MERAH
PUTIH DI AR-RUHAMA
(Cerpen
Oleh : Uun)
Kamis,
saat pulang sekolah sirinei dari TOA yang khas itu melengking indah serta
memekikkan telinga semua anak-anak yanhg sedang belajar di PKBM Arruhama. Aku
juga terkejut, namun kulihat satu persatu anak-anak itu mulai berlarian dari
ruang masing-masing, ada yang dari dalam saung, ada yang dari ruangan dan ada juga
yang dari alam bebas.
Tak
lama terdengar suara dari toa tadi.
“Kepada seluruh anak-anak Paket C,
Setara SMA agar segera berkumpul di lapangan sekarang juga....!!! Sekali lagi,
kepada seluruh anak-anak paket C setara SMA agar segera berkumpul di lapangan
sekarang juga!!!! satu.... dua... tiga....”
Terlihat
anak-anak yang dimaksud mulai berlarian menuju lapangan sederhana yang
berpafingblok, sepertinya mereka sudah paham bahwa, hitungan itu adalah ritme
dari setiap langkah kaki mereka, lihatlah semuanya tergesa-gesa tidak ada yang
santai serta berleha-leha, terlihat sosok wanita cantik yang berparas tegas itu
sudah berdiri di lapangan, bersama dengan dua laki-laki yang memakai seragam
lapangan.
Dan
dalam hitungan lima tadi, semuanya telah berkumpul rapi, namun tunggu dulu, lihatlah
dua anak yang dengan langkah malasnya berjalan gontai menuju lapangan.
“KALIAN BERDUA.... CEPAAAAAT
SATU,,,,,DUA....”
Namun
perintah itu tetap mereka abaikan, wanita cantik berjilbab cokelat dan
berkacamata itu tersenyum sinis. Kedua anak tadi sepertinya paham akibat apa
yang akan mereka terima, dan benar saja, pilihan push up adalah hukuman terbaik untuk melatih fisik, dua anak
laki-laki berwajah tampan itupun mengambil posisi lalu dengan segala kerelaan
hati mereka, mahu tidak mahu push up
mengikuti hitungan wanita cantik itu.
“Hari ini, kita akan mencoba
membentuk tim paskibra, yaitu tim pengibar bendera dadakan, karena sebelumnya
di sekolah ini tidak ada tim paskibra, jangankan tim paskibra, upacara saja
kita tidak pernah, tetapi berhubung 17 Agustus akan segera datang, maka kita
akan mencoba memilih tim paskibra dari Paket C setingkat SMA untuk menjadi
petugasnya.” Jelas wanita cantik itu panjang lebar.
Haripun
berganti, setiap pulang sekolah anak-anak itu sudah paham jikalau mereka harus
latihan, tidak lupa bekal dari rumahpun mereka bawa, sekolah ini special ada yang kurang mampu dalam segi
biaya, namun ada juga beberapa yang memang mampu, dan tidak ada perbedaan yang
diberikan oleh guru-guru, kasih-sayang itu rata, aku bisa melihat ini setiap
harinya.
Setiap
pagi, ketika guru-guru itu datang, mereka tidak langsung duduk santai di
kantor, tetapi memilih membaur di antara para murid, menyapa dan saling
bercerita serta tertawa bersama, menyalami murid-murid, guru laki-laki dengan
murid laki-lagi dan guru perempuan dengan murid perempuan, aku terkadang heran,
kenapa tidak semua murid saja yang
mereka salami, entahlah semoga suatu hari nanti aku temukan jawabannya.
Sabtu
siang, saat matahari sedang teriknya, dan waktu Zuhur telah pergi, istirahat
makan siangpun telah berakhir, sirinei dari toa sederhana itu kembali terdengar
melengking. Kali ini hanya petugas upacara saja yang tersisa yakni seluruh
siswa Paket C, setara SMA sedangkan anak-anak Paket B dan Paket A telah diperbolehkan
pulang, Paket B juga pulang setelah satu jam latihan paduan suara untuk lagu
Indonesia Raya serta Mars 17 Agustus.
Pelatih
paskibra sudah standby di lapangan, pelatih pembacaan teks UUD, do’a dan protokol
beserta pimpinan kompi dan pimpinan upacara sudah bersiap di saung yang sejuk
serta indah di antara pepohonan hijau. Tampak kakak pembina paskibra itu
berbicara empat mata dengan komando tim paskibra, dengan mengangguk anak
laki-laki berperawakan Aceh itu paham, lalu mengambil alih barisan, kulihat
semuanya keluar ke jalan raya tempat aku biasa duduk, aku menggeser duduk agak
jauh dari mereka.
Paskibra
di kebanyakan sekolah biasanya mengibarkan bendera di dalam lapangan sekolah
yang luas, sementara Sekolah Paket ini, mereka unik, lihatlah mereka bisa
memanfaatkan jalan aspal yang memang sunyi saat jam siang untuk menjadi jalur
mereka menuju tiang bendera. Mereka berjalan lurus lalu dengan aba-aba paskibra,
belok kiri tanpa merusak susunan barisan mereka memasuki pagar depan sekolah
dan dengan formasi luar biasa, mereka tidak kalah hebat dengan tim paskibra
yang sudah lihai, dalam hati aku berdecak kagum, dalam waktu sejanak mereka
sudah bisa sekompak itu.
Latihan
berlangsung berkali-kali, mereka mengulang-ulang latihan, begitupula dengan
pemimpin upacara yang dari tadi mengetest suaranya menyiapkan barisan,
lengkingan itu jelas menandakan semangat untuk saling menyukseskan upacara
perdana ini. Begitu juga yang lainnya terlihat bersinergi serta solidaritas
yang tinggi.
Satu
jam lebih anak-anak luar biasa ini
latihan, tetapi selalu berhenti di saat pengibaran, aku hampir saja tertawa
terbahak dikarenakan sekolah ini tidak memiliki tiang bendera, aduhai bagaimana
bisa, bukankah di kantor, di sekolah bahkan di rumah, ada tiang bendera,
terdengar nada-nada kecewa dan protes dari mereka.
“eeee bagaimana ini kakak, tiang
benderanya tidak ada, bagaimana kami mahu belajar mengibarkan benderanya,
menyamakan ritme lagunya? Tiangnya tidak ada.....”
Protes seorang gadis cantik berkulit sawo matang , berjilbab rapi menutupi dada
dan punggungnya, ia terlihat vokal di antara yang lain.
Kakak
laki-laki yang dimaksud tadi terdiam, kulihat ia berfikir keras, lalu masuk ke
dalam kantor, beberapa menit kemudian ia keluar bersama tiga guru wanita yang
bergegas mengambil motor, satu motor dua orang, dan guru yang satu lagi berdua
dengan seorang murid. Merekapun memberi kode.
“nanti tunggu kami pulang ya Kak,
baru pasukannya dibubarkan..”
Pesan
guru cantik berkaca mata itu, namun sepertinya kakak pembina paskibra itu tidak
serius mendengarkannya. Alhasil ketika guru-guru itu kembali pasukan telah
bubar dan sudah pulang, aku masih saja nyaman memperhatikan mereka dari jauh.
Terlihat
wajah kecewa dari ketiga guru wanita itu, mereka ternyata membawa stok (kayu pramuka) sebanyak 16 buah.
“hadeh..... kakak pembina....
kenapa anak-anak dipulangkan? Ini kita baru beli stok untuk tiang benderanya,
agar mereka bisa latihan mengibar....” Guru berkacamata itu
terlihat panik dan sedikit kecewa.
“tenang cikgu, anak-anak sudah
letih jadi besok pagi jam 07.00 saya suruh ke sekolah untuk mendirikan tiang
bendera, biarkan mereka istirahat...” Jawab kakak pembina
itu dengan santainya.
Akupun
penasaran, bagaimana kayu-kayu stok itu bisa menjelma menjadi sebuah tiang
bendera? Entahlah kalaupun bisa, apakah bisa untuk ditarik oleh tiga pengibar?
Biasanya tiang bendera pramuka ada cangkir kecil di atasnya, apakah tiang ini
juga? Ah, aku semakin penasan dengan ini semua, kuputuskan esok pagi melihat
mereka latihan lagi.
Pagi
ahad, aku sedikit terlambat memperhatikan mereka, karena aku kebanjiran
pekerjaan pagi ini, tetapi jam 08.00 kuputuskan untuk melewati sekolah ini,
terlihat hanya anak-anak yang sedang
mengikat-ikat stok dengan tali, sepertinya mereka sedang merancang tiang
bendera. Tim dibagi menjadi dua, tim laki-laki membuat pondasi dan tim
perempuan membuat pucuk tiangnya, aku tidak melihat guru serta kakak pembina
yang kemarin, mungkin mereka sedang ada keperluan. Akupun juga tidak bisa
berlama-lama memperhatikan anak-anak ini, aku harus menyelesaikan pekerjaan
yang menumpuk terutama di hari libur ini, kuputuskan pergi dari sekolah
anak-anak ini, bergumam semoga esok pagi upacara kalian berjalan lancar.
Benar
saja, pagi senin jam 06.00 tim pengibar sudah ada di sekolah, namun tidak
dengan pakaian serba putih-putih serta selempang merah putih, pakaian mereka
sederhana, baju putih, celana serta rok hitam dipadukan dengan peci hitam serta
jilbab putih panjang menutup dada dan punggung. Akupun takjub, dalam
kesedarhanaan kuharap mereka mampu membuat pagi ini indah.
Tanpa
menunggu lagi terlihat pimpinan mereka sepertinya telah datang, kurasa beliau
yang nantinya akan menjadi pembina upacaranya, semua pasukan telah siap di
posisi masing masing. Paket A setara SD sudah berbaris di lapangan sederhana, guru-guru
di lapangan juga namun berpafingblok tepat di depan anak-anak Paket A,
sedangkan seluruh Paket B berbaris di sebelah Timur dengan paduan warna baju
merah untuk laki-laki dan putih untuk wanita, mereka terlihat indah, serta tim
paskibra yang sudah siap siaga di pinggir jalan di luar pagar.
Aku
deg-degan memperhatikan upacara ini, terdengar tertib acara upacara sudah
dibacakan oleh petugas, ah.. suaranya tidak kalah indah dengan protokoler
Gubernuran, keindahannya sama, kurasa efek latihan vokal yang tidak sia-sia,
pasukanpun disiapkan oleh pimpinan kompi, lengkingan suara dari sudut itu
menggema ke langit-langit pagi ini, ditambah sapaan dari Pemimpin upacara yang
juga baru memasuki lapangan upacara, getarannya menusuk hati, sungguh dalam
segala kekurangan dan keterbatasan, mereka sanggup tampil sempurna.
Dan..
inilah penyempurna keberhasilan itu. Tim paskibra yang mulai berjalan gagah
dengan langkah kaki yang tegap, sungguh mereka tidak kalah keren dengan anak-anak
paskibra yang terbiasa mengikuti perlombaan, aku memperhatikan mereka dengan seksama, perpaduan langkah tegap
maju jalan, ritme jalan di tempat mereka, dan saat mereka membuka formasi, itu
sebuah harmoni keindahan yang sulit untuk digambarkan.
Aku
terdiam ketika tiga orang pembawa bendera itu berjalan menuju tiang bendera,
aku tercekat, tiang bendera itu sederhana, sungguh, dengan kelihaian sistem
tali temali anak-anak hebat ini, sebuah tiang sederhana berhasil tercipta
dengan indah dan bisa digeret seperti tiang bendera yang berkatrol..
“BENDERAAAA SIAP...”
Pekik sang pengibar.
“HIDUPLAH INDONESIA RAYA.....”
Terdengar tim paduan suara mulai bernyanyi, perlahan namun pasti suara mereka
menusuk kalbu.
Untuk
pertama kalinya Merah Putih itu berkibar di PKBM ARRUHAMA. Aku terharu, dalam segala kekurangan serta
keterbatasan hari latihan, tanpa tiang bendera, anak-anak ini berhasil
mengibarkan sang Merah Putih, sungguh sebuah perjuangan yang tidak akan terlupakan.