Cinta Bang Dayat Jilid
10
Mama
Tiga hari sudah aku di rumah uda, aku sedikit
menemukan ketenangan di sini, setidaknya aku merasa kembali ke aku yang dulu,
aku yang selalu kuat dan tegar atas apapun, sekarang aku merasa jauh semakin
membaik. Aku juga selalu menyemangati bang Dayat untuk pekerjaannnya, ia selalu
menelefonku menjelang malam, karena siang hari ia sibuk, tak jarang ia meminta
maaf karena tidak bisa menemaniku dan calon buah hati kami.
Aku memaklumi itu semua, aku lebih memilih menerima
dan mendukung keinginannya, aku ingin menjadi wanita yang selalu memotivasi
suami, aku belajar tidak cengeng dan sembari mengajarkan calon anak kami untuk
kuat menghadapi hal-hal seperti ini.
Pagi ini saat aku dan uni tengah diskusi di dalam
rumah, tiba-tiba ada mama Bang Day datang berkunjung, ia dihantar kakaknya bang
Dayat, aku tersenyum hangat menyambut kedatangan mama, kata mama, ia ingin
menemaniku hari ini, aku tahu pastinya akan ada sesuatu yang ingin disampaikan
mama.
“Mama
minta maaf Me, karena baru sempat mengunjungi kamu nak, ah.. Mama terlalu sibuk
bermain dengan cucu Mama di sana, sehingga lupa dengan menantu yang ditinggal
kerja. Me sehat nak?” Mama
menoleh ke arahku melihatku dengan tatapan rindu.
Aku tersenyum hangat kepadanya, wanita yang
dulunya selalu ku temui setiap kali melewati rumah berpagar biru itu, wanita
yang selalu sendiri, kini wanita itu telah menjelma menjadi mertua terbaik
dalam hidupku, aku menggenggam tangan mama, menatapnya dengan penuh keharuan, aku
tidak menyangka jika hati mama selembut itu.
Aku menepis semua anggapan orang-orang bahwa
mertua itu kejam, atau jahat, atau hanya mencintai anaknya saja, menjadikan
menantu saingan dari kasih sayang anak laki-lakinya, itu semua tidak ada di
diri mama, ini yang selalu kusyukuri mama selalu menganggapku sebagai anaknya
sendiri bukan menantunya.
“Me
sehat Ma, Me mengisi liburan dengan membantu uda di sini, mama jangan khawatir
ya Ma, lagian Bang Dayat sedang sibuk, Me juga takut mengganggu dia Ma...” Perlahan ku lepas genggaman tanganku, aku
memilih menatap datar ke depan, mengingat kesibukan Bang Dayat hanya menambah
sepi di hati ini.
“iya Nak,
Mama paham kerisauan kamu, dulu ketika mama di rumah itu sendiri, mama juga sering
merasa sepi, ditinggal Dayat ke luar kota, tak jarang ia pulang sudah larut
malam dan berangkat lagi sewaktu subuh, saat itu ia mengatakan kalau ia ingin
menikah , makanya ia bekerja tak kenal henti siang dan malam, dan mama
memaklumi hal itu, makanya mama terbiasa sendiri di rumah itu, tetapi untuk
kali ini mama juga tidak tahu kenapa Dayat masih sibuk, bahkan mama rasa ini
kesibukan yang luar biasa, adakah sesuatu yang ingin dicapai olehnya Me?” Mama menoleh ke arah ku dan menunggu jawaban.
Demi melihat tatapan mama akupun menjawab pendek.
“Entah
lah Ma,,, mungkin jabatan yang lebih tinggi..!” Aku pun memilih menunduk berusaha menjauhi tatapan mama.
Kami saling diam karena tidak banyak yang bisa
diceritakan, pun mengenai janin ini kami belum bersepakat memberitahukannya
kepada mama, memilih menyimpannya terlebih dahulu, menunggu waktu yang tepat
sembari menunggu janin ini kuat.
“Kita
jalan-jalan pagi yuk Nak, kita nikmati pagi ini berdua, udara secerah ini
sayang jika hanya kita tatap dari beranda, sebaiknya kita menikmatinya dengan berjalan
kaki...” Mama tersenyum lalu menarik
tanganku perlahan dan kami bersiap untuk jalan-jalan pagi. Terlihat uni dari
dalam rumah juga mengikuti kami.
Kami berjalan menyusuri komplek rumah uda yang
banyak dihuni oleh orang-orang lama yang sebagin telah mengenaliku dan mereka
melihat uni juga di belakang kami sembari tersenyum hangat kepada mereka.
Sesekali aku menoleh melihat uni di belakang.
Dahulu aku seringkali melihat mama berjalan kaki
sendiri, melihatnya berjalan sendiri tak jarang membuatku berniat untuk
menemaninya, tetapi apa daya aku ini bukan siap-siapanya. Aku hanya orang lain
yang tidak dikenalinya. Aku hanya bisa tersenyum saat berpapasan dengannya,
bahkan bertanya kabar anaknya saja kala itu aku tidak berani.
Mama menggenggam erat tanganku, aku merasakan
kekuatan dari genggaman itu seolah mama tahu apa yang kubutuhkan, menjadi
wanita kuat dan tangguh walau sedang sendirian. Bang Dayat pasti sangat
menyayangi mama, walau tak jarang ia meninggalkan mama di rumah itu, dan mama
juga, rasa cinta dan sayangnya untuk bang Dayat pastilah sangat besar, anak
laki-laki terbaik di keluarga ini kebanggan dan tumpuan serta tulang punggung
keluarganya.
Sepanjang perjalanan kami terlihat kompak,
menantu dan mertua yang akur, mungkin itu yang tergambar oleh orang-orang
ketika melihat kami berjalan.
Tiba-tiba ada mobil sedan hitam dari arah depan
yang melaju kencang ke arah kami, aku yang sadar akan kehadiran mobil itu
berusaha menarik tangan mama sekuat tenaga, sayang aku terlambat, mobil itu
menabrak mama, dan aku terpental ke tiang listrik yang tidak jauh dari bibir
jalan.
Sambil menahan sakit, aku berusaha membangunkan
mama, uni yang di belakang kami berlari kencang menuju arahku dan berusaha
mengangkat mama, masyarakat sekitar juga berusaha memberikan pertolongan, namun
tidak ada yang memiliki mobil di sana, saat itulah, ya saat kami tidak tahu
harus berbuat apa, sebuah mobil avanza merah mendekati kami dan,,, lihatlah sosok
yang ke luar dari mobil itu.
“Bang
Miqdad? Bang tolong mama bang...” Ucapku tegas dan memohon.
Bang Miqdad langsung sigap bercampur panik
berusaha menganggakat mama ke dalam mobilnya.
“Bawa
ke dalam uni, kita harus secepatnya membawa mama ke rumah sakit terdekat...” Gayanya tidak berubah selalu penuh aba-aba,
teman diskusi ku yang hadir di saat yang tepat.
2 jam kami menunggu mama di ruangan operasi, kata
dokter ada benturan keras di lutut kaki mama sehingga membuat lutut itu sedikit
retak dan dokter berusaha menanamkan sesuatu di sana tentunya operasi ini dengan
persetujuanku.
Uni mengelus pundakku ia melihat kecemasan yang
luar biasa di wajahku sementara Bang Miqdad sedang sibuk dengan administrasi
dan melacak siapa yang telah menabrak kami, kolega bang Miqdad banyak polisi
dan pengacara handal, ia menyuruh sahabatnya untuk melacak pemilik mobil yg
menabrak kami.
Sementara itu dari ujung lorong terlihat uda dan
Bang Dayat berlari-lari, uni yang melefon uda dan Bang Dayat, aku tidak berani
menelefonnya langsung, dan uni juga tahu kondisiku tadi, shock dan pucat beruntung
aku tidak pingsan.
Lihatlah mereka berdua sudah sampai, uda mengusap
kepalaku lalu duduk di samping uni, sementara Bang Dayat berdiri tegap di
hadapanku, perlahan aku berdiri sambil tertunduk, aku sudah siap dengan segala
amarah yang akan dikeluarkannya, aku tidak terbayang dengan apa yang akan
diucapkannya, ibu yang telah melahirkannya kini terbaring di dalam ruangan
operasi hanya karena menantu yang teledor dan manja sepertiku, sungguh aku
sudah siap dengan amukannya kali ini.
Ia mengangkat wajahku, menatapku dalam, dan
menarikku kuat, kedalam pelukannya, ia menenangkanku, Ya Allah tidak kusangka
ia paham apa yang kurasa, dan akupun menangis di pelukannya.
“maafin
Me bang, Me tidak tahu kalau seperti
ini akhirnya.....” Ucapku sambil
sesegukan.
Bang Dayat hanya diam, iapun hanya mengangguk
sembari membisikkanku sesuatu.
“Tenang
Me, semua akan biak-baik saja sayang, kita berdoa untuk mama ya..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar