Jumat, 29 Mei 2015

Cinta Bang Day Jilid 8



Titipan Penguasa Alam
(Cinta Bang Day Jilid 8)
Liburan memang mengajarkan banyak hal, melihat dunia baru, menikmati tempat-tempat baru dan tentunya liburan bersama suami sendiri serasa pacaran, yah seperti yang sering diimpikan teman-teman semasa kuliah dulu, pacaran setelah menikah. Aku memang tidak pernah pacaran sebelumnya karena Allah menjagaku dari hal-hal yang tidak baik.
Namun untuk jatuh cinta, aku memang merasakannya tetapi selalu kusimpan di dalam hati ini. Berharap suatu hari nanti Penguasa Alam menyatukanku dengan dia yang namanya sudah lama kusimpan, nama Bang Dayat tentunysa. Sedari kecil hanya dia yang berhasil bertahta di hatiku, dan aku menjaga nama itu baik-baik, walau tidak jarang aku digoda oleh kawan-kawanku, aku tetap menjaganya.
Dan hari ini setelah penantian yang panjang itu, aku bisa bersamanya kemanapun. Seperti orang yang baru jadian dan pacaran, kami sudah lama jadian di depan penghulu tetapi untuk menikmati masa-masa indah ini, baru kali ini kami sempat pergi berdua.
Pulang dari Padang kesibukan kami padat, aku dengan persiapan anak-anak yang akan ujian semester genap dan Bang Dayat dengan projeck barunya yang mengharuskannya pulang lembur setiap hari.
Hingga malam itu, saat aku akan menemani mama ke swalayan, tiba-tiba aku merasakan sakit yang sangat di kepalaku, sakit yang membuat bumi ini serasa berputar, aku berpegangan di lengan mama, tetapi mama sepertinya tidak sanggup menahanku dan akupun hampir roboh di depan pintu. Saat itulah tiba-tiba Bang Day dengan sigap keluar dari mobilnya lalu menahanku di lantai beranda rumah.
“Me, kenapa ni dek? Me tidak apa-apa sayang?” tanyanya dengan kepanikan yang hebat.
Aku masih mengaduh dan berusaha menahan sakit ini, denyutannya sangat menusuk, membuatku berasa mual dan ingin muntah
“SAKIT Baaang!” jawabku setengah menjerit menahan sakit.
Mama dan Bang Day membopongku ke dalam mobil, tanpa berfikir panjang, malam itu kami langsung menuju klinic 24 jam yang tidak jauh dari rumah.
Alhamdulillah dokter yang ada malam ini perempuan, melihat aku yang kesakitan memegang kepala, ia menyuruhku berbaring dan menyuntikkan sesuatu di lenganku, hingga aku merasa rilex antara sadar dan tidak sadar, dokter itu memeriksa tensi darahku dan bertanya-tanya kepada Bang Dayat, mama memilih duduk di  luar karena tidak tahan dengan aroma obat-obatan,  akupun akhirnya tertidur sejenak, entah apa yang dibincangkan Dokter kepada Bang Day, percakapan mereka terdengar sayup-sayup di telingaku.
Sambil tertidur aku mengulang-ulang ayat-ayat dan surah-surah yang pernah kuhafal, agar aku merasa lebih tenang dan tidak panik, seiring lantunan ayat yang kubaca sedikit demi sedikit rasa sakit itupun berkurang, akupun tertidur di ruangan ini.
Kurasa 30 menit lamanya aku tertidur di rungan ini, hingga akhirnya Bang Dayat membangunkanku dengan pelan.
“Me... Mela... Mela sayang, Bangun dek, hei... bangun...” Bang Day mengusap wajahku dengan tangannya yang basah, dan membenahi jilbabku yang terlihat berantakan, perlahan aku bangun, dan mencoba untuk duduk.
Setelah aku merasa sempurna duduk aku membaca Surah Alfatiha, dan mengusap wajah dengan kedua tanganku, Bang Dayat membimbingku turun dari kasur rawat ini, kami duduk berdua di meja dokter menunggu penjelasan-penjelasan dan tentunya daftar obat-obat.
“Tuan Dayat dan nyonya Mela, saya mengucapkan selamat karena anda berdua akan memiliki momongan..” Lancar kalimat itu meluncur dari dokter Diah malam ini, aku terkejut serta bersyukur kepada Allah.
Lihatlah wajah berbinar dari muka sejuk suami ku itu, kelelahannya sepulang  kerja berganti binar bahagia yang luar biasa, bahkan ia menggenggam tanganku erat, kalau lah ini bukan ruangan dokter mungkin ia sudah memelukku. Aku meliriknya, melihat binar bahagia itu.
“Tapi, saya mohon maaf kondisi Nyonya Mela agak rentan, karena kehamilan beliau ini lemah, kemungkinan untuk menjadi janin itu hanya 30 persen, dan saya harap untuk istirahat total, apalagi saraf di kepala akan merespon cepat ketika rasa mual itu datang, sehingga akan banyak kontraksi yang terjadi, tetapi kalau dijaga dan selalu kontrol semoga bisa menjadi rezeki.” Penjelasan dokter Diah membuat kami terdiam sejenak.
Pesan yang disampaikan dokter Diah membuat aku mengangguk dan bang Dayat juga paham, kami pamit untuk pulang, setelah menebus beberapa obat dan membayar biaya periksa kami menuju mobil yang terparkir.
“Eh, mama dimana bang?” Aku baru sadar kalau dari tadi tidak ada mama.
“Dijemput kakak dek, tadi abang dan kakak mau ke rumah jadi abang bilang kita lagi di klinic mereka menyusul dan membawa mama ke Panam, karena mama mulai pusing dengan aroma obat-obatan.” Jawab bang Day
“Ooo, kita pulang ya bang, Me mau istirahat di rumah.” Balasku padanya.
Sambil membuka pintu mobil untukku bang Dayat tersenyum hangat.
“Baik tuan putri! Titahmu akan hamba laksanakan.” Balasnya sambil tertawa padaku.
Sesampainya di rumah Bang Day membersihkan dirinya, ia mengajakku untuk sujud syukur bersama atas info dan anugrah Allah ini, calon anak kami.
“Ya Allah terimakasih telah menitipkan benih ini kepada kami, terimakasih sudah percaya kalau kami bisa menjadi calon orangtua, terimakasih segala anugerah ini, dan terimakasih atas amanah yang besar ini..” Doa bang Day
Aku yang di belakangnya mengaminkan, dan bersyukur kepada Allah.
“Sebaiknya berita ini jangan disiarkan ke mama dan amak bang, takutnya ini belum pasti mereka sudah terlanjur bahagia, Me takut mengecewakan mereka bang...” Aku berbicara serius dengan bang Day, kulihat ekspresinya datar saja, padahal saat itu ia bersiap untuk menelfon mama. Lama ia terdiam hingga khirnya ia mengangguk.
Entah apa yang membuatku ragu dengan calon janin ini, apakah karena penjelasan dokter Diah atau karena aku belum sepenuhnya siap menjadi orangtua, ataukah ini hanya tipu daya setan yang ingin melemahkanku, Astagfirullah...
Dua minggu setelah chek up kegiatan bang Dayat semakin padat, ia sering lembur bahkan seminggu ini ia di luar kota menyelesaikan projecknya, ia mengatakan bahwa akhir-akhir ini rezeki datang silih berganti, ia diundang persentasi di mana-mana bahkan ia akan dipromosikan untuk naik pangkat, dan ini semua hanya membuat ia jarang pulang.
Akupun demikian, aku semakin sibuk dengan acara-acara di sekolah, pemeriksaan nilai ujian, penulisan raport dan yang paling menyita tenaga adalah acara perpisahan dengan anak-anak yang baru lulus.
Aku dan Bang Day jarang bertemu, kami hanya menyapa via sms karena bang Dayat tidak bisa menelfon, kami jarang berkomunikasi, mungkin tidak sempat atau bisa jadi, kami sudah saling mendo’akan.
Dan sore itu entah apa yang menyapaku, aku menangis karena menahan rindu kepadanya, aku menelfonnya berkali-kali, namun tidak ada jawaban di ujung sana, akupun meng sms nya, dan tidak ada balasan, aku mulai curiga tidak jelas dengannya, tetapi kembali aku berfikir positif, mungkin ia sibuk, ataun Hp nya tertinggal atau ia sedang di pesawat, sayangnya aku sudah terlanjur sedih dikarenakan tidak mendengarkan suaranya hari ini, aku menangis sejadi-jadinya menangis sambil sesegukan, menangis sedih seperti ditinggalkan sesuatu yang sangat kucintai. Akupun tertidur dalam kesedihan dan kerinduan ini.
Terdengar sayup-sayup HP ku berbunyi dan bel rumahnya juga berbunyi, aku dengan sisa tenaga yang kupunya berusaha menuju pintu depan, sembari mengangkat telefon dan terdengar suara Bang Day yang tidak jelas. Ku buka pintu depan, kulihat ia membawa seikat bunga lili putih dan tersenyum bahagia, sayangnya senyum bahagia iti kubalas dengan tatapan sayu dan jatuh terkulai di hadapannya.

Kamis, 21 Mei 2015

Cinta Bang Day Jilid 7 (Jembatan Cinta)



Cinta Bang Day Jilid 7
Jembatan Cinta
Bang Day  membawaku ke sebuah tempat yang sangat indah, dari mobil yang dikendarainya sudah terlihat kerlipan lampu-lampu rumah penduduk yang bersusun rapi, membentuk sebuah bukit nan indah, sepanjang jalan aku melihat pemandangan kota Padang di malam hari, seperti yang sering Rahmi ceritakan kepadaku, ada Bukit Bintang di Padang, atau Bukit Lampu, sungguh sangat-sangat indah, pesonan malam yang menyejukkan mata dan hati.
“Kita kemana bang?” Aku menatapnya lembut, melihat wajahnya yang sejuk dan teduh, setelah segala kepanikan luar biasa yang dilaluinya karena ulah kekanak-kanakanku, ia menyetir dengan santainya dan sangat fokus, hingga ia lupa pertanyaanku.
“Kenapa dek?” Balasnya singkat.
Aku menatapnya sambil tersenyum, memutar sedikit badanku menghadapkan ke arahnya, aku fokus memperhatikannya menyetir, menatap setiap gurat-gurat wajahnya, matanya yang agak menyipit efek kaca mata yang selalu digunakannya, wajah putihnya yang memancarkan kekuatan, serta ketegaran wajahnya dan lihatlah senyuman khas dengan lesung pipinya, masih tetap sama sejak kami kecil dahulu.
Bang Day tersipu malu.
“Jangan terlalu memperhatikan abang Me, lihatlah di sekitar kamu, pemandangannya sangat indah, kamu tidak tertarik untuk melihatnya?” Bang Day malu saat aku memperhatikannya.
Aku menghela nafas dalam, tersenyum hangat dan tak lelah aku memperhatikan laki-laki yang kusimpan rapi namanya dari kecil dulu hingga kini ia menjadi suami sah ku.
“Bagi Me bang, menatap abang seperti ini adalah pemandangan yang paling indah dalam hidup Me, berdekatan dengan abang, menatap setiap guratan wajah abang, bahkan bisa menjadi ma’mum dalam sholat abang, melakukan kembali kegiatan masa kecil kita bersama lagi bang, Me sangat bersyukur bang, dan terkadang Me terfikirkan, mengapa akhirnya penguasa alam menyatukan kita dalam ikatan yang indah ini ya bang, padahal dulu...” Aku menghentikan pembicaraan.
Bang Day menoleh padaku, berharap penjelasan.
“Dulu Kenapa Me?” Bang Day menatapku, sembari mencari posisi untuk memarkirkan mobilnya, ia memilih parkir di pinggiran masjid yang berada di bibir jembatan, aku baru sadar kalau ternyata perjalanan ini bermuara di Jembatan yang terkenal di kota Padang, Jembatan Siti Nurbaya.
Kami berdua turun, angin malam menerpa tubuh kami, sejuknya angin di sini seperti angin di pinggiran pantai, karena muara pantai Padang ada di jembatan Siti Nurbaya, kisah roman klasik yang terkenal seantero Sumatera Barat. Bang Day menggenggam tanganku menuntunku berjalan di pinggir jembatan, sepanjang jalan kami belum belanja atau makan, kami memilih mengitari sudut-sudut Jembatan nan indah ini, jembatan dengan cerita cinta kasih tak sampai.
Bang Day tiba-tiba berhenti, membuat ayunan tangan ini juga reflek berhenti, aku terkejut, menoleh padanya.
“Me belum menjawab pertanyaan abang, emang dulu kenapa Me?” ternyata bang Day penasaran dengan ucapanku tadi.
Aku tersenyum, menarik tangannya, mengajaknya kembali berjalan menyusuri jembatan Siti Nurbaya yang di pinggiran jembatan ini banyak dipenuhi para pedagang sate, pedagang jagung bakar, dan penjual bandrek.
“Dulu, rasanya tidak mungkin bisa memiliki Bang Dayat bahkan bermimpi pun tidak berani, Bang Day kan anak “komplek” yang tumbuh serta besar di sekolah yang ternama, harta dan kasta yang membedakan kita, membuat impian sederhana gadis seperti Me ini laksana pungguk merindukan bulan bang itu tidak mungkin, tetapi almarhum ayah abang sosok yang berbeda bang, ia berhasil menepis semua yang Me fikir.”
Bang Dayat mengelus kepala ku, kami sudah duduk di salah satu warung yang menjual nasi uduk tepat di pinggiran muara sungai di bawah jembatan Siti Nurbaya.
“Harta dan kasta itu tidak membuat pintu jodoh tertutup Me, jodoh itu rahasia Penguasa Alam, mau dipaksakan sampai kita menangis darah sekalipun, kalau tidak jodoh maka tidak akan terjadi Me, tetapi mau kita tolak, kita jauhi, kita tinggalkan, kalau sudah jodoh sejauh apapun mereka berada maka akan Allah persatukan juga, dan yang harus kita lakukan hanya memantaskan diri kita, agar Allah menyatukan dua hati kita. Lagipun mencari jodoh itu bukan dilihat dari kecantikannya, atau keturunannya, ataupun hartanya melainkan agamanya Me, seperti kamu.. abang memilih kamu karena agama kamu Me, yang abang yakin akan mampu membimbing abang dan keluarga kita nantinya menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah dan Warohmah.” Bang Dayat menjawab dengan tenangnya.
Angin malam semakin terasa sejuk, pesanan kami pun telah sampai di meja, nasi uduk dengan ayam bakar serta sepiring tahu dan tempe goreng, di tambah jeruk hangat membuat nuansa malam kota Padang ini serasa hanya milik kami berdua. Aku sedikit menggigil karena mungkin tubuhku belum pulih dan belum kembali fit.
Bang Dayat menggenggam kedua tanganku yang mulai merasa dingin, ia paham sekali dengan bahasa tubuhku.
“Kita bisa lihat kok dek, dari jembatan ini bukti kepasrahan cinta seorang gadis lugu, Siti Nurbaya yang tulus mencintai Samsul Bahri, namun sayang lika-liku perjalan cinta mereka tidak seindah kisah cinta kita, banyak sekali ujian yang harus mereka lalui Me, terlebih ketika Siti Nurbaya harus menerima pinangan Datuk Maringgi yang sengaja meminjamkan uang riba kepada ayahnya Siti, yang nyatanya ayah Siti tidak mampu membayarnya hingga pilihannya adalah menikahkan Siti dengan Datuk Maringgi, betapa tersiksanya hati Siti Nurbaya ia harus merelakan lelaki yang dicintainya untuk ia lepaskan dan menerima kenyataan kalau Datuk Maringgi nan tua itulah suaminya.” Bang Dayat berkisah tentang roman klasik Siti Nurbaya.
“Lalu bagaimana perasaan Samsul Bahri bang?” Tanyaku penasaran.
“Dia kecewa, kekasih hatinya telah dipinang oleh lelaki tua yang tak tahu malu, Samsul memilih pergi, daripada tersiksa melihat wanita yang ia cintai hidup dengan lelaki yang ia benci, ia pergi jauh merantau ke luar pulau dan memilih menjadi tentara, namun sayang khabar simpang siur yang terlanjur dikirim kepada Siti adalah Samsul bunuh diri karena kecewa, sedangkan Siti demi mendengar khabar itu memilih untuk bunuh diri di sini Me, di jembatan ini, demi mengenang kisah cinta dua anak manusia itu pemeritah memilih membangun jembatan Siti Nurbaya yang indah ini.”
Badanku agan merinding sedikit demi mendengar cerita bang Day, kalau di jembatan ini adalah tempat Siti bunuh diri berarti.. ini kuburan Siti Nurbaya?, aku memilih pindah duduk di samping Bang Dayat tadinya posisiku berhadapan dengannya, karena ada sesuatu yang kurasa aneh di sekitar ku, aku menggeret kursiku duduk di sebelahnya.
“Kenapa dek? Kok pindah ke sebelah abang? Abang kan tidak jauh-jauh dari kamu sayang...” Bang Dayat pandai juga menggombal.
Aku mencubit tangannya, dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“Berasa ada yang meniupkan sesuatu di kuduk Me bang, jadi merinding gimana gitu bang, hee manatau Siti Nurbaya mau berbagi cerita dengan Me bang, tapi Me cemas ni bang..”
Bang Dayat merangkulku serta berusaha memberikan kekuatan.
“Tenang Mela sayang, kan ada abang Dayat di sini, di sisimu.” Bang Dayat ternyata pandai menyusun kata-kata romantis.
Aku tersipu malu mendengarnya

Senin, 11 Mei 2015

cinta bang Day Jilid 6



Penjelasan Bang Dayat
(Cintanya Day Jilid 6)
Perlahan aku membuka mata, memperhatikan sekitar, dan aromanya yang tercium adalah aroma yang kurang kusukai, aroma obat-obatan, yah aroma khas rumah sakit, siapa yang telah membawaku ke rumah sakit paling terkenal di Padang ini? Rumah sakit M. Jamil, kepalaku masih pusing efek sedikit terbentur dan terlalu banyak berfikir, tak lama aku mendengar suara langkah kaki, sepertinya langkah kaki wanita dan aku mengenali langkah kaki itu, langkah kaki yang selalu cepat dan terburu-buru ciri khas seseorang, tiba-tiba ada sosok wanita yang masuk ke dalam ruangan ini lalu tersenyum hangat padaku, aku membalas senyumnya
“Rahmi..?”
Sapaku dengan senyuman kebahagiaan.
“Iya Me, ini aku Rahmi, Me udah mendingan?”
Rahmi, sahabat baikku selama kuliah yang berhasil menemukan dan membawaku ke rumah sakit ini, sepertinya ia dan suaminya menemukanku pingsan di pinggir trotoar kota Padang.
“Tadi Mi lihat Me di pinggir trotoar dekat taman kota, rasa-rasanya Mi kenal, setelah Mi periksa ternyata beneran Mela, makanya minta tolong abang, untuk langsung membawa Me ke sinin saja, kebetulan abang tugas di sini Me,,,” jelas Rahmi
Aku menitikkan air mata
“Suamimu sudah keberitahu Me, ia akan segera ke sini, tadi ia keliling Padang, dan tidak menemukanmu, lalu aku menelfon nomormu dan ia mengangkatnya, ada nada khawatir di sana..” Rahmi diam sejenak
“Apa kalian baik-baik saja Me? Apa yang terjadi teman? Ceritalah, berbagi denganku, manatau aku bisa membantumu walau sekedar memberi nasehat..”
Rahmi menggenggam tanganku, ku lihat suaminya sedang sibuk memeriksa sekeliling ku.
Lama aku terdiam, dalam keadaan seperti ini, Allah mentakdirkan sahabat terbaikku, yang  justru berhasil menemukanku, di mana kamu bang? Masih sibukkah dengan wanita itu, cinta lamamu yang kembali hadir, atau kamu sedang bernostalgia dengannya, hingga lupa kalau aku di sini, setega itukah bang,,,,
Aku menitikkan air mata, setelah menikah aku seringkali menangis, aku tidak semilitan masa kuliah ku, cobaan yang kuhadapi kali ini cobaan bathin, memahami, menerima dan melepaskan...
Rahmi mendekat ke arah kepala ku, ia menggenggam tanganku, menatapku penuh iba.
“Me..., ayolah kawan, jangan selemah ini, seumur-umur aku mengenalmu kawan, tidak pernah aku melihatmu selemah ini, bicarahlah baik-baik dengan suamimu, jangan seperti ini, ini cemburu buta, bisa mengikis hati dan perasaan Me, berdamailah dengan masa lalunya, biarkan ia perlahan memahimu kawan, cinta tidak secepat itu bisa masuk ke hatinya, ia butuh proses panjang walau mungkin cinta itu ada di hatimu sejak kalian masih kecil, tapi itu dulu Me, jauh sebelum pemahan-pemahaman baik dan buruk itu masuk ke hati kalian masing-masing. Ajaklah ia bicara, beri ia waktu memaparkan siapa ia sebenarnya, maka pahamilah, bukankah kawan ku ini seseorang yang selalu sabar dalam segala hal, sabar lah menerimanya Me,”
Ya Allah, sahabat kuliah yang dahulunya hanya saling tertawa, kini ia memberiku nasehat yang dalam dan menghujam ke hatiku, kematangannya setelah menikah membuatku kagum, kini ia yang menasehatiku, biasanya aku yang menasehatinya, itulah persahabatan.
Rahmi benar, kenapa aku terlalu sensitif dan mengambil keputusan tanpa berfikir panjang, apa jadinya bang Day, pastinya susah mencariku di sini, tentunya bang Day risau dengan keadaanku, ya Allah teganya aku paadamu bang Day.
“Assalamualaikum”
Terdengar ucapan salam yang tergesa-gesa dari pintu, terlihat wajah cemas dan lelah dari wajahnya, wajah suami yang sudah menikahiku 6 bulan ini, ketenangan, keteduhan serta kepanikan yang ada di wajahnya bercampur menjadi satu, ia melihatku, menatapku, ada genangan air mata di sana, ia menghampiriku memeluk kepalaku berusaha menyampaikan rasa khawatirnya padaku, aku merasakan degub jantungnya yang berpacu dengan kecemasan dan rasa takut kehilangan, aku tak kuasa, dari tadi aku sudah menangis dalam pelukannya.
Rahmi dan suaminya meninggalkan kami di dalam ruang rawat ini, hanya aku dan bang Dayat. Lama bang Dayat memelukku sepertinya aku telah lama meninggalkannya, padahal aku hanya pergi beberapa jam. Bang Day membenarkan posisi duduknya, ia neggenggam tanganku erat, wajahnya penuh peluh dan cemas.
“Mana wanita tadi bang? Sudah selesai reuniannya?” Aku bertanya dengan nada sinis pada bang Day.
“Apa yang masih abang sembunyikan dari Me bang? Kenapa abang menutup masa lalu abang tanpa memberitahukannya kepada Me bang?” Aku kembali bertanya
“SIAPA DIA BANG DAYAT?” Nada suaraku meninggi.
Bang Dayat tidak menjawab, ia hanya tertunduk, sembari menggenggam tanganku, kesabaranku mulai hilang dan melepaskan genggamannya, meminta penjelasan atas apa yang ia lakukan. Bang Dayat menarik nafas dalam, berusaha mencari kekuatan untuk menjelaskan keping-keping masa lalunya.
“Maafin bang Day Me, abang belum cerita mengenai Rani, dia wanita yang pernah mengisi ruang hati abang dulu Me, dulu,, ketika masa-masa awal kuliah, saat abang masih bingung dengan kota ini, dia yang menolong abang, membantu administrasi abang dan menyarikan tempat kos untuk abang, dia kakak tingkat abang, tetapi karena tingginya di bawah abang, ia minta dipanggil adik, dan demi keakraban serta rasa terimakasih, abang menuruti satu-satunya permintaannya, dengan membiarkannya memanggil Abang dan Adek.”
Bang Dayat terdiam sejenak, sedangkan aku dari tadi sejujurnya tidak ingin mendengarkan penjelasan apapun tapi kali ini aku mengalah, tidak mungkin benang kusut ini kubiarkan.
“Ternyata panggilan itu berpengaruh besar Me, semakin hari Rani selalu memberikan perhatian kepada abang, menanyakan kabar abang, menanyakan tugas kuliah dan perkara makan abangpun ia khawatir, dan seringkali kita ikut acara yang sama, hingga saat itu Rani menyatakan perasaannya kepada abang, awalnya abang bingung Me, antara balas budi dan rasa cinta, abang tidak pandai meisahkan dua rasa itu, antara kasihan atau peduli, abang bingung Me, ditambah kabar dari Mama kalau Mela jarang terlihat lagi di masjid. Abang bingung saat itu, hingga akhirnya abang terima Rani menjadi pacar abang, mungkin sama seperti bang Miqdad Me dan abang tahu itu kesalahan abang Me, tapi please itu masa lalu abang Me.” Jelas Bang Dayat.
“Bang Miqdad tidak masuk dalam masalah ini bang, dia yang cinta sama Me, tetapi Me tidak ada rasa apapun terhadap bang Miqdad, Me masih setia dengan abang. Jangan samakan.” Aku memotong penjelasan Bang Dayat.
“Dan kenapa ketika bertemu dengan Rani, abang seolah tidak peduli dengan Me? Abang lupa kalau Me, istri sah abang, yang ada di samping abang? Apa namanya kalau bukan karena rasa cinta itu datang lagi kan bang?” Aku mulai kesal.
“Justru kenapa Me pergi? Padahal abang butuh kekuatan di sana Me, abang ingin menunjukkan istri sah abang kepadanya, tetapi Me telah pergi, andai Me tahu, ia meminta abang untuk menikahinya Me, menjadikannya istri kedua abang...” Bang Dayat Menatapku
Sedangkan hatiku sudah dari tadi merasa sakit atas semua penjelasan ini, aku tidak bisa berbagi apa yang kumiliki untuk orang lain.
“Abang berniat meninggalkan Me bang?” Dan aku menangis sesegukan.
“Abang tega....” isak ku.
“Abang tidak mungkin menduakanmu Me? Itu bukan prinsip abang Me! Tidak mungkin abang menikahinya, itu mustahil, abang hanya menyuruhnya untuk kuat dan berusaha menerima orang lain dalam hidupnya dan segera melupakan abang, abang sudah minta maaf dan berterimakasih atas kebaikannya selama ini, dan terakhir abang mengucapkan kata perpisahan untuknya..”
Aku sudah dari tadi menahan kesedihan yang mendalam ini, menerima kenyataan hidup yang tidak pernah kibayangkan sebelumnya.
“Apa pesan abang?” Dan aku masih penasaran dengan kata perpisahan Bang Dayat terhadap wanita itu
“Abang bilang, Aku mencintai istriku, jodoh dunia akhiratku, yang dari kecil sudah menjadi partner dalam kehidupanku, walau Allah memisahkan kami sementara, untuk bersatu kembali.”
Bang Dayat menetapku, sembari mengambil tissu dan menghapus air mataku
“Maafin Me bang.....”
Aku berdiri dan mengambil tangan Bang Dayat lalu mencium tangannya penuh hormat.
Bang Dayat melepas tangannya lalu memelukku erat, sangat erat.
“Kita jalani biduk rumah tangga ini berdua ya Me, saling menguatkan dan saling percaya, Abang selalu berdo’a untukmu Me dan berdo’a untuk keberkahan pernikahan kita, agar kekal hingga ke SyurgaNya.”
Dan aku pun menunduk setuju.
“Kita Pulang Bang?” Aku berkata pelan padanya
Bang Dayat menggeleng.
“Kita akan ke suatu tempat yang indah Me, tenpat yang sangat bersejarah di kota ini, kita akan ke sana menikmati malam ini.” Ucapnya
“Kemanapun abang membawa Me, Me akan ikut Abang! Karena Abang Imam hidup Me, maaf pernah menjadi makmum yang salah...” jawabku