Titipan
Penguasa Alam
(Cinta
Bang Day Jilid 8)
Liburan
memang mengajarkan banyak hal, melihat dunia baru, menikmati tempat-tempat baru
dan tentunya liburan bersama suami sendiri serasa pacaran, yah seperti yang
sering diimpikan teman-teman semasa kuliah dulu, pacaran setelah menikah. Aku
memang tidak pernah pacaran sebelumnya karena Allah menjagaku dari hal-hal yang
tidak baik.
Namun
untuk jatuh cinta, aku memang merasakannya tetapi selalu kusimpan di dalam hati
ini. Berharap suatu hari nanti Penguasa Alam menyatukanku dengan dia yang namanya
sudah lama kusimpan, nama Bang Dayat tentunysa. Sedari kecil hanya dia yang
berhasil bertahta di hatiku, dan aku menjaga nama itu baik-baik, walau tidak
jarang aku digoda oleh kawan-kawanku, aku tetap menjaganya.
Dan
hari ini setelah penantian yang panjang itu, aku bisa bersamanya kemanapun.
Seperti orang yang baru jadian dan pacaran, kami sudah lama jadian di depan
penghulu tetapi untuk menikmati masa-masa indah ini, baru kali ini kami sempat
pergi berdua.
Pulang
dari Padang kesibukan kami padat, aku dengan persiapan anak-anak yang akan
ujian semester genap dan Bang Dayat dengan projeck barunya yang mengharuskannya
pulang lembur setiap hari.
Hingga
malam itu, saat aku akan menemani mama ke swalayan, tiba-tiba aku merasakan
sakit yang sangat di kepalaku, sakit yang membuat bumi ini serasa berputar, aku
berpegangan di lengan mama, tetapi mama sepertinya tidak sanggup menahanku dan
akupun hampir roboh di depan pintu. Saat itulah tiba-tiba Bang Day dengan sigap
keluar dari mobilnya lalu menahanku di lantai beranda rumah.
“Me, kenapa ni dek? Me tidak
apa-apa sayang?” tanyanya dengan kepanikan yang hebat.
Aku
masih mengaduh dan berusaha menahan sakit ini, denyutannya sangat menusuk,
membuatku berasa mual dan ingin muntah
“SAKIT Baaang!”
jawabku setengah menjerit menahan sakit.
Mama
dan Bang Day membopongku ke dalam mobil, tanpa berfikir panjang, malam itu kami
langsung menuju klinic 24 jam yang tidak jauh dari rumah.
Alhamdulillah
dokter yang ada malam ini perempuan, melihat aku yang kesakitan memegang kepala,
ia menyuruhku berbaring dan menyuntikkan sesuatu di lenganku, hingga aku merasa
rilex antara sadar dan tidak sadar,
dokter itu memeriksa tensi darahku dan bertanya-tanya kepada Bang Dayat, mama
memilih duduk di luar karena tidak tahan
dengan aroma obat-obatan, akupun
akhirnya tertidur sejenak, entah apa yang dibincangkan Dokter kepada Bang Day, percakapan
mereka terdengar sayup-sayup di telingaku.
Sambil
tertidur aku mengulang-ulang ayat-ayat dan surah-surah yang pernah kuhafal,
agar aku merasa lebih tenang dan tidak panik, seiring lantunan ayat yang kubaca
sedikit demi sedikit rasa sakit itupun berkurang, akupun tertidur di ruangan
ini.
Kurasa
30 menit lamanya aku tertidur di rungan ini, hingga akhirnya Bang Dayat
membangunkanku dengan pelan.
“Me... Mela... Mela sayang, Bangun
dek, hei... bangun...” Bang Day mengusap wajahku dengan
tangannya yang basah, dan membenahi jilbabku yang terlihat berantakan, perlahan
aku bangun, dan mencoba untuk duduk.
Setelah
aku merasa sempurna duduk aku membaca Surah Alfatiha, dan mengusap wajah dengan
kedua tanganku, Bang Dayat membimbingku turun dari kasur rawat ini, kami duduk
berdua di meja dokter menunggu penjelasan-penjelasan dan tentunya daftar
obat-obat.
“Tuan Dayat dan nyonya Mela, saya
mengucapkan selamat karena anda berdua akan memiliki momongan..”
Lancar kalimat itu meluncur dari dokter Diah malam ini, aku terkejut serta
bersyukur kepada Allah.
Lihatlah
wajah berbinar dari muka sejuk suami ku itu, kelelahannya sepulang kerja berganti binar bahagia yang luar biasa,
bahkan ia menggenggam tanganku erat, kalau lah ini bukan ruangan dokter mungkin
ia sudah memelukku. Aku meliriknya, melihat binar bahagia itu.
“Tapi, saya mohon maaf kondisi
Nyonya Mela agak rentan, karena kehamilan beliau ini lemah, kemungkinan untuk
menjadi janin itu hanya 30 persen, dan saya harap untuk istirahat total, apalagi
saraf di kepala akan merespon cepat ketika rasa mual itu datang, sehingga akan
banyak kontraksi yang terjadi, tetapi kalau dijaga dan selalu kontrol semoga
bisa menjadi rezeki.” Penjelasan dokter Diah membuat kami
terdiam sejenak.
Pesan
yang disampaikan dokter Diah membuat aku mengangguk dan bang Dayat juga paham,
kami pamit untuk pulang, setelah menebus beberapa obat dan membayar biaya
periksa kami menuju mobil yang terparkir.
“Eh, mama dimana bang?”
Aku baru sadar kalau dari tadi tidak ada mama.
“Dijemput kakak dek, tadi abang dan
kakak mau ke rumah jadi abang bilang kita lagi di klinic mereka menyusul dan
membawa mama ke Panam, karena mama mulai pusing dengan aroma obat-obatan.”
Jawab bang Day
“Ooo, kita pulang ya bang, Me mau
istirahat di rumah.” Balasku padanya.
Sambil
membuka pintu mobil untukku bang Dayat tersenyum hangat.
“Baik tuan putri! Titahmu akan
hamba laksanakan.” Balasnya sambil tertawa padaku.
Sesampainya
di rumah Bang Day membersihkan dirinya, ia mengajakku untuk sujud syukur bersama
atas info dan anugrah Allah ini, calon anak kami.
“Ya Allah terimakasih telah
menitipkan benih ini kepada kami, terimakasih sudah percaya kalau kami bisa
menjadi calon orangtua, terimakasih segala anugerah ini, dan terimakasih atas
amanah yang besar ini..” Doa bang Day
Aku
yang di belakangnya mengaminkan, dan bersyukur kepada Allah.
“Sebaiknya berita ini jangan
disiarkan ke mama dan amak bang, takutnya ini belum pasti mereka sudah
terlanjur bahagia, Me takut mengecewakan mereka bang...”
Aku berbicara serius dengan bang Day, kulihat ekspresinya datar saja, padahal
saat itu ia bersiap untuk menelfon mama. Lama ia terdiam hingga khirnya ia
mengangguk.
Entah
apa yang membuatku ragu dengan calon janin ini, apakah karena penjelasan dokter
Diah atau karena aku belum sepenuhnya siap menjadi orangtua, ataukah ini hanya
tipu daya setan yang ingin melemahkanku, Astagfirullah...
Dua
minggu setelah chek up kegiatan bang
Dayat semakin padat, ia sering lembur bahkan seminggu ini ia di luar kota
menyelesaikan projecknya, ia
mengatakan bahwa akhir-akhir ini rezeki datang silih berganti, ia diundang
persentasi di mana-mana bahkan ia akan dipromosikan untuk naik pangkat, dan ini
semua hanya membuat ia jarang pulang.
Akupun
demikian, aku semakin sibuk dengan acara-acara di sekolah, pemeriksaan nilai
ujian, penulisan raport dan yang paling menyita tenaga adalah acara perpisahan
dengan anak-anak yang baru lulus.
Aku
dan Bang Day jarang bertemu, kami hanya menyapa via sms karena bang Dayat tidak
bisa menelfon, kami jarang berkomunikasi, mungkin tidak sempat atau bisa jadi,
kami sudah saling mendo’akan.
Dan
sore itu entah apa yang menyapaku, aku menangis karena menahan rindu kepadanya,
aku menelfonnya berkali-kali, namun tidak ada jawaban di ujung sana, akupun
meng sms nya, dan tidak ada balasan, aku mulai curiga tidak jelas dengannya,
tetapi kembali aku berfikir positif, mungkin ia sibuk, ataun Hp nya tertinggal
atau ia sedang di pesawat, sayangnya aku sudah terlanjur sedih dikarenakan
tidak mendengarkan suaranya hari ini, aku menangis sejadi-jadinya menangis
sambil sesegukan, menangis sedih seperti ditinggalkan sesuatu yang sangat
kucintai. Akupun tertidur dalam kesedihan dan kerinduan ini.
Terdengar
sayup-sayup HP ku berbunyi dan bel rumahnya juga berbunyi, aku dengan sisa
tenaga yang kupunya berusaha menuju pintu depan, sembari mengangkat telefon dan
terdengar suara Bang Day yang tidak jelas. Ku buka pintu depan, kulihat ia
membawa seikat bunga lili putih dan tersenyum bahagia, sayangnya senyum bahagia
iti kubalas dengan tatapan sayu dan jatuh terkulai di hadapannya.