Cinta
Bang Day Jilid 11
Partner
dan Cemburu
Mama
sudah keluar dari ruangan operasi dan sudah masuk di ruang rawat, kami menunggu
mama di dalam ruangan VIP yang sengaja dipilih oleh bang Dayat karena askes
mama masih ada, jaminan kesehatan untuk mama masih ada, walaupun almarhum papa
sudah mendahului kami, inilah salah satu keuntungannya, askes dan biaya semua
sudah ditanggung oleh perusahaan tempat papa bekerja kala itu.
Uda
dan uni memutuskan untuk pulang ke rumah, karena mereka memiliki agenda yang
harus diselesaikan, sedangkan aku dan bang Day tetap berada bersama mama, standby manatau ada sesuatu yang terjadi,
atau mama membutuhkan sesuatu, kami sudah berada di sampingnya. Sementara kakak
iparku belum diberi khabar, mengingat ia masih bekerja dan pesan bang Dayat,
kalau mama sudah sadar kak Fitri akan diberitahu.
Aku
memperhatikan sekeliling ruangan, melihat dari sudut demi sudut ruangan rawat,
yang berkelas VIP senyaman apapun, ini tetaplah rumah sakit yang tidak disukai
oleh mama.
Tok..
tok...
“Assalamualaikum...”
Terlihat laki-laki gagah nan tinggi masuk ke dalam ruangan ini, bang Miqdad ia
menatap lembut ke arahku dan Bang Day.
“Walaikumsalam..”
Jawabku dan Bang Dayat serentak.
“Duduk Bang...!”
Ucapku kepada bang Miqdad yang masih kaku melihat wajah bang Day, sementara
suamiku bangun dari tidurnya dan membalas senyuman bang Miqdad.
“Hmmm, Me, abang boleh bicara
dengan bang Day kamu sejenak?” Nada bang Miqdad sangat
serius, sepertinya ada sesuatu yang penting yang akan disampaikannya kepada bang
Day.
“Silahkan saja Bang, Me tidak
masalah kok lagipun tidak ada yang perlu dirahasiakan, bicara sama bang Day toh
sama saja dengan bicara dengan Mela.” Gaya jutekku keluar, yah biasanya tidak ada yang disembunyikan
antara aku dan bang Miqdad, masa kami kuliah dahulu kami sering menganalisa
masalah bersama-sama, tetapi kenapa kali ini ia hanya ingin bicara dengan
suamiku saja? Adakah sesuatu yang disembunyikan oleh keduanya?
“Ok Miq, kita ke kantin saja ya bro.”
Jawab Bang Day
Bang
Day menatapku lembut, sembari memegang tanganku yang mulai dingin.
“Mela sayang, ini urusan laki-laki,
kamu di sini saja ya tungguin mama, abang dan Miqdad ke kantin, nanti akan
abang beritahu kepadamu apa yang kami bicarakan, ok sayang...”
Bang Dayat dan bang Miqdad berlalu meninggalkanku di ruangan ini bersama mama
yang belum juga sadar.
Aku
mengangguk, untuk pertama kalinya kulihat mereka bedua akur, terlepas dari apa
yang pernah terjadi di awal pernikahan kami, bang Dayat jauh lebih mudah menerima
perubahan dalam hidupnya. Siang ini bahkan ia bisa langsung akrab dengan bang
Miqdad, yang baru ia jumpai hari ini, entahlah semoga apa yang mereka bicarakan
merupakan jawaban atas siapa yang telah berani menabrak mama.
Azan
zuhur berkumandang, aku megambil wudu dan memilih sholat di samping mama, dalam
keadaan risau dan gelisah seperti ini, air wudu sangat menyegarkan hati,
apalagi ditambah dengan sholat yang merupakan do’a kepada Allah, meminta
kekuatan atas sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupan ini. Selesai sholat,
bang Day belum juga kembali ke kamar, mungkin mereka sholat di Masjid dekat
lantai bawah rumah sakit.
Aku
mengambil mushaf dari dalam tasku, membaca ayat per ayat dari alqur’an
sederhana ini, mencari ketenangan dari setiap lantunan yang kubaca, perlahan-lahan
sedikit demi sedkit, aku bahan hampir satu juz membacanya tetapi suamiku belum
juga kembali, aku membenahi mukena dan perlengkapan sholat, perutku juga mulai
lapar, sementara di sini belum ada yang bisa kumakan. Aku mulai bosan dan
suntuk, kuperhatikan mama, aku mendekat
dan duduk di sampingnya memegang tanganya yang mulai berkeriput.
“Mama, kau adalah wanita terhebat
ma, bertahan hidup dengan status single parent, mama wanita terkuat yang pernah
Me temui Ma, kehilangan orang yang dicintai, membesarkan tiga anak yatim dan
belum lagi ditinggal pergi oleh anak-anakmu yang menuntut ilmu di luar kota.
Ma, mama adalah wanita terhebat kesayangan bang Dayat dan anak-anak mama, mama
kuat ma, mama pasti bisa bangun dan kembali sehat Ma, jangan tinggalin kami ma,
please bangunlah ma, buatlah Bang Day tersenyum ma. Maafin Mela ya ma, kalau
Mela membuat mama khawatir dan akhirnya mama berusaha menghibur Mela, tetapi
malah seperti ini kejadiannya Ma,...”
Aku
curhat sendiri di samping mama, air matakupun mulai jatuh ke tangan mama,
terlihat tangan mama bergerak. Aku terkejut sembari tersenyum, perlahan mama
membuka matanya dan melihatku..
“Alhamdulillah...Mama mau minum
ma?”
Ucapku lembut, mamapun mengangguk.
Aku
mengambil gelas berisi air yang telah dibawa oleh perawat, perlahan memutar
tempat tidur mama, agar kepala mama bisa sedikit berdiri, tempat tidur rumah
sakit ini selalu canggih. Mama meminum air putih perlahan, sembari tersenyum
kepadaku.
“Mana Dayat Me?”
Tuh kan, akhirnya mama mencarimu bang.
“Asslamualaikum..”
Akhirnya yang dicari mama datang juga.
Bang Dayat memeluk mama, matanya penuh haru
bahagia, tatapan kerinduan dan keriusan itu bersatu dalam wajahnya...
Aku
menbiarkan anak dan ibu itu berdua, aku memilih izin untuk ke luar dan membisikkan
sesuatu ke telinga bang Day.
“Abang..., Me ke kantin ya bang, Me
lapar, abang jagain mama..” Bang Dayatpun mengangguk.
Aku
menghela nafas berkali-kali, jarak kantin dengan ruangan mama tidak terlalu
jauh, namun di setiap langkah, banyak sekali yang aku fikirkan.
Kenapalah
hidupku seperti ini ya Allah, banyak sekali kejadian-kejadian yang menggoreskan
hati serta perasan yang harus kurasakan. Seperti inikah kebanyak orang lain
menikah? Atau hanya aku saja yang merasakannya? Ya tentu saja ujian setiap
rumah tangga itu berbeda-beda, mungkin menurut Allah akulah orang yang sanggup
untuk melalui ujian hidup seperti ini, kalaulah boleh meminta mungkin cobaan
yang tidak membawa hati dan perasaan jauh lebih baik daripada cobaan yang
menguras perasaan dan banjir air mata. Belum juga setahun menikah ada-ada saja
yang kurasakan, atau mungkin setelah menikah amalanku berkurang kah? Ibadahku?
Ya Allah maaf jika aku lalai...
Pesananku
sampai, soto panas dengan teh hangat yang sangat kurindui, makanan favorit saat
di kantin kampus kala itu bersama teman-teman organisasi, aku hanya
mengaduk-aduk soto panas ini berharap panasnya berkurang dan aku bisa
memakannya..
“Me...?”
Sapaan lembut ini membuyarkan lamunanku.
“Boleh abang temankan Me?”
Bang Miqdad muncul di hadapanku, ia langsung duduk persis di depanku, sama saat
kami diskusi di kampus, jika membahas sesuatu yang penting.
“Bang Miqdad.., Me mohon maaf,
tetapi Me sekarang sudah punya suami, dan suami Me tidak suka Me duduk seperti
ini dengan laki-laki yang bukan muhrimnya bang, Please bang pahami posisi Me,
Me juga mangucapkan terimakasih kepada abang, karena abang sudah membantu mama
dan Me tadi pagi, abang datang diwaktu yang sangat tepat, saat kami memang
membutuhkan bantuan, abang datang, dan bang Dayatpun meminta tolong kepada abang
untuk mencarikan siapa pelaku yang telah menabrak mama beserta motifnya. Me
banyak-banyak terima kasih kepada abang, tapi Me mohon bang, jangan seperti
ini, jangan duduk seperti ini, di sini kita hanya berdua walau banyak yang lain juga makan di sini tapi....”
Aku menceloteh sendiri
“Hei, Me... stop Me, abang hanya
ingin memberitahukanmu sesuatu just it, nothing else, tolong dengar, abang
memutuskan membantu suami kamu karena abang ini jadi lowyer di kantornya
sekarang, abang tidak tahu kalau ternyata suami kamu kerja di sana, dan satu
lagi abang harus cari tahu siapa yang menabrak mamanya Dayat, karena ini kasus
penting dan sepertinya dia orang dalam, hanya saja motifnya belum diketahui...”
Jelas bang Miqdad kepadaku.
Sementara
aku sudah segan, takut jika nanti bang Dayat melihat kami berdua sepertti ini,
tentunya dia akan cemburu kepadaku, walau bang Dayat tahu kalau bang Miqdad
hanya ingin diskusi kepadaku tapi....
“MELA....”
Dug aku kenal suara itu.
“Setelah Makan segera ke kamar mama...”
Yah kalimat singkat yang cukup menusuk hati.
Aku
tidak jadi makan, aku meilih pamit dan meninggalkan bang Miqdad sendiri di
sini.
“Ya Allah apalagi
ini...” Gumamku sendiri.
Aku
ingin segera masuk ke dalam ruangan, tetapi bang Day sudah menungguku di depan
pintu kamar rawat mama, aku pun tercekat, kaget dan bersiap dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi, dan akhirnya bang Day menarik tanganku,
membawaku ke sudut ruangan yang ditumbuhi pohon pinus, ia membisikkan sesuatu
yang membuat hatiku pilu.
“Berapa kali harus abang katakan,
jangan berkomunikasi dengan Miqdad, kenapa Mela tidak paham dek..?”
Ia menatapku cemburu.
“Bang..., Me tidak berbicara
dengannya, maksudnya Me tadi sendiri di kantin dan bang Miqdad datang, Me sudah
berusaha menolak tetapi...!” Aku berusaha membela
diri.
“Me please, abang tidak suka kalau istri abang duduk
semeja dengan laki-laki yang bukan mahromnya..! Me tolong pahamlah dek, kondisi
Mama belum membaik, tetapi kenapa kamu malah membuat masalah baru...”
Iapun membelakangiku.
Aku
memutar badan, memilih berdiri di hadapannya, setan apa yang menghampirinya
siang ini, cepat sekali sikapnya berubah kepadaku.
“Me tidak membahas apa-apa dengan
bang Miqdad ba....ng, dan lagipula tadi, Me lihat abang akrab saja berdua, tapi
kenapa abang jadi marah ketika bang
Miqdad diskusi dengan Me? Abang egois...!” Aku memilih
meninggalkannya dan masuk ke ruangan mama, meladeni bang Day yang sedang
terbakar api cemburu itu percuma, karena kita tidak akan ada benarnya di
hadapan orang yang sedang cemburu buta. Lagipula kesembuhan mama jauh lebih
penting dari yang lain termasuk masalah cemburu ini.
Ya
Allah baru saja aku berusaha memahami makna hidupku, kenapa masalah baru datang lagi menghampiriku. Aku mengusap peluh
dingin di dahiku, aku merasa badanku mendingin dan menggigil yang tidak karuan,
aku menatap mama dari kursi ini...
“Mela baik-baik saja Nak?”
Sapaan lembut mama hanya menggantung
di langit-langit rumah sakit ini.