Kamis, 26 Februari 2015

Semanis Cornelo Bang Fadeli



Semanis Cornello bang Fadeli
(sepenggal kisah di sumbar)
Perjalanan dari Pekanbaru ke Sumbar itu tidak terlalu jauh sekitaran 6 jam. Nah, kali ini sekolah kami mengadakan kunjungan atau Studybanding ke salah satu sekolah yang ada di Bukittinggi Sumatera Barat. Karena yang ikut lumayan rame kami dibagi menjadi dua mobil, yang mobil avanza hitam dikemudikan sama Daway adeknya Uun, dan mobil satu lagi dibawa bang Fadeli kebetulan beliau temen sepupunya Daway.
Demi keakraban dan agar tidak ada pilih-pilih Uun memutuskan untuk ikut di dalam mobilnya bang Fadeli, walaupun sebenarnya Daway pengen banget Uun satu mobil sama dia, biar lebih seru. Namun kali ini demi keakraban Uun memilih di mobil kedua bersama Hamid, Debung dan Dekmo, sesekali ada k Mela yang kebetulan pindah-pindah mobil.
Nah, karena hanya bang Fadeli yang yah.., bisa dikatakan orang lain, artinya bukan anggota sekolah, tepatnya orang lainlah dalam perjalanan kali ini. Tapi, bukan keluarga Arruhama namanya kalau tidak bisa membuat orang lain bisa akrab dan langsung menjadi anggota keluarga baru selama perjalanan.
Malam ini di perjlanan menuju Sumbar dari Pekanbaru dimulai, di dalam mobil kelihatan sepi-sepi ajah, Uun berniat mau menyapa bang Fadeli malahan takut mengganggu konsentrasi menyetirnya, Melihat Debung dan Dekmo diam saja dengan aura mabuknya, lalu Uun langsung berfikir untuk mengadakan makrab(malam keakraban) sasarannya adalah Hamid, anak seni yang penuh kegilaan dan baru bergabung satu bulan di Arruhama.
Hamid ini udah kenal sama Debung sejak mereka kecil secara mereka berdua kan tetangga, dan Hamid juga udah kenal sama Uun sebelumnya di remaja masjid. Satu lagi yang mengenal Hamid adalah Daway yang satu kampus sama Hamid. Dan kali ini adalah waktu yang tepat untuk mengupas semua tentang Hamid. Dimulai dari pertanyaan2 sederhana hingga ke pertanyaan pribadi, hingga Uun sampai ke pertanyaan
“Mid, apa yang Hamid lakukan ketika ayah dan ibu Hamid mencarikan seorang wanita soleha untuk Hamid sementara wanita itu tidak suka seni dan segala kegilaan Hamid, nah gimana sikap Hamid?” Uun beraksi dengan pertanyaan filsufnya.
Hamid terdiam lama, serius dech lama banget sampe 30 menit kebayangkan di perjalanan yang panjang ditambah Hamid yang terdiam tiba-tiba, berasa lama dah tu perjalanan, ni ya sangking lamanya sampai-sampai bang Fadeli akhirnya bersuara
“Ondeh Mid, itu pertanyaan Barek tu Mid” akhirnya bang Fadeli bisa mengikuti arah pembicaraan.
Lama Hmid terdiam bahkan mobilpun sudah memasuki gerbang perbatasan Riau-Sumbar. Sampai akhirnya Uunpun tertidur di bangku belakang karena Hamid kelamaan menjawabnya.
Uun terbangun ketika mobil berhenti di salah satu rumah makan lalu turun untuk mencuci muka. Hamid yang juga turun dan melihat Uun dengan tatapan anak2 teaternya plus kerutan di keningnya, tatapan aneh.
“Sekiranya Rumit buat PR aja deh Mid, esok menuju Pantai Cerocok Hamid jawab ya...” Uun berlalu dan masuk kembali ke mobil.
Hamidpun mengikuti Uun masuk ke mobil dan duduk di bangku depan di samping bangku Supir. Lalu perlahan Hamid membuka suara
“Bukan Hamid g bisa jawab kk, tapi Hamid masih mikir aja” Hamid mencoba membela diri, ketika ia sedang menyusun kata-kata pembelaan, tiba-tiba bang Fadeli sudah masuk dan duduk di samping Hamid, dan mengendari mobil lagi.
“Udahlah Mid, Hamid mah gitu, pertanyaan sederhana saja Hamid g bisa jawab” Uun mulai memancing Hamid, dan kerennya bang Fadeli juga ikut bertanya membuat Debung dan Dekmo yg dari tadi menahan mabuk terbangun dan fokus mendengarkan pertanyaan bang Fadeli
“ok, gini ya mid, Hamid sayang g sama ayah dan ibu Hamid?” bang Fadeli langsung bertanya
“Sayang lah Bang...” jawab Hamid langsung
“ok, baik, nah Hamid mau melihat mereka kecewa?” tanya bang Fadeli lanjut
“Ndak lah bang, ndak mungkin Hamid mengecewakan mereka” Hamid sepertinya kurang tepat memberikan jawaban
“Oke seharusnya pertanyaan ini selesai dan sudah terjawab kan?” ucap bang Fadeli dengan santainya.
Seisi mobil teridam seketika, kecuali bang Fadeli yang tanpa rasa bersalah dan beban penjelasan, diam-diam membuka bungkus eskrim yang tadi dibelinya, sambil menghidupkan lampu dalam mobil, bang Fadeli menyerup eskrim cornelo coklatnya dan bergumam sendiri
“malam-malam tu enaknya yah makan ini” gaya bang Fadeli menikmati eskrim cornelo di mata kami, tiba-tiba
“aaaaa, Mela mau bang, Me mau, kok abang g bilang kalau beli itu, Abang.... Mela mau...” k Mela yg kebetulan tadi sempat pidah ke mobil bang Fadeli tetiba histeris sendiri, demi-demi melihat eskrim yang dimakan bang Fadeli, sontak bng Fadeli kaget dan yang lainpun terkejut. Tapi bang Fadeli hanya tersenyum plus bingung tepatnya kok bisa orang kayak k Me histeris tidak jelas pas jumpa cornelo.
“Bang sisakan Me coklat di bawahnya bang, ya bang, ya ya..” k Me mengiba ke bang Fadeli demi demi eskrim cornelo.
“iya ntr abang sisain” bang Fadeli menjawab singkat
Baru 5 menit mobil melaju bang Fadeli pun menepi di salah satu kedai
“Nah, ambil duit ni, duit belilah cornelonya” bang Fadeli mengeluarkan selembar uang yang cukup membuat k Me bergegas turun lewat di depan Uun dan melipat kursi duduk Debung yang ada di tengah dengan sigap K Me turun dari mobil dan menuju lemari eskrim kepunyaan orang kedai.
“Gitu lah bang, k Me gitu orangnya sama eskrim mah cinta bangetz, ampe punya abang pun, abang yang baru dikenal beberapa jam bang... bisa membuat k Me luluh.” Debung menjelaskan kepada bang Fadeli agar bang Fadeli tidak shock dengan kelakukan k Me yang terkenal banyak diam dan hanya bicara yang penting saja. Mungkin karena eskrim ini penting akhirnya k Me terlihat seperti anak kecil, mana dikasih uang sama bang Fadeli.
“iya, masalahnya dia minta coklat yang ujungnya pulak, abang coklat itu pulak yang abang suka, mending abang suruh beli lagi biar puas, hee” ah bang Fadeli segitunya, mudah seklai ia memahami kami yang baru dikenalnya.
K Me masuk kemobil dngan cerianya membawa 4cornelo untuk kami yang ada di mobil, g perlu dihitung bungkus eskrim itu langsung dibuka dan dimakan oleh k Me.
Seperti itulah bahagia, sederhana sangat-sangat sederhana
Sambil menyantap es krim masing-masing Uun menagih PR Hamid, tetapi lagi-lagi Hamid terdiam lama, ampe meleleh es krimnya.
“Hamid mah gituh, susah buat ngejawab” Uun pun kecewa
Tiba-tiba bang Fadeli menanggapinya
“Gini aja Mid, kan Hamid tidak mau melawan orngtua, dan Hamid tdk ingin membuat mereka kecewa, maka sederhana jawabannya Hamid akan menerima ca......” Belum selesai ang Fadeli berbicara, k Me malah memotong pembicaraan
“Me tau bang, terbaik lah bang Fadeli ni, pemikirannya keren” k Me memotong pembicaan secara spontan sampe Uun pun terkejut dan melirik k Me menatap penuh rasa penasaran, Uun gitu dia, agak susah memahami sesuatu dan kurang peka sama sesuatu, hingga beberapa menit Uun pun tersenyum
“oooo jadi gitu bang, Udah paham sama jawabannya bang... terbaiklah bang Fadeli ni.” Uun pun melirik debung yg duduk di tengah2...

Keluarga itu Saling Menguatkan
Orang Baru Harus Didekatkan

(uun)

Minggu, 15 Februari 2015

Cinta Itu Tidak ada Un



Cinta Itu Tidak Ada Un
Aku memperhatikan Imah dari kejauhan  kulihat ia termenung sendiri di bawah pohon akasia depan kantor, angin yang berhembus sore ini sangat menyejukkan hati dan menentramkan jiwa, mungkin Imah merasa tenang berada di sana. Ini kebiasaan kami setelah jadwal belajar mengajar usai, kami belum pulang, sengaja ingin menikmati sore menuju senja bersama di sekolah, tapi kulihat hari ini pandangan Imah menerawang jauh, bahkan ia tak sadar kalau aku sudah berdiri di sampingnya. Aku enggan mengejutkannya, karena nanti tangannya akan reflek mengeluarkan jurus-jurus aikidonya. Imah kebetulan ikut aikido (beladiri Jepang). Aku dulu sempat ikut tetapi kesibukan membuatku berhenti, Imah tetap bertahan hingga kini ia mendapatkan sabuk Hijau...
“Sekiranya rumit mah, maka lupakanlah itu jelas bukan cinta” Aku membuka percakapan sore ini, suaraku ibarat nada-nada yang dihembuskan angin menusuk ketelinga Imah.
Imah menoleh tersenyum, ia tak terkejut, aku sudah duduk di sampingnya, kami malah menatap jalan raya di depan sembari menerka-nerka hati masing-masing. Imahpun membuka suaranya.
“Di zaman sekarang ini un, tidak ada lagi cinta sucinya Ali dan Fatimah, kalaupun ada yang mengaku-ngaku itu hanya kemunafikan yang dibalut nafsu seolah meng-Agungkan cinta dua insan mulia itu padahal tak aakn ada yang bisa.”  Imah tersenyum kecut.
Aku masih menerka ke mana arah percakapan ini, lalu aku teringat, Imah adalah seseorang yang seringkali dijadikan tempat curhat adek-adek tingkatnya, Imah selalu memberikan nasehat-nasehat tajam yang tidak ada toleransi apalagi dengan hal yang syuhbat (belum jelas kebenarannya). Mungkin ada masalah yang belum bisa Imah selesaikan.
“Cinta Ali dan Fatimah itu suci un, tidak ada satu oarang manusia yang tahu kalau mereka saling jatuh cinta, Ali menyimpan rapat cintanya ia tidak membocorkannya kepada siapapun termasuk Rasulullah SAW, Ali merahasiakannya dalam diam tak seorangpun un, termasuk malaikat, apalagi setan, begitu hati-hatinya Ali menyimpan rasa yang suci itu un. Lihatlah saat Abu Bakar ingin melamar Fatimah kepada baginda nabi, kita bisa bayangkan un betapa hancurnya hati Sayyidina Ali? Seorang Abu Bakar, sahabat terbaik Rasulullah ingin melamar putri Kanjeng Nabi toh tidak ada alasan bagi Rasulullah untuk menolak lamaran Abu Bakar? Mudah saja bagi Rasulullah untuk langsung menerima Abu Bakar, tapi apa yang terjadi nyatanya Rasulullah menyerahkan semua keputusan kepada putri tercintanya  Fatimah Azzahra, dan Fatimah dengan halus menolak pinangan itu un, sungguh Fatimah menolaknya, karena itulah kekuatan yang dimiliki seorang wanita menerima atau menolak pinangan seseorang. Tak berhenti di sana un, kecintaan Ali pun teruji lagi saat Umar bin Khattab mengajukan pinangan yang sama kepada Rasulullah SAW untuk menjadikan Fatimah sebagai istrinya, Ali? Lihatlah Ali merasa kecil di hadapan Umar, laki-laki kuat yang berjulukan Singa Padang Pasir tu, dan seorang yang sangat mencintai RabbNya menjadi Rahib dalam malam, menjadi singa siang harinya dan hartanya yang luar biasa banyaknya. Ali? Ia semakin menciut semakin bersedih semakin merasa bahwa ia tak pantas memiliki cinta dari seorang putri Nabi, bisa kita bayangkan betapa gelisah, atau betapa galaunya Ali saat itu un, mungkin Ali menangis, tapi lihatlah pinangan Umar pun ditolak oleh Fatimah, sebenarnya siapa yang ditunggu Fatimah? Ali semakin penasaran dan semakin sedih, ia belum juga memiliki keberanian untuk meminang Fatimah, bukan seperti anak zaman sekarang yang sok kenal lalu mengajak jalan dan jatuh pada pacaran yang nyatanya tak pernah di atur dalam agama Islam. Kalau suka pinang lah, bukan kalau suka tembaklah, ya Allah un, kesabaran Ali dalam mencintai Fatimah teruji lagi saat Utsman bin Affan mengajukan diri untuk meminang Fatimah, betapa debar-debar hati Ali semakin sedih, semakin berasa bukan apa-apa bahkan Ali mencoba mundur dalam mencintai, tapi itulah kekuatan cinta suci un, lamaran Utsman pun ditolak oleh Fatimah, lalu siapa yang sebenarnya sedang ditunggu Fatimah, laki-laki mana yang sebenarnya yang diharapkan Fatimah? Siapa un, siapa? Dialah Ali un, Ali, yah Ali bin Abu Thalib. Hingga hari itu Ali memberanikan diri meminang Fatimah melalui Rasulullah, yang ditakutkan Ali adalah takut kalau ia ditolak sama seperti 3 sahabat Rasulullah SAW yang pernah meminang Fatimah, tapi gayung bersambut un, itulah cinta yang penuh Rido Allah, cinta yang suci, tak pernah bocor, cinta yang tersusun rapi dalam labirin hati Fatimah dan Ali. Pinangan Ali diterima, dan Ali tidak punya apa-apa untuk diajadikan Mahar un, hingga Rasulullah bertanya apa yang Ali punya, ia menjawab kalau ia hanya memiliki Baju Besi yang biasa ia gunakan untuk berperang. Rasulullah mengatakan ambil baju itu dan jadikan Mahar. Dalam mahligai cinta suci yang Allah ridoi un, begitulah mereka menjaga hatinya masing-masing”
Aku terdiam, melihat Imah begitu semangat dan lancar menjelaskan kisah itu, kisah yang mahsyur di telinga kita kisah yang menyentuh hati, menguji kesabaran.
“Sekarang un tidak ada cinta seperti itu kalaupun ada itu hasil tag-tag yang tidak jelas, sok-sok memiliki cinta sesuci Fatimah dan Ali, tapi di medsos saling sapa, saling bercanda, sok-sok menjaga diri tapi saling menyebutkan nama kepada guru ngaji, seolah tidak bisa menerima seseorang yang enatah siapa lalu hadir demi segenap agama, dengan visi yang sama membangun keluarga Islami. Sayang un, kita tak pernah bisa menemukan cinta Fatimah dan Ali...” Imah berdiri dari duduknya, akupun berdiri mensejajarkan diri dengannya, merangkul pundaknya sembari menutup diskusi kami sore itu dengan sebuah kesimpulan sederhana.
“Iya mah, kita tidak akan pernah menemukan cinta Ali dan Fatimah, karena kita hanya wanita akhir zaman mah, yang mencoba dan terus berusaha memperbaiki diri, mengharapkan laki-laki akhir zaman yang semoga ia juga sedang memperbaiki dirinya agar nanti ketika ia datang kita bisa membangun keluarga Islami itu mah,,,” kamipun tersenyum masuk ke kantor dan berbenah bersiap untuk pulang.

(Pbr, 16-02-15)

Kamis, 12 Februari 2015

Terawang Hati

Dalam debar-debar aneh yang mengganggu hati
Suasana riang yang tak terlihat nyata
Dikesibukan yang berselang malam
Kau hadir, yah kau hadir

Sejenak keriangan berubah haluan
menerka siang rupanya malam
berusaha memendam namun menyimpang
kehadiranmu yang sesaat, yah sesaat

Dalam diam yang teramat panjang
hadirmu mampu mencuri perhatian
Dalam harap yang tak kan bermuara
Lalu kau menghilang, yah kau menghilang

Terlalu mudah untuk menerka ini apa
namun soal rasa hanya ia yang bicara
hati mungil yang simpan rapi
di sudut ruang yang sudah tersusun rapi
ruang itu masih ada, yah masih ada

untuk dia yang datang sejenak lalu pergi tanpa hormat

(Pbr, 12-02-15)

Senin, 09 Februari 2015

Pergilah Dan....



Pergilah Dan...
Perjalanan kali ini kulalui dengan hati yang sesak, penuh debar-debar aneh dan deraian air mata, tak ku sangka sungguh sangat tak kusangka. Di Kereta ini....
“Pergilah dan, bawa semua luka itu di sini hanya aknmenambah luka dan, idan  tak kan pernah sanggup menghadapinya”
Aku memutuskan pergi menjauhi mereka, semua terasa sia-sia, yang kuperjuangkan yang kutunggu dan yang kuharapkan telah hilang, musnah dan hancur berkeping-keping. Rasanya aku ingin memanggil Izroil saja membawaku pergi dari dunia yang fana ini.
“uni sudah mengingatkan idan kan, idan saja yang terlalu menaruh hati pada wanita itu, dia tak pantas sedikitpun menjadi pendamping hidup idan, tapi... uni masih menghargai keputusan idan untuk menunggunya, nyata dan, nyatanya... dia menikah dengan sahabat karib idan sendiri, sahabat yang idan sayang lebih dari uni, sahabat yang telah berhasil menusuk idan dari belakang. Uni  tak pernah ikhlas atas apa yang ia perbuat terhadap idan, tapi uni enggan mengabarkannya kepada idan, agar kuliah master idan  di negeri sebrang itu berjalan lancar tanpa gangguan dan.. tapi idan pulang tanpa kabar dan semuanya sudah terjadi. Maka pergilah dan, uni  mohon dan.... pergilah,,,,”
Uni Anik kk sulungku berusaha menguatkanku untuk tetap tegar menghadapi ini semua. Dia memang sudah menasehatiku di awal-awal untuk tidak berjanji pada Mira, dan tidak menitipkan pesan kepada Ari agar menjaga Mira, tapi semuanya pengkhianat... semuanya munafik... Kata-kata Uni Anik hari itu benar adanya.
Aku memutuskan pergi, kembali ke negeri sebrang, kali ini aku memang tak ingin pulang... luka itu terlalu sakit, sungguh aku tidak ingin kembali lagi, dan aku hanya menyisakan uni yang menatapku penuh haru, air matanya yang perlahan jatuh membuat benteng ketegaranku hilang. Uni yang selama ini nasehatnya selalu kuabaikan, uni yang selama ini selalu membela dan melindungiku....
Maafkan idan uni, untuk kali ini idan akan mengikuti nasehat uni, idan sudah terlalu sering membuat uni menangis dari dulu... Biarkan idan pergi uni, ini terlalu sakit uni, sungguh terlalu sakit.
Dari Jauh kucoba tetap berusaha dekat
Menitipkanmu pada dia yang kurasa amanat
Namun sayang beribu sayang, rupanya menggunting dalam lipatan nyata ada dalam hidupku.
(lost inspiration)

Kamis, 05 Februari 2015

Cerita Jum'at yang sejuk



Day di rumah nomor 32
UniLilis
Setiap pagi, rumah yang sunyi itu selalu kulalui, rumahnya terletak di complek Caltex yang sekarang berubah nama menjadi Chevron. Sedangkan rumahku di baratnya, hanya kumpulan rumah bulatan yang berada di ujung jalan tapi di tengah-tengahnya berdiri Masjid kammi.
Setiap pagi sebelum berangkat mengajar aku selalu singgah ke rumah Pak Dang untuk mengantarkan Ulfi keponakanku yang sekolah di salah satu SD dalam camp Chevron dan kammi selalu melalui rumah itu. Rumah mewah itu ya rumah yang berpagar Biru dengan nomor 32 selalu kulauli, bahkan aku sengaja meliriknya lama berharap ada seseorang yang berdiri gagah dan tersenyum hangat di sana, tapi sayang sudah setahun ini aku tak pernah melihat seorangpun di sana. Hatiku seringkali kecewa ketika melewati rumah itu tanpa penghuninya di halaman, kalaupun ada hanya Tante Nel yang sedang menyiram tanaman dan terkadang ia tidak melihatku lewat dan lebih seringnya rumah itu kosong.
Rumah itu memiliki kenangan tersendiri bagiku, di sana ada anak laki-laki yang berhasil membuatku grogi dan terdiam kaku jika tak sengaja bertemu. Pernah suatu hari saat emosiku sedang memuncak dan tak terkendali aku memutuskan untuk meluapkannya dengan mengitari complek menggunakan motor Mio ku, ketika aku melewati rumah itu, aku sengaja pelan-pelan dan menoleh perlahan ke arah Rumah itu, tak di sangka, dia, yah dia ada di depan pagar tersenyum hangat kepadaku, akupun membalasnya sembari berlalu. Apa iya itu dia?
Astaga itu pertemuan yang tidak disengaja, dia dengan kaos putih dan senyum hangatnya sanggup membuatku bersemangat selama satu semester ini, walau itu hanya pertemuan sekali yang hanya hitungan detik. Dengan lugunya, setelah aku melaju jauh aku teringat untuk kembali lagi ke rumah itu berharap ia masih ada, tetapi ada debar-debar aneh yang membuatku mengurungkan niat itu.
Day, yah namanya Dayat anak laki-laki di keluarga tante Nel dan almarhum om Akmal, kepribadiannya sebagai anak-anak Orang Caltex jauh berbeda dari yang lainnya, aku melihat ada aura kesolehan di sana, aura kebaikan yang buktinya bisa menyentuh hatiku yang keras ini.
Day, teman kecilku di masjid saat kami mengaji bersama Ayahnya k Susi sebenarnya. Day satu tahun lebih tua dariku dan karena badannya kecil aku tak pernah menggunakan sapaan abang untuknya, aku memanggilnya Day.
Di masa kecil kammi, Aku selalu bisa menyelesaikan bacaan-bacaan alqur’an dengan cepat darinya, mungkin karena Ayahku seorang qori terkenal di Payakumbuh, sehingga walau ayah tak pernah mengajariku mengaji tetapi aku selalu cepat menguasai huruf-huruf hijaiyah yang berangkai-rangkai itu. Sebaliknya Ustadz Nasir selalu menepuk jidatnya ketika giliran Day yang mengaji, ia terlalu lambat dalam mencerna huruf-huruf itu, sehingga Ustadz Nasir seringkali menyuruhku mengajari Day mengaji.
Karena itu kami sering terlihat berdua, sembari berdua ganti-gantian menyetor hafalan suart-surat pendek. Biasanya setiap Magrib kami sholat berjamaah, setelah sholat Ustadz Nasir akan mengumpulkan kami, dan mengecek hafalan kami satu-satu. Setiap malam Day selalu ditemani ayahnya om Akmal ketika sholat di Masjid sampai sholat Isa selesai.
Setiap kali setoran hafalan, aku terlalu sering mendapatkan hadiah dari Ustadz Nasir karena setiap ia bertanya dan menyuruh menyambung ayat, akulah yang duluan menjawabnya bahkan berhasil menyelesaikan surah yang dibacakan Ustadz Nasir. Yang lain malah diam, sampai-sampai ustadz Nasir tidak membolehkanku menjawab lagi. Jadilah aku bersungut-sungut disuruh diam, kulihat di sudut pintu keluar om akmal sudah tertawa melihat wajahku. Ia memanggilku menyuruhku mendekat, aku yang secara tidak langsung diusir ustadz Nasir berjalan gontai menuju Om Akmal.
Om Akmal tersenyum melihatku mendekat, aku duduk di sampingnya, om Akmal mengusap kepalu bahkan memelukku dengan senangnya, sembari mengatakan sesuatu
“anak Om satu ni si gadis yang mudah menghafal ayat alqur’an, sini-sini sama om aja nak,...” om Akmal meledekku, oiya beliau juga sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri beliau juga pengurus Masjid kami, kebetulan beliau bendahara dan mengurusi kesejahteraan anak Yatim di sekitar rumah kami.
“Gimana kalau anak gadis om ini duduk di samping Bang Dayat aja, bantuin bang Dayat menyambung ayat, lumayankan bisa menjawab ntar hadiahnya dari om Akmal aja gimana Nik?” Aku tipikal orang yang paling bersemangat kalau ditantang, aku langsung mengangguk bahkan tanpa pamit aku sudah kembali ke lingkaran Ustadz Nasir dan persis duduk di samping Day yang posisinya pas di perbatasan laki-laki dan perempuan.
K susi yang berda di sebelah Day langsung menggeser duduknya, k Susi juga sayang kepadaku karena kami sering main bersama. Dan ide dari Om akmal tadi berhasil lo, setiap ada soal dari Ustdz Nasir aku membisikkannya ke telinga Day, dan Day bisa menyambung ayatnya dengan lancar, yang kesenangan malah aku, padahal yang jawab kan si Day, dan Malam ini yang banyak menjawab soal dari Ustdaz Nasir adalah aku dan Day. Kami berdua disuruh kedepan dan Muroja’ah (mengulang hafalan) Surah Al-A’la sebelum azan isa dikumandangkan.
Yah surat Al-A’la surat yang menjadi kenangan indah bersama Day, surah  favoritku terutama di BULAN Ramadhan karena Ustadz Nasir selalu menbaca surat itu di setiap rakaat pertama sholat witir, surat itu juga yang sering aku dan Day bawakan sebelum memulai mengaji dengan ustadz Nasir. Ustadz Nasir seringkali menyruhku berdua Day dalam segala hal, temasuk menjaga piket sholat Ashar. Anak-anak yang main-main akan dicatat, aku mencatat yang perempuan dan Day mencatat yang laki-laki, setelah sholat berjamaah selesai, kami berduapun sholat berjamaah, Day jadi imamnya yah sholat anak-anak usia 10 tahun.
Aku baru tahu bahwa ustadz Nasir sengaja menjadikan kami berdua sebagi sebuah tim, karena permintaan om Akmal. Tapi kenapa om Akmal menyuruh kami seing berdua? aku tak tahu maksudnya apa. Hingga hari itu yah hari itu. Hari yang tidak ingin ku ingat sama sekali, hari yang pahit sungguh-sungguh pahit. Hari yang membuat benteng besar dalam hidup kami berdiri kokoh.
Kamis Sore, saat kami sedang asyik-asyik mengaji di Masjid salah seorang warga datang membisikkan sesuatu di telinga ustadz Nasir, aku hanya meliriknya, ustdaz Nasir terlihat sedih dan memandangku dengan tatapan haru, aku yang memang memperhatikan beliau jadi terheran-heran. Ustadz Nasir pun berdiri dari duduknya dan menuju microfon Masjid mengumumkan sesuatu sesuatu yang sore itu berhasil merobek hatiku.
“Assalamulaikum Wr Wb... Innalillahi, innalillahi wa inna ilaihi roji’un telah berpulang ke rahmatullah keluarga kita saudara kita, pengurus masjid kita Bapak, Akmal Rosyidin beliau meninggal jam 15.00 di rumah sakit Ibnu Sina, sekarang jenazah sedang dalam perjalan, bagi warga yang ingin bertakziah langsung ke kediaman beliau di Jalan Kartika INDAH no 32. Terimakasih”


Kalimat yang diucapkan ustdaz Nasir membuatku menangis sejadi-jadinya, aku sesegukan di sudut masjid dan hampir tak bisa bernafas lagi, ustadz Nasir memelukku erat beliau berusaha menenangkanku, tapi sayang karena emosiku yang terlalu menggebu-gebu akupun pingsan dan dibawa pulang.
Semua orang sedang sibuk melayat ke rumah om Akmal termasuk babe dan mamak, aku ditinggalkan dengan abang di rumah, tapi setelah aku terbangun saat itu azan Magib, aku pingsan cukup lama, yah aku memang tidak bisa menahan kesedihan yang terlalu berat. Ketika bangun aku langsung ke masjid untuk sholat berjamaah dan minta ikut bersama Ustadz Nasir untuk ikut ke rumah Day melihat Om Akmal untuk terakhir kalinya.
Sesampainya di rumah Day yang bernomor 32 dan berpagar biru itu, aku terdiam kaku tanganku tetap dipegangi ustadz Nasir, ustadz Nasir sudah seperti Ayah sendiri karena beliau teman Ayahku semasa di sekolah Madrasah. Di pintu depan aku melihat jasad om Akmal terbaring kaku, dengan wajahnya yang sedikit menyunggingkan senyuman, aku berusaha menahan tangisku seperti pesan ustadz Nasir tadi aku tidak boleh mengeluarkan suara dan menangis yang menjadi-jadi apalagi meratap.
Jadilah aku hanya berdiri kaku di depan pintu rumah Day, menatap jasad om Akmal, lalu menoleh ke arah Day yang melihatku dengan tatapan marah, lama kami bertatapan saling menyapa melalui hati, aku tahu arti tatapan Day, dia marah, kenapa tidak tadi sore aku datang menguatkannya, bersamanya, bahkan mungkin sekarang bisa duduk di sebelahnya, tapi akupun tak ingin kalah aku menatapnya dengan tatapan yang memberi tahu bahwa aku pingsan dan ini baru sadar. Dan Day memalingkan wajahnya, sontak tiba-tiba air mataku menderas dan hampir sesegukan, untung saja ustadz Nasir langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sampingnya.
Hari itu yah hari itu adalah hari terakhirku melihat Day dan anggota keluarganya, setelah pemakaman om Akmal, Day tidak terlihat mengaji lagi, iapun jarang terlihat sholat berjamaah lagi, dan rumahnya mulai sering tertutup. Biasanya aku akan bertemu dengan ibunya Day saat ada yang Nikah, dan aku akan menyalaminya tanpa bertanya tentang yang lain, sedangkan Day, aku tak pernah melihatnya lagi. Apa iya Day semarah itu padaku... entahlah terkadang pemikiran anak laki-laki susah ditebak, atau apa mungkin Day harus menggantikan semua posisi Ayahnya di rumahnya? Bisa jadi, pikirku kala itu. Tapi... bukankah setiap karyawan Caltex yang meninggal semua pendidikan anaknya akan ditanggung Caltex, tapi,,, entahlah.
Hingga di tahun 2009 saat Ustadz Nasir sakit-sakitan, aku sedang sibuk dengan perkuliahanku dan kabar yang kudapat Day juga sedang kuliah di UNAND Kampus impian kami saat masih kecil dulu, yah kampus impian yang hanya berhasil ditakhlukkan oleh Day, sementara aku berhasil kuliah di kampus islami Madani UIN Suska Riau. Saat dapat khabar ustadz Nasir kritis aku langsung pulang dari Panam menuju rumah sakit dan berada di sampingnya, aku ingat apa yang dikatakan ustadz Nasir kepadaku... dengan suara berat dan senyumannya
“Dulu, Ustadz sering menyuruh Anik berdua dengan Dayat karena itu permintaan Almarhum ayahnya Pak Akmal, Pak Akmal sengaja agar kalian berdua bisa dekat, dan dia berpesan kepada Ustadz Nik, untuk menyimpan amanah ini, tapi ustadz rasa Izroil sudah di sini sebaiknya amah ini ustadz sampaikan kepadamu Nak, bahwa Pak Akmal menjodohkan Anik dan Dayat. Berharap bisa melihat kalian berdua bersatu dalam sebuah ikatan, tapi takdir berkata lain amanah ini hanya dipesankan kepada ustadz Nak, sementara istri dan keluarganya tidak ada yang tahu, maaf kan ustadz Nik sungguh maafkan ustadz mu ini Nak...” ustadz Nasir menangis sedih sembari berzikir.
Aku hanya tertunduk dalam tangis, setidaknya semenjak kuliah aku bisa mengontril emosiku.
“Anik gpp ustadz, biarlah penguasa alam saja yang menunjukkan muaranya kepada Anik dan Bang Dayat, amanah Om Akmal sudah anik dengar dan Anik emngikhlaskan semuanya, Anik akan selalu mendoakan beliau dan ustadz,,” Aku sangat tegar sungguh sangat-sangat tegar, hingga akhirnya aku menyalami ustadz Nasir lalu pamit keluar.
K Susi dan keluarga ustadz Nasir masuk, aku dari luar hanya mendengar tangisan k Susi dan ratapan-ratapan k Susi saat Ustadz Nasir dinyatakan meninggal, aku di luar sanah hanya banyak-banyak berdo’a dan terpaksa membuka luka di memori lama, kenapa duhai penguasa alam kenapa...
5 tahun berlalu saat semuanya sudah berubah total, masjid dengan corak dan gaya baru, aku dengan gelar sarjana Hukum Islamku, k Susi yang sudah menikah, aku yang sudah mengajar di salah satu sekolah gratis dan sore mengajar MDA di masjid kami bersama k Susi dan guru yang lainnya, dan semua kenangan yang lalu dimaknai dengan pemahan yang baru. Dengan aku yang kini.
Satu hal yang masih saja sama, rumah Day, rumah Day masih bernomor 32 dan masih berpagar biru serta masih sepi, info yang kudapat dari mamak Day sudah tamat dari UNAND dan sedang menunggu panggilan kerja. Mamak pun sempat bertemu dengan ibunya Day.
“Mamak bilang apa sama Tante Nel mak?” tanyaku pada mamak suatu sore
“Mamak bilang kalau kalian belum pernah bertemu setelah sekian lama, dan manatau jodoh” mamak berkata datar,.
Aku hanya tersenyum,,,,

Biarlah penguasa alam yang merencanakan pertemuan kita
Dalam keadaan baik-maupun buruk, asalkan karenaNya
Aku akan bisa menerima itu
Walau tak jarang hanya kebetulan-kebetulan yang mempertemukan kita
Seperti kilat di langit, hanya sejenak namun mampu menggetarkan hati
Day, sahabat kecil yang kini tak pernah kujumpai.
Hanya Berharap pada ketidaksengajaan yang
Semoga mampu membuat Penguasa Alam berbaik hati dan mempertemukan kita
Dengan penjelasan masing-masing