Suara
Wahyu Arruhama
(Cerpen
Oleh : UniLilis)
Pagi
saat suara-suara riuh itu kembali terdengar di PKBM nan sederhana ini, walaupun
kami merupakan sekolah non formal,
tetapi kami bisa melakukan hal yang jauh lebih seru dan menyenangkan
dibandingkan dengan sekolah formal.
Yah,
pagi ini anak-anak sudah kembali aktif belajar, setelah libur bulan puasa serta
lebaran Idul Fitri, anak-anak bersemangat sekali ke sekolah. Semua terlihat
bahagia, terutama siswa-siswa baru yang memang baru bergabung di sekolah
sederhana ini.
Aku
juga sudah bertemu dengan anak-anakku di Paket C setara SMA. Tahun ini aku
diamanahi untuk menjadi ketua program Paket C setara SMA. Menghadapi anak-anak
yang umurnya tidak terlalu jauh denganku, mereka rata-rata seumuran dengan
adik-adikku, tetapi ini ranah profesional maka etika sebagai guru dan murid
tetap dijaga, namun tidak melepaskan kesan adik kakak agar lebih akrab dan
seolah tidak ada jarak, dan mereka merasa senang.
Aku
berjalan agak cepat menuju ruangan Tata Usaha yang terletak di ruang tamu
depan, sedikit lagi aku sampai ke dalam, tiba-tiba langkahku tercegat oleh
seorang anak laki-laki Paket A setara SD, kurasa ia baru masuk ke sekolah ini,
karena sebelumnya aku memang tidak pernah melihatnya di sini, perlahan aku
memperhatikannya, ia mengenakan seragam sekolah lengkap Putih Merah, oiya sekolah
kami tidak memiliki seragam seperti sekolah lainnya, pakaian kami bebas tetapi
syar’i dan yang wanita wajib mengenakan jilbab.
“Mungkin ia murid pindahan salah
satu SD negeri...” Pikirku dalam hati.
Sekilas
aku tersenyum kepadanya, namun aku menangkap sesuatu yang berbeda di matanya,
seolah ia tidak memperhatikanku, seolah matanya berbicara serta bertanya aku
siapa, dan mengapa menyapanya. Demi melihat raut muka serta isyarat matanya,
aku buru-buru masuk ke ruangan TU bertemu dengan Buk Ayu yang lebih akrab kami
penggil Debung (Adek Bungsu). Oiya, kami memiliki panggilan tersendiri untuk
sesama guru, namun panggilan ini hanya digunakan ketika tidak ada anak-anak
agar tidak ada yang salah paham. Keakraban di dalam tim juga harus tetap dijaga
agar selalu erat dan kokoh.
“Debung, anak yang di luar baru
masuk ke sini? Dia ada masalah apa di sekolah lama? Un melihat sesuatu yang
berbeda dari tatapan matanya Bung?” Perlahan aku berbisik
kepada Debung.
Debung
hanya tersenyum, menarik nafas pelan, lalu sedikit tertawa sinis, aku hafal
ekspresi ini, ini adalah cara Debung menyampaikan sesuatu yang serius atau
pembicaraan ini sangat serius.
“Dia bukan anak ABK (Anak
Berkebutuhan Khusus) kan Bung?” Potongku cepat.
“Bukan Un, dia hanya pendiam, dan
belum bisa fokus, pecah konsentrasi dan pindah dari sekolah lama dikarenakan itu, dia lambat
dalam merespon segala hal, kita tahu sama tahulah Un, guru di sekolah formal
tidak bisa maksimal memperhatikan anak muridnya satu persatu, jadi ibunya
memindahkannya ke sini..” Jelas Debung.
Aku
langsung kembali ke luar, dan benar saja ia masih terlihat di depan pintu
tempat aku bertemu dengannya tadi. Aku tersenyum sembari perlahan
menghampirinya.
“Kasih sayang ini akan kau dapatkan
Nak, ibumu tidak salah memasukkanmu ke sini, aku.. yah aku akan membantumu walau
aku sendiri tidak tahu caranya tapi kita coba perlahan Nak...”
Gumamku sendiri dalam hati.
Aku
menyentuh pundaknya, ia melihatku sekilas, aku tersenyum dan ia tidak membalas
senyumku sedikitpun, aku sedikit menurunkan badanku, berusaha menyamakan
tinggiku dengannya, lalu kutatap matanya.
“Nama kamu siapa Nak?”
Sapaku dengan sangat lembut.
Dan
ia tidak langsung menjawab namanya, biasanya anak-anak jika kita bertanya nama,
mereka langsung menjawab dengan semangat, tetapi ia berbeda, kuhitung di dalam
hati, dan dihitungan ke 35 ia baru bersuara.
“Wahyu”
Jawabnya sangat pelan, sangat-sangat pelan, namun nama itu sangat jelas di
telingaku.
Aku
tersenyum, serta sedikit terharu, aku memeluknya entahlah, entah apa yang
membuatku melakukan hal ini, aku merasa ada sesuatu yang harus kubagi
dengannya, ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk membantunya, ada sesuatu
yang bergetar di hatiku, membuat mata inipun mulai berkaca-kaca.
“Ibuk hantar ke saung ya Wahyu..,
nanti di sana belajar sama Pak Medi, dan teman-teman yang lain...”
Aku mencoba menuntunnya menuju saung Ibnu Batutah
yang terletak di bagian Timur sekolah ini, berdekatan dengan hutan kecil yang
ada di belakangnya. Tetapi ia diam tidak bergeming, mungkin masih mencerna
kata-kataku satu persatu dan kembali aku menghitungnya, lalu dihitungan ke 60
ia bergerak mengikutiku.
Kugenggam
tangannya, dan kutuntun ia menuju perkumpulan paket A.
Seperti
yang kukatakan sebelumnya sekolah ini special,
walau kami hanya PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) tetapi anak-anak
lebih suka menyebutnya dengan nama sekolah Arruhama, sekolah binaan Lemabaga
Amil Zakat Nasional (Laznas) Chevron wilayah Rumbai.
Awalnya
sekolah ini menampung beberapa anak-anak ABK, namun dikarenakan perombakan, demi
kefokusan sebuah tujuan, maka tahun ini ABK dihapuskan dan fokus ke sekolah
Paket saja, agar guru-guru juga bisa bekerja sesuai dengan tugas dan jabatannya
masing-masing.
Sudah
satu bulan saja sekolah berlangsung, cepat sekali anak-anak akrab dengan kami
para guru, sudah saling membaur dan saling membangun untuk sekolah ini. Akupun
hampir hafal dengan semua anak-anak, dimulai dari Paket C, Paket B, dan Paket
A. Walau ada satu atau dua orang yang terkadang aku menukar nama mereka, tetapi
selebihnya aku hafal. Aku juga senang memperhatikan anak-anak ketika jam
istirahat, terutama Wahyu.
Yah,
selama ini aku selalu memperhatikannya, bahkan setiap berjumpa aku selalu tos
dengannya, serta beberapa anak-anak kelas 1 yang lainnya, ia juga mulai akrab
dengan teman-temannya, walau ia lebih banyak diam, tetapi respon, senyum, dan tawanya
sudah memancarkan kebahagiaan yang luhur. Aku yang berdiri di sudut pohon sawit
sebelah barat sekolahpun ikut tersenyum.
“Ya Allah, beri aku kekuatan untuk
mengajar mereka, berikan aku keikhlasan dalam mengajar dan kesabaran dalam
setiap menunggu perubahan mereka.... Terimakasih untuk kesempatan mengajar di
sini Ya Rab....” Do’a ku sendiri dalam hati.
Jumat
kembali menyapa, kegiatan kami pagi ini imtaq sama seperti sekolah lainnya, dan
hari ini aku sedikit terlambat menuju lapangan, dikarenakan ada beberapa
tulisan yang harus aku emailkan ke temanku. Setelah file itu terkirim, aku
bergegas ke luar ruangan menuju lapangan imtaq yang terletak di gedung putih
sebelah utara sekolah, tidak jauh, hanya saja harus melewati parit kecil yang
sudah tertimbun tanah, dan agak sedikit curam bagi anak-anak. Karena
terburu-buru aku tidak melihat kiri dan kanan serta belakang, aku terlalu fokus
ke depan, hingga terdengar sesuatu yang terjatuh di belakangku, aku menoleh
segera, dan terhenyak..
Saat
aku melihat Wahyu dengan baju melayu berwarna hijau tua terjatuh di belakangku,
aku membantunya berdiri, kulihat matanya berkaca-kaca dan sebentar lagi ia akan
menangis, terlebih ia diperhatikan oleh semua anak-anak yang sudah duduk rapi
di lapangan, dan saat itulah aku segara merangkulnya, sembari kubisikkan
sesuatu di telinganya.
“Anak laki-laki itu harus kuat,
tidak boleh cengeng, tidak boleh malu apalagi menangis, ditahan sakitnya ya
Nak, kan tidak terluka.., harus kuat! Wahyu kan anak laki-laki yang kuat dan
hebat...”
Aku
membersihkan lututnya yang kotor, lalu menatapnya.
“Kita duduk ya Nak..”
Aku sudah bersiap untuk menghitung menanti jawabnnya namun baru dihitungan ke 5
ia sudah mengangguk.
Ya
Allah, aku takjub.
Pak
Medi yang merupakan wali tingkat Paket A membawanya membaur di antara anak-anak
yang lain, sedangkan aku mengambil posisi duduk di belakang murid-murid, bergabung dengan guru-guru lainnya yang sudah
duduk.
Perubahan
yang diperlihatkan Wahyu tidak hanya di hari Jumat ini saja. Sabtu pagi setelah
senam, semua anak-anak diperbolehkan untuk istirahat sejenak, lalu dilanjutkan
dengan jam olahraga. Kali ini aku juga tidak ada waktu main bersama anak-anak
ada beberapa tugas yang harus kuselesaikan.
Sebenarnya
aku tipe orang yang tidak terlalu betah berlama-lama di dalam ruangan, aku
selalu merasa hidup saat bisa membaur dengan anak-anak dan sesama, namun kali
ini aku memang harus menyelesaikan tugasku, lumayan lama, dua jam tugas itu kuselesaikan, lalu aku keluar
ruangan melihat anak-anak.
Semuanya
sedang sibuk bermain dengan teman-temannya, aku keliling memperhatikan mereka
setu persatu, dan semuanya baik-baik saja serta aman-aman saja, tiba-tiba aku
melihat Wahyu sedang sendiri di teras sekolah, yang biasanya digunakan Pak Medi
untuk mengajar anak-anak kelas 1.
Aku
mendekatinya, kuperhatikan ia, dan ternyata ia tidak terganggu dengan
kehadiranku, ia mengambil bekalnya dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas
meja, aku tersenyum
“Wah... Wahyu bawa bekal ya Nak?” Tanyaku
dengan sumringah.
Dia
mengangguk tanpa hitungan sebagaimana
yang selalu kulakukan jika menanyakan sesuatu kepadanya, aku semakin senang
melihatnya.
“Tunggu ibu ya Nak, kita makan
sama-sama.” Pesanku kepadanya.
Setengah
berlari aku menuju kantin yang terletak di dapur, memesan nasi goreng, dan
kembali lagi ke teras depan menjumpai Wahyu.
“Kita makan sama-sama ya Nak.”
Ucapku.
Ia
membuka bekalnya, perlahan ia mengambil sendok, lalu mulai menyendok nasi dan
memakannya. Akupun demikian, perlahan menghabiskan nasi goreng sembari memperhatikannya.
Ia
memainkan jam dinding yang sudah rusak, kebetulan di ruangan ini ada sebuah jam
dinding kecil yang sudah rusak, Wahyu memainkannya sembari menyuap nasinya.
Akupun demikian bersemangat menghabiskan nasi goreng yang barusan kupesan.
“Jam ini kenapa?”
Hampir aku tersedak, ya Allah benarkah ini suaranya? Wahyu berbicara kepadaku?
Benarkah..., teriakku dalam hati.
Perlahan
kuatur ritme nafas bahagiaku.
“Iya Nak....., jamnya rusak...!”
Jawabku selembut mungkin.
Ia
tidak memperhatikan ekspresi bahagiaku, ia semakin penasaran dengan jam dinding
itu, lalu membalikkannya melihat posisi mesin dan baterainya.
“Baterainya habis ya?”
Kembali pertanyaan itu muncul dan kali ini aku mulai bingung dan bahagia menjawabnya.
“Iya Nak.., Nanti kita beli Baterai
baru ya Nak...” Jawabku sembari tercekat bercampur
bahagia disaat ia yang tidak hanya mengucapkan sepatah kata, tetapi dua buah
kalimat.
Ya
Allah... betapa bahagianya aku, saat kutahu ia bisa Ya Allah, sungguh.. tidak
ada yang tidak mungkin bagiMu Ya Rabb.
“Kun Faya Kun, Jadi...
Maka Jadilah”
(My
inspiration: Wahyu Saputra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar