Senin, 31 Agustus 2015

Merah Putih di Arruhama



MERAH PUTIH DI AR-RUHAMA
(Cerpen Oleh : Uun)
Kamis, saat pulang sekolah sirinei dari TOA yang khas itu melengking indah serta memekikkan telinga semua anak-anak yanhg sedang belajar di PKBM Arruhama. Aku juga terkejut, namun kulihat satu persatu anak-anak itu mulai berlarian dari ruang masing-masing, ada yang dari dalam saung, ada yang dari ruangan dan ada juga yang dari alam bebas.
Tak lama terdengar suara dari toa tadi.
“Kepada seluruh anak-anak Paket C, Setara SMA agar segera berkumpul di lapangan sekarang juga....!!! Sekali lagi, kepada seluruh anak-anak paket C setara SMA agar segera berkumpul di lapangan sekarang juga!!!! satu.... dua... tiga....”
Terlihat anak-anak yang dimaksud mulai berlarian menuju lapangan sederhana yang berpafingblok, sepertinya mereka sudah paham bahwa, hitungan itu adalah ritme dari setiap langkah kaki mereka, lihatlah semuanya tergesa-gesa tidak ada yang santai serta berleha-leha, terlihat sosok wanita cantik yang berparas tegas itu sudah berdiri di lapangan, bersama dengan dua laki-laki yang memakai seragam lapangan.
Dan dalam hitungan lima tadi, semuanya telah berkumpul rapi, namun tunggu dulu, lihatlah dua anak yang dengan langkah malasnya berjalan gontai menuju lapangan.
“KALIAN BERDUA.... CEPAAAAAT SATU,,,,,DUA....”
Namun perintah itu tetap mereka abaikan, wanita cantik berjilbab cokelat dan berkacamata itu tersenyum sinis. Kedua anak tadi sepertinya paham akibat apa yang akan mereka terima, dan benar saja, pilihan push up adalah hukuman terbaik untuk melatih fisik, dua anak laki-laki berwajah tampan itupun mengambil posisi lalu dengan segala kerelaan hati mereka, mahu tidak mahu push up mengikuti hitungan wanita cantik itu.
“Hari ini, kita akan mencoba membentuk tim paskibra, yaitu tim pengibar bendera dadakan, karena sebelumnya di sekolah ini tidak ada tim paskibra, jangankan tim paskibra, upacara saja kita tidak pernah, tetapi berhubung 17 Agustus akan segera datang, maka kita akan mencoba memilih tim paskibra dari Paket C setingkat SMA untuk menjadi petugasnya.” Jelas wanita cantik itu panjang lebar.
Haripun berganti, setiap pulang sekolah anak-anak itu sudah paham jikalau mereka harus latihan, tidak lupa bekal dari rumahpun mereka bawa, sekolah ini special ada yang kurang mampu dalam segi biaya, namun ada juga beberapa yang memang mampu, dan tidak ada perbedaan yang diberikan oleh guru-guru, kasih-sayang itu rata, aku bisa melihat ini setiap harinya.
Setiap pagi, ketika guru-guru itu datang, mereka tidak langsung duduk santai di kantor, tetapi memilih membaur di antara para murid, menyapa dan saling bercerita serta tertawa bersama, menyalami murid-murid, guru laki-laki dengan murid laki-lagi dan guru perempuan dengan murid perempuan, aku terkadang heran,  kenapa tidak semua murid saja yang mereka salami, entahlah semoga suatu hari nanti aku temukan jawabannya.
Sabtu siang, saat matahari sedang teriknya, dan waktu Zuhur telah pergi, istirahat makan siangpun telah berakhir, sirinei dari toa sederhana itu kembali terdengar melengking. Kali ini hanya petugas upacara saja yang tersisa yakni seluruh siswa Paket C, setara SMA sedangkan anak-anak Paket B dan Paket A telah diperbolehkan pulang, Paket B juga pulang setelah satu jam latihan paduan suara untuk lagu Indonesia Raya serta Mars 17 Agustus.
Pelatih paskibra  sudah standby di lapangan, pelatih pembacaan teks UUD, do’a dan protokol beserta pimpinan kompi dan pimpinan upacara sudah bersiap di saung yang sejuk serta indah di antara pepohonan hijau. Tampak kakak pembina paskibra itu berbicara empat mata dengan komando tim paskibra, dengan mengangguk anak laki-laki berperawakan Aceh itu paham, lalu mengambil alih barisan, kulihat semuanya keluar ke jalan raya tempat aku biasa duduk, aku menggeser duduk agak jauh dari mereka.
Paskibra di kebanyakan sekolah biasanya mengibarkan bendera di dalam lapangan sekolah yang luas, sementara Sekolah Paket ini, mereka unik, lihatlah mereka bisa memanfaatkan jalan aspal yang memang sunyi saat jam siang untuk menjadi jalur mereka menuju tiang bendera. Mereka berjalan lurus lalu dengan aba-aba paskibra, belok kiri tanpa merusak susunan barisan mereka memasuki pagar depan sekolah dan dengan formasi luar biasa, mereka tidak kalah hebat dengan tim paskibra yang sudah lihai, dalam hati aku berdecak kagum, dalam waktu sejanak mereka sudah bisa sekompak itu.
Latihan berlangsung berkali-kali, mereka mengulang-ulang latihan, begitupula dengan pemimpin upacara yang dari tadi mengetest suaranya menyiapkan barisan, lengkingan itu jelas menandakan semangat untuk saling menyukseskan upacara perdana ini. Begitu juga yang lainnya terlihat bersinergi serta solidaritas yang tinggi.
Satu jam lebih  anak-anak luar biasa ini latihan, tetapi selalu berhenti di saat pengibaran, aku hampir saja tertawa terbahak dikarenakan sekolah ini tidak memiliki tiang bendera, aduhai bagaimana bisa, bukankah di kantor, di sekolah bahkan di rumah, ada tiang bendera, terdengar nada-nada kecewa dan protes dari mereka.
“eeee bagaimana ini kakak, tiang benderanya tidak ada, bagaimana kami mahu belajar mengibarkan benderanya, menyamakan ritme lagunya? Tiangnya tidak ada.....” Protes seorang gadis cantik berkulit sawo matang , berjilbab rapi menutupi dada dan punggungnya, ia terlihat vokal di antara yang lain.
Kakak laki-laki yang dimaksud tadi terdiam, kulihat ia berfikir keras, lalu masuk ke dalam kantor, beberapa menit kemudian ia keluar bersama tiga guru wanita yang bergegas mengambil motor, satu motor dua orang, dan guru yang satu lagi berdua dengan seorang murid. Merekapun memberi kode.
“nanti tunggu kami pulang ya Kak, baru pasukannya dibubarkan..”
Pesan guru cantik berkaca mata itu, namun sepertinya kakak pembina paskibra itu tidak serius mendengarkannya. Alhasil ketika guru-guru itu kembali pasukan telah bubar dan sudah pulang, aku masih saja nyaman memperhatikan mereka dari jauh.
Terlihat wajah kecewa dari ketiga guru wanita itu, mereka ternyata membawa stok (kayu pramuka) sebanyak 16 buah.
“hadeh..... kakak pembina.... kenapa anak-anak dipulangkan? Ini kita baru beli stok untuk tiang benderanya, agar mereka bisa latihan mengibar....” Guru berkacamata itu terlihat panik dan sedikit kecewa.
“tenang cikgu, anak-anak sudah letih jadi besok pagi jam 07.00 saya suruh ke sekolah untuk mendirikan tiang bendera, biarkan mereka istirahat...” Jawab kakak pembina itu dengan santainya.
Akupun penasaran, bagaimana kayu-kayu stok itu bisa menjelma menjadi sebuah tiang bendera? Entahlah kalaupun bisa, apakah bisa untuk ditarik oleh tiga pengibar? Biasanya tiang bendera pramuka ada cangkir kecil di atasnya, apakah tiang ini juga? Ah, aku semakin penasan dengan ini semua, kuputuskan esok pagi melihat mereka latihan lagi.
Pagi ahad, aku sedikit terlambat memperhatikan mereka, karena aku kebanjiran pekerjaan pagi ini, tetapi jam 08.00 kuputuskan untuk melewati sekolah ini, terlihat hanya anak-anak  yang sedang mengikat-ikat stok dengan tali, sepertinya mereka sedang merancang tiang bendera. Tim dibagi menjadi dua, tim laki-laki membuat pondasi dan tim perempuan membuat pucuk tiangnya, aku tidak melihat guru serta kakak pembina yang kemarin, mungkin mereka sedang ada keperluan. Akupun juga tidak bisa berlama-lama memperhatikan anak-anak ini, aku harus menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk terutama di hari libur ini, kuputuskan pergi dari sekolah anak-anak ini, bergumam semoga esok pagi upacara kalian berjalan lancar.
Benar saja, pagi senin jam 06.00 tim pengibar sudah ada di sekolah, namun tidak dengan pakaian serba putih-putih serta selempang merah putih, pakaian mereka sederhana, baju putih, celana serta rok hitam dipadukan dengan peci hitam serta jilbab putih panjang menutup dada dan punggung. Akupun takjub, dalam kesedarhanaan kuharap mereka mampu membuat pagi ini indah.
Tanpa menunggu lagi terlihat pimpinan mereka sepertinya telah datang, kurasa beliau yang nantinya akan menjadi pembina upacaranya, semua pasukan telah siap di posisi masing masing. Paket A setara SD sudah berbaris di lapangan sederhana, guru-guru di lapangan juga namun berpafingblok tepat di depan anak-anak Paket A, sedangkan seluruh Paket B berbaris di sebelah Timur dengan paduan warna baju merah untuk laki-laki dan putih untuk wanita, mereka terlihat indah, serta tim paskibra yang sudah siap siaga di pinggir jalan di luar pagar.
Aku deg-degan memperhatikan upacara ini, terdengar tertib acara upacara sudah dibacakan oleh petugas, ah.. suaranya tidak kalah indah dengan protokoler Gubernuran, keindahannya sama, kurasa efek latihan vokal yang tidak sia-sia, pasukanpun disiapkan oleh pimpinan kompi, lengkingan suara dari sudut itu menggema ke langit-langit pagi ini, ditambah sapaan dari Pemimpin upacara yang juga baru memasuki lapangan upacara, getarannya menusuk hati, sungguh dalam segala kekurangan dan keterbatasan, mereka sanggup tampil sempurna.
Dan.. inilah penyempurna keberhasilan itu. Tim paskibra yang mulai berjalan gagah dengan langkah kaki yang tegap, sungguh mereka tidak kalah keren dengan anak-anak paskibra yang terbiasa mengikuti perlombaan, aku memperhatikan  mereka dengan seksama, perpaduan langkah tegap maju jalan, ritme jalan di tempat mereka, dan saat mereka membuka formasi, itu sebuah harmoni keindahan yang sulit untuk digambarkan.
Aku terdiam ketika tiga orang pembawa bendera itu berjalan menuju tiang bendera, aku tercekat, tiang bendera itu sederhana, sungguh, dengan kelihaian sistem tali temali anak-anak hebat ini, sebuah tiang sederhana berhasil tercipta dengan indah dan bisa digeret seperti tiang bendera yang berkatrol..
“BENDERAAAA SIAP...” Pekik sang pengibar.
“HIDUPLAH INDONESIA RAYA.....” Terdengar tim paduan suara mulai bernyanyi, perlahan namun pasti suara mereka menusuk kalbu.
Untuk pertama kalinya Merah Putih itu berkibar di PKBM ARRUHAMA.  Aku terharu, dalam segala kekurangan serta keterbatasan hari latihan, tanpa tiang bendera, anak-anak ini berhasil mengibarkan sang Merah Putih, sungguh sebuah perjuangan yang tidak akan terlupakan.

Sabtu, 15 Agustus 2015

"Bunglon Perasaan" #LombaPuisiDira



“Bunglon Perasaan”
Oleh: Uni Lilis
#LombaPuisiDira
Bersama rintik hujan yang selalu hadir di saat rahasia
Seringkali ia menjadi teman saat goresan-goresan kekecewa’an menghampiri hati
Perawakanku yang selalu ceria bertabur bahagia, bahkan penuh canda tawa
Seringkali menipu hatiku sendiri yang sebenarnya penuh keputus asaan

Bahagia adalah pilihanku dalam menjalani kehidupan yang penuh warna
Tersenyum dan menyapa adalah kebiasaan yang kususka setiap pergantian bulan dengan mentari
Menjadi Mawar di antara duri
Terkadang menjadi teratai yang selalu menghadap ke atas dan mengikuti arus air

Kebersamaan bagiku adalah kunci kehidupan
Seringkali ia disebut sebagai ukhuwah, menyelamatkan saudara setara dengan menyelamatkan diri sendiri
Bagiku bahagia saudara adalah bahagiaku
Tawanya tawaku, menyelamatkan nyawanya sebelum nyawaku adalah sebuah keharusan dalam pertemanan, walau
Seringkali kesetiakawananan ini menjebak hatiku sendiri, bahkan menggores luka di lubuk hati yang selalu berhasil kututupi

Banyak tawa bahagia yang kutemui setelah apa yang kulakukan
Dari tua hingga muda, remaja bahkan balita, selalu mendapatkan senyum kehangatan ini
Walau seringkali berat hati dalam menjalani hidup, namun hakikat menebar bahagia itu tak pernah luntur
Karena aku adalah kakak, bahagia bagiku sebuah keharusan, seberat apapun beban yang tertitip di pundak, karena
Keceriaan adalah imunitas dalam memperjuangkannya

Tak selamanya panas bertahan lama, ia butuh angin
Atau hujan gerimis, bahkan badai kencang yang menyirami semua permukaan bumi
Bahkan membuat beberapa pohon tinggi nan kokoh ikutan tumbang

Itulah hatiku ketika angin kekecewaan menghampiri
Mulanya hanya diam sebiru bahasa dengan senyum tipis yang masih terlihat manis
Lalu beranjak kepada diam seribu bahasa yang bahkan tidak ingin melihat siapapun
Cukup sendiri saja merasakan sakit, jika terpaksa menyapa hanya takut menorehkan luka
Atau bahkan berprasangka, lalu memperkeruh keadaan
Cukup diam, menenangkan hati, mengikat prasangka yang terlanjur bercabang
Bahkan menjadi sebuah susunan cerita

Tak jarang, ia yang menyayangiku rindu dengan wajah ceria itu, terpaksa menekuk muka setiap berjumpa
Takut menambah luka, atau bahkan menjadi bagian dari luka itu sendiri
Bagiku mengalah adalah jalan, jalan kebebasan hati
Bagiku bahagia teman adalah segalanya, walau aku harus membagi hatiku
Bagiku, memastikan teman selamat adalah sebuah keharusan, walau tak jarang keselamatankupun terancam
Bagiku sakit ia adalah sakitku, walau seringkali sakitku kukonsumsi sendiri, tak ingin merepotkan

Aku yang tanpa perencanaan, namun mampu memenej sebuah kekacauan
Aku yang suka bepergian jauh meski selalu memberi kabar pada ia oarngtua yang kubanggakan
Aku yang suka menebar kebahagiaan, keceriaan, bahkan menjadi penggerak dalam sebuah perkumpulan
Walau seringkali menjadi pemimpin di situasi yang kusut
Aku yang seringkali mudah membagi bahagia,
Membuat orang mampu mendekat bahkan menjadi bagian dalam hati ini,
Terkadang lupa memilah mana yang menetap di hati, atau hanya singgah

Sayangnya, kekecewaan seringkali menyisipkan air mata
Menyendiri di antara pepohonan, bahkan perkebunan, di kaki bukit
Di bawah terpaan rinai air terjun, di sudut masjid, di perpustakaan
Bahkan di pinggiran sungai yang seringkali menemaniku dalam duka yang mendalam.

Hanya ia yang entah siapa mampu mendobrak benteng kecewa hanya dengan duduk berdiam lama, lalu saling tertawa tanpa mengorek apapun
Ia hanya menemaniku dalam diam, seolah paham lalu sedikit melempar dalil
Yang menyentil hati, tanpa sadar menitikkan air mata, dan akhirnya tertawa bersama
Kamu Mate, wanita yang juga setipe denganku
Terimkasih atas pengertian itu, yang nyatanya apa yang kulakukan adalah cerminan dari apa yang juga akan kau lakukan.

uniLilis