya aku tipe orang yang tidak terlalu betah berlama-lama di dalam ruangan, aku selalu merasa hidup saat bisa membaur dengan anak-anak dan sesama, namun kali ini aku memang harus menyelesaikan tugasku, lumayan lama,  dua jam tugas itu kuselesaikan, lalu aku keluar ruangan melihat anak-anak.
Semuanya sedang sibuk bermain dengan teman-temannya, aku keliling memperhatikan mereka setu persatu, dan semuanya baik-baik saja serta aman-aman saja, tiba-tiba aku melihat Wahyu sedang sendiri di teras sekolah, yang biasanya digunakan Pak Medi untuk mengajar anak-anak kelas 1.
Aku mendekatinya, kuperhatikan ia, dan ternyata ia tidak terganggu dengan kehadiranku, ia mengambil bekalnya dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas meja, aku tersenyum
“Wah... Wahyu bawa bekal ya Nak?” Tanyaku dengan sumringah.
Dia mengangguk tanpa hitungan  sebagaimana yang selalu kulakukan jika menanyakan sesuatu kepadanya, aku semakin senang melihatnya.
“Tunggu ibu ya Nak, kita makan sama-sama.” Pesanku kepadanya.
Setengah berlari aku menuju kantin yang terletak di dapur, memesan nasi goreng, dan kembali lagi ke teras depan menjumpai Wahyu.
“Kita makan sama-sama ya Nak.” Ucapku.
Ia membuka bekalnya, perlahan ia mengambil sendok, lalu mulai menyendok nasi dan memakannya. Akupun demikian, perlahan menghabiskan nasi goreng sembari memperhatikannya.
Ia memainkan jam dinding yang sudah rusak, kebetulan di ruangan ini ada sebuah jam dinding kecil yang sudah rusak, Wahyu memainkannya sembari menyuap nasinya. Akupun demikian bersemangat menghabiskan nasi goreng yang barusan kupesan.
“Jam ini kenapa?” Hampir aku tersedak, ya Allah benarkah ini suaranya? Wahyu berbicara kepadaku? Benarkah..., teriakku dalam hati.
Perlahan kuatur ritme nafas bahagiaku.
“Iya Nak....., jamnya rusak...!” Jawabku selembut mungkin.
Ia tidak memperhatikan ekspresi bahagiaku, ia semakin penasaran dengan jam dinding itu, lalu membalikkannya melihat posisi mesin dan baterainya.
“Baterainya habis ya?” Kembali pertanyaan itu muncul dan kali ini aku mulai bingung dan bahagia menjawabnya.
“Iya Nak.., Nanti kita beli Baterai baru ya Nak...” Jawabku sembari tercekat bercampur bahagia disaat ia yang tidak hanya mengucapkan sepatah kata, tetapi dua buah kalimat.
Ya Allah... betapa bahagianya aku, saat kutahu ia bisa Ya Allah, sungguh.. tidak ada yang tidak mungkin bagiMu Ya Rabb.
“Kun Faya Kun, Jadi... Maka Jadilah”
(My inspiration: Wahyu Saputra)