Jalan Jodoh
Cerpen Uni Lilis
Ia menggengam tanganku erat, kami sudah tiba di depan pintu rumahnya,
perjalanan menuju Sumatera Barat tentu saja tidak asing bagiku, karena kampung
ayah dan ibuku juga di Sumbar hanya saja berbeda kabupaten dengannya, kali ini
ia membawaku ke jantungnya Sumatera Barat, ya kota Padang yang terkenal dengan
laut nan mensejajari jalan raya. Ada keraguan di hatiku berkunjung ke sebuah kota
yang memang sebelumnya belum pernah kujelajahi, aku lebih suka pergi ke Payakumbuh
kampung Ayah dan ke Pasaman kampung Amak, terkadang aku singgah di Bukittinggi
rumah Makdang.
“Bismillah ya, semoga semuanya
baik-baik saja dan mereka mau mendengarkan penjelasan kita.” Ucapnya dengan tegas, sorot matanya menggambarkan bahwa ia memang
pemimpin yang bijak dalam mengambil keputusan.
Aku mengangguk, karena hanya ini yang bisa kulakukan, memutuskan
menerimanya adalah berarti memutuskan untuk menerima keluarga besarnya juga.
Baru saja kaki ini melangkah ke dalam rumah gadang nan luas itu, aku
tercekat, semua anggota keluarganya sudah berkumpul lengkap dengan pakaian
adat, berjejer rapi antara lelaki dan perempuan, namun tanpa jamuan, aku
teringat saat Ayah bercerita kepadaku,
“Jikalau anggota keluarga besar
berbuat sesuatu yang salah, maka semuanya akan turut menyelesaikannya, baik itu
pernikahan, sunatan, maupun perpindahan gelar, apalagi pemberian gelar kepada
seseorang.”
Dalam hati aku bergumam,
“Ayah, kini seluruh ceritamu
terpampang nyata di depan mata, semoga anakmu ini bisa menyelesaikannya Yah..”
Dia memandangiku lembut memberi isyarat untuk duduk, perlahan sembari
melempar senyum ke sekitar, akupun duduk di sampingnya, posisi kami pas di
depan tetua adat sukunya, sedangkan yang wanita ada di sebelah kananku dan kumpulan
pria ada di sebelah kiriku.
Perlahan namun pasti pembicaraan mengarah kepada hubungan kami, banyak
kekecewaan yang disampaikan mamak (paman), dan pemangku adat serta keluarga
besarnya kepada kami, lihatlah wajah suamiku biasa saja, seolah dia siap
berargumen ketika disuruh, beda sekali denganku, aku seringkali mematahkan
perkataan seseorang jika itu memang tidak sesaui dengan apa yang aku alami,
tetapi dia, dia tahu kapan harus bicara.
Hampir saja air mata menetes melihat kenyataan ini, terbayang saat
bagaimana ia dengan beraninya menikahiku.
Ahad, saat semua keperluan pernikahan sudah disiapkan, semua tetamu
sudah datang, dan segala sesuatu sudah selesai, pukul 10.00 pagi saat jam akad
nikah akan dimulai, semuanya hampir hancur.
Seseorang membisikkan sesuatu di telinga ayahku, membuat wajahnya
merah padam, tensi darahnya naik seketika, namun masih bisa ia kendalikan.
“Berani laki-laki itu mempermalukan
keluarga besar kita, tidak tahu adat!!!” Geram ayah.
Terlanjur, suara marah ayah terdengar di sound yang terpasang di masjid
tempat pelaksanaanakad nikah.
Pak penghulu yang sedari pagi menunggu terlihat bingung dan panik,
“Jadi bagaimana ini Pak? Apakah bisa
dilanjutkan, atau kita batalkan saja?”
Aku mengerti apa yang sedang terjadi, utusan keluarga mempelei pria
membatalkan pernikahan dan tidak menuntut apa-apa dari kami, mereka
memutuskannya secara sepihak, tepat pagi ini saat akad nikah akan segera
dimulai.
Kalian tentu tahu apa yang kurasa, menjadi wanita malang yang gagal di
hari pernikahannya sendiri, berapa banyak kemubaziran dan kesia-siaan yang
dilakukan, saat itulah, yah saat semuanya sedang panik dan anggota keluarga
yang shock, dia datang dengan tenang
kepada Ayahku, mengucapkan sesuatu yang tak bisa kubendung bahagianya.
“Biar saya yang berakad pagi ini.” Jawabnya dengan mantap.
Ayahku terdiam, amarahnya masih tersisa, lalu melirikku, mencoba
meminta jawaban, aku mengangguk cepat, karena mungkin seperti inilah jalan
jodohku.
Hingga semuanya berjalan lancar, walau topik tentang pria pengecut itu
berseliweran di acara pernikahan.
Dan sepanjang resepsi, ia menggenggam tanganku, memberiku kekuatan,
meyakinkanku jika semua akan baik-baik saja.
“Kenapa Am tidak bermufakat dengan
kami jika mengambil keputusan yang sangat sakral dalam hidup Am?”
Pertanyaan dari Pamannya membuat lamunanku buyar, nada tegas penuh
getaran itu pertanda ada amarah yang ditahan.
“Am tahu Am salah Mak, tetapi Am
punya alasan yang harus Am jelaskan, Am tidak mau keluarga besar kita salah
paham, bolehkah Am menjelaskannya Mak?” Suamiku berkata
dengan bijak.
Semua kepalapun mengangguk, sedangkan aku dari tadi tertunduk.
“Sungguh, Am paham dengan adat
istiadat keluarga kita Mak, Ayah dan ibu, Am juga paham bagaimana adat kita
mengajarkan tentang memuliakan saudara wanita kita, bahkan agama juga
mengajarkannya, Mamak dan Angku(Paman) mengirimkan Am kepesantren, juga agar Am
paham agama, Am tahu apa yang harus Am lakukan dan apa yang harus Am putuskan,
dan jika Am salah dalam bertindak, Am mohon maaf, jika Am mengecewakan, Am juga
menyembah ampun, tapi semuanya akan Am jelaskan.” Aku mulai sesegukan di sampingnya, sekuat itukah lelaki ini, tidak
ada getar keraguan bahkan ketakutan di dalam dirinya, sama siapnya saat ia
berbicara dengan ayahku mengucap janji suci yang mungkin tak sesuai dengan
impiannya.
“Sebenarnya Am sudah lama mencintai
istri Am ini, hanya saja Am belum berani membicarakannya kepada keluarga besar
dan niat baik Am pun kandas, saat ternyata istri Am sudah dipinang orang lain,
laki-laki yang ternyata teman baik Am sendiri, Am sungguh tidak akan lancang
meminang wanita di atas pinangan laki-laki lain, maka Am mengurungkan niat itu,
bagi Am mungkin istri Am bukan jodoh Am, ternyata di hari akad nikah, teman Am
membatalkan pernikahan ini secara sepihak, Mamak, Ayah dan Angku tentu tahu
betapa malunya keluarga besar mereka? Mereka juga sama dengan kita, beradat
sama dengan kita, hanya berbeda kota, dan jika hal itu nantinya menimpa saudara
perempuan Am? Apa yang bisa kita lakukan, maka Am dengan Bismillah memberanikan
diri menyelamatkan marwah mereka, mungkin seperti inilah jalan jodoh Am, yang
sudah Allah gariskan, ini yang bisa Am lakukan sebagai putra keturunan
Minangkabau, Am tidak tahu harus bagaimana, Am hanya memohon restu dari
keluarga besar Am yang terbilang bijaksana, sudilah menerima istri Am yang sah
sebagai bagian dari keluarga besar ini, Am mohon ampun kepada Allah dan memohon
maaf kepada snaak saudara, handaitaulan dari keluarga besar ini, sembah sujud Am
haturkan mengiba maaf dan meminta restu dari semuanya...” Dan iapun mulai sesegukan, sembari menundukkan sedikit badannya
mengatupkan kedua tangan, meminta restu.
Saat itulah ya saat itulah tumpah sudah air mataku melihat pemangku
adat yang sedari dari menatap kami, merangkulnya dengan bangga, mengusap air
mata, dan mengelus kepala suamiku.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan,
duhai kemenakan mamak yang bijak, semuanya sudah terang bahwa seperti inilah
Allah mentakdirkan jalan jodoh untukmu Nak..” Ucap beliau dengan lembut.
Aku menyeka ujung mataku sembari melihat ibunya yang sedari tadi
sembab, beliau berjalan kearahlu, lalu memeluk dan menciumku dengan kasih
sayang, aku merasakan pelukan kehangatan ibu yang luar biasa, yang berhasil
mendidik anak laki-lakinya dengan bijaksana.
Amirul Mukminin, dialah sang imam hidupku, lelaki yang tak begitu
kukenal, lelaki yang lebih muda dariku, namun kedewasaannya mengalahkan umurnya,
seharusnya ia berhak mendapatkan yang lebih baik dariku, namun perkara jodoh
siapa pula yang tahu.
(071215, uun)