Selasa, 08 September 2015

Suara Wahyu Arruhama



Suara Wahyu Arruhama
(Cerpen Oleh : UniLilis)
Pagi saat suara-suara riuh itu kembali terdengar di PKBM nan sederhana ini, walaupun kami merupakan sekolah  non formal, tetapi kami bisa melakukan hal yang jauh lebih seru dan menyenangkan dibandingkan dengan sekolah formal.
Yah, pagi ini anak-anak sudah kembali aktif belajar, setelah libur bulan puasa serta lebaran Idul Fitri, anak-anak bersemangat sekali ke sekolah. Semua terlihat bahagia, terutama siswa-siswa baru yang memang baru bergabung di sekolah sederhana ini.
Aku juga sudah bertemu dengan anak-anakku di Paket C setara SMA. Tahun ini aku diamanahi untuk menjadi ketua program Paket C setara SMA. Menghadapi anak-anak yang umurnya tidak terlalu jauh denganku, mereka rata-rata seumuran dengan adik-adikku, tetapi ini ranah profesional maka etika sebagai guru dan murid tetap dijaga, namun tidak melepaskan kesan adik kakak agar lebih akrab dan seolah tidak ada jarak, dan mereka merasa senang.
Aku berjalan agak cepat menuju ruangan Tata Usaha yang terletak di ruang tamu depan, sedikit lagi aku sampai ke dalam, tiba-tiba langkahku tercegat oleh seorang anak laki-laki Paket A setara SD, kurasa ia baru masuk ke sekolah ini, karena sebelumnya aku memang tidak pernah melihatnya di sini, perlahan aku memperhatikannya, ia mengenakan seragam sekolah lengkap Putih Merah, oiya sekolah kami tidak memiliki seragam seperti sekolah lainnya, pakaian kami bebas tetapi syar’i dan yang wanita wajib mengenakan jilbab.
“Mungkin ia murid pindahan salah satu SD negeri...” Pikirku dalam hati.
Sekilas aku tersenyum kepadanya, namun aku menangkap sesuatu yang berbeda di matanya, seolah ia tidak memperhatikanku, seolah matanya berbicara serta bertanya aku siapa, dan mengapa menyapanya. Demi melihat raut muka serta isyarat matanya, aku buru-buru masuk ke ruangan TU bertemu dengan Buk Ayu yang lebih akrab kami penggil Debung (Adek Bungsu). Oiya, kami memiliki panggilan tersendiri untuk sesama guru, namun panggilan ini hanya digunakan ketika tidak ada anak-anak agar tidak ada yang salah paham. Keakraban di dalam tim juga harus tetap dijaga agar selalu erat dan kokoh.
“Debung, anak yang di luar baru masuk ke sini? Dia ada masalah apa di sekolah lama? Un melihat sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya Bung?” Perlahan aku berbisik kepada Debung.
Debung hanya tersenyum, menarik nafas pelan, lalu sedikit tertawa sinis, aku hafal ekspresi ini, ini adalah cara Debung menyampaikan sesuatu yang serius atau pembicaraan ini sangat serius.
“Dia bukan anak ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) kan Bung?” Potongku cepat.
“Bukan Un, dia hanya pendiam, dan belum bisa fokus, pecah konsentrasi dan pindah  dari sekolah lama dikarenakan itu, dia lambat dalam merespon segala hal, kita tahu sama tahulah Un, guru di sekolah formal tidak bisa maksimal memperhatikan anak muridnya satu persatu, jadi ibunya memindahkannya ke sini..” Jelas Debung.
Aku langsung kembali ke luar, dan benar saja ia masih terlihat di depan pintu tempat aku bertemu dengannya tadi. Aku tersenyum sembari perlahan menghampirinya.
“Kasih sayang ini akan kau dapatkan Nak, ibumu tidak salah memasukkanmu ke sini, aku.. yah aku akan membantumu walau aku sendiri tidak tahu caranya tapi kita coba perlahan Nak...” Gumamku sendiri dalam hati.
Aku menyentuh pundaknya, ia melihatku sekilas, aku tersenyum dan ia tidak membalas senyumku sedikitpun, aku sedikit menurunkan badanku, berusaha menyamakan tinggiku dengannya, lalu kutatap matanya.
“Nama kamu siapa Nak?” Sapaku dengan sangat lembut.
Dan ia tidak langsung menjawab namanya, biasanya anak-anak jika kita bertanya nama, mereka langsung menjawab dengan semangat, tetapi ia berbeda, kuhitung di dalam hati, dan dihitungan ke 35 ia baru bersuara.
“Wahyu” Jawabnya sangat pelan, sangat-sangat pelan, namun nama itu sangat jelas di telingaku.
Aku tersenyum, serta sedikit terharu, aku memeluknya entahlah, entah apa yang membuatku melakukan hal ini, aku merasa ada sesuatu yang harus kubagi dengannya, ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk membantunya, ada sesuatu yang bergetar di hatiku, membuat mata inipun mulai berkaca-kaca.
“Ibuk hantar ke saung ya Wahyu.., nanti di sana belajar sama Pak Medi, dan teman-teman yang lain...”
 Aku mencoba menuntunnya menuju saung Ibnu Batutah yang terletak di bagian Timur sekolah ini, berdekatan dengan hutan kecil yang ada di belakangnya. Tetapi ia diam tidak bergeming, mungkin masih mencerna kata-kataku satu persatu dan kembali aku menghitungnya, lalu dihitungan ke 60 ia bergerak mengikutiku.
Kugenggam tangannya, dan kutuntun ia menuju perkumpulan paket A.
Seperti yang kukatakan sebelumnya sekolah ini special, walau kami hanya PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) tetapi anak-anak lebih suka menyebutnya dengan nama sekolah Arruhama, sekolah binaan Lemabaga Amil Zakat Nasional (Laznas) Chevron wilayah Rumbai.
Awalnya sekolah ini menampung beberapa anak-anak ABK, namun dikarenakan perombakan, demi kefokusan sebuah tujuan, maka tahun ini ABK dihapuskan dan fokus ke sekolah Paket saja, agar guru-guru juga bisa bekerja sesuai dengan tugas dan jabatannya masing-masing.

Sudah satu bulan saja sekolah berlangsung, cepat sekali anak-anak akrab dengan kami para guru, sudah saling membaur dan saling membangun untuk sekolah ini. Akupun hampir hafal dengan semua anak-anak, dimulai dari Paket C, Paket B, dan Paket A. Walau ada satu atau dua orang yang terkadang aku menukar nama mereka, tetapi selebihnya aku hafal. Aku juga senang memperhatikan anak-anak ketika jam istirahat, terutama Wahyu.
Yah, selama ini aku selalu memperhatikannya, bahkan setiap berjumpa aku selalu tos dengannya, serta beberapa anak-anak kelas 1 yang lainnya, ia juga mulai akrab dengan teman-temannya, walau ia lebih banyak diam, tetapi respon, senyum, dan tawanya sudah memancarkan kebahagiaan yang luhur. Aku yang berdiri di sudut pohon sawit sebelah barat sekolahpun ikut tersenyum.
“Ya Allah, beri aku kekuatan untuk mengajar mereka, berikan aku keikhlasan dalam mengajar dan kesabaran dalam setiap menunggu perubahan mereka.... Terimakasih untuk kesempatan mengajar di sini Ya Rab....” Do’a ku sendiri dalam hati.
Jumat kembali menyapa, kegiatan kami pagi ini imtaq sama seperti sekolah lainnya, dan hari ini aku sedikit terlambat menuju lapangan, dikarenakan ada beberapa tulisan yang harus aku emailkan ke temanku. Setelah file itu terkirim, aku bergegas ke luar ruangan menuju lapangan imtaq yang terletak di gedung putih sebelah utara sekolah, tidak jauh, hanya saja harus melewati parit kecil yang sudah tertimbun tanah, dan agak sedikit curam bagi anak-anak. Karena terburu-buru aku tidak melihat kiri dan kanan serta belakang, aku terlalu fokus ke depan, hingga terdengar sesuatu yang terjatuh di belakangku, aku menoleh segera, dan terhenyak..
Saat aku melihat Wahyu dengan baju melayu berwarna hijau tua terjatuh di belakangku, aku membantunya berdiri, kulihat matanya berkaca-kaca dan sebentar lagi ia akan menangis, terlebih ia diperhatikan oleh semua anak-anak yang sudah duduk rapi di lapangan, dan saat itulah aku segara merangkulnya, sembari kubisikkan sesuatu di telinganya.
“Anak laki-laki itu harus kuat, tidak boleh cengeng, tidak boleh malu apalagi menangis, ditahan sakitnya ya Nak, kan tidak terluka.., harus kuat! Wahyu kan anak laki-laki yang kuat dan hebat...”
Aku membersihkan lututnya yang kotor, lalu menatapnya.
“Kita duduk ya Nak..” Aku sudah bersiap untuk menghitung menanti jawabnnya namun baru dihitungan ke 5 ia sudah mengangguk.
Ya Allah, aku takjub.
Pak Medi yang merupakan wali tingkat Paket A membawanya membaur di antara anak-anak yang lain, sedangkan aku mengambil posisi duduk di belakang murid-murid,  bergabung dengan guru-guru lainnya yang sudah duduk.
Perubahan yang diperlihatkan Wahyu tidak hanya di hari Jumat ini saja. Sabtu pagi setelah senam, semua anak-anak diperbolehkan untuk istirahat sejenak, lalu dilanjutkan dengan jam olahraga. Kali ini aku juga tidak ada waktu main bersama anak-anak ada beberapa tugas yang harus kuselesaikan.
Sebenarnya aku tipe orang yang tidak terlalu betah berlama-lama di dalam ruangan, aku selalu merasa hidup saat bisa membaur dengan anak-anak dan sesama, namun kali ini aku memang harus menyelesaikan tugasku, lumayan lama,  dua jam tugas itu kuselesaikan, lalu aku keluar ruangan melihat anak-anak.
Semuanya sedang sibuk bermain dengan teman-temannya, aku keliling memperhatikan mereka setu persatu, dan semuanya baik-baik saja serta aman-aman saja, tiba-tiba aku melihat Wahyu sedang sendiri di teras sekolah, yang biasanya digunakan Pak Medi untuk mengajar anak-anak kelas 1.
Aku mendekatinya, kuperhatikan ia, dan ternyata ia tidak terganggu dengan kehadiranku, ia mengambil bekalnya dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas meja, aku tersenyum
“Wah... Wahyu bawa bekal ya Nak?” Tanyaku dengan sumringah.
Dia mengangguk tanpa hitungan  sebagaimana yang selalu kulakukan jika menanyakan sesuatu kepadanya, aku semakin senang melihatnya.
“Tunggu ibu ya Nak, kita makan sama-sama.” Pesanku kepadanya.
Setengah berlari aku menuju kantin yang terletak di dapur, memesan nasi goreng, dan kembali lagi ke teras depan menjumpai Wahyu.
“Kita makan sama-sama ya Nak.” Ucapku.
Ia membuka bekalnya, perlahan ia mengambil sendok, lalu mulai menyendok nasi dan memakannya. Akupun demikian, perlahan menghabiskan nasi goreng sembari memperhatikannya.
Ia memainkan jam dinding yang sudah rusak, kebetulan di ruangan ini ada sebuah jam dinding kecil yang sudah rusak, Wahyu memainkannya sembari menyuap nasinya. Akupun demikian bersemangat menghabiskan nasi goreng yang barusan kupesan.
“Jam ini kenapa?” Hampir aku tersedak, ya Allah benarkah ini suaranya? Wahyu berbicara kepadaku? Benarkah..., teriakku dalam hati.
Perlahan kuatur ritme nafas bahagiaku.
“Iya Nak....., jamnya rusak...!” Jawabku selembut mungkin.
Ia tidak memperhatikan ekspresi bahagiaku, ia semakin penasaran dengan jam dinding itu, lalu membalikkannya melihat posisi mesin dan baterainya.
“Baterainya habis ya?” Kembali pertanyaan itu muncul dan kali ini aku mulai bingung dan bahagia menjawabnya.
“Iya Nak.., Nanti kita beli Baterai baru ya Nak...” Jawabku sembari tercekat bercampur bahagia disaat ia yang tidak hanya mengucapkan sepatah kata, tetapi dua buah kalimat.
Ya Allah... betapa bahagianya aku, saat kutahu ia bisa Ya Allah, sungguh.. tidak ada yang tidak mungkin bagiMu Ya Rabb.
“Kun Faya Kun, Jadi... Maka Jadilah”
(My inspiration: Wahyu Saputra)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar