Cinta Bang Day Jilid 7
Jembatan Cinta
Bang Day
membawaku ke sebuah tempat yang sangat indah, dari mobil yang
dikendarainya sudah terlihat kerlipan lampu-lampu rumah penduduk yang bersusun
rapi, membentuk sebuah bukit nan indah, sepanjang jalan aku melihat pemandangan
kota Padang di malam hari, seperti yang sering Rahmi ceritakan kepadaku, ada Bukit
Bintang di Padang, atau Bukit Lampu, sungguh sangat-sangat indah, pesonan malam
yang menyejukkan mata dan hati.
“Kita
kemana bang?” Aku menatapnya
lembut, melihat wajahnya yang sejuk dan teduh, setelah segala kepanikan luar
biasa yang dilaluinya karena ulah kekanak-kanakanku, ia menyetir dengan
santainya dan sangat fokus, hingga ia lupa pertanyaanku.
“Kenapa
dek?” Balasnya singkat.
Aku menatapnya sambil tersenyum, memutar
sedikit badanku menghadapkan ke arahnya, aku fokus memperhatikannya menyetir,
menatap setiap gurat-gurat wajahnya, matanya yang agak menyipit efek kaca mata
yang selalu digunakannya, wajah putihnya yang memancarkan kekuatan, serta ketegaran
wajahnya dan lihatlah senyuman khas dengan lesung pipinya, masih tetap sama
sejak kami kecil dahulu.
Bang Day tersipu malu.
“Jangan
terlalu memperhatikan abang Me, lihatlah di sekitar kamu, pemandangannya sangat
indah, kamu tidak tertarik untuk melihatnya?” Bang Day malu saat aku memperhatikannya.
Aku menghela nafas dalam, tersenyum hangat dan
tak lelah aku memperhatikan laki-laki yang kusimpan rapi namanya dari kecil
dulu hingga kini ia menjadi suami sah ku.
“Bagi Me
bang, menatap abang seperti ini adalah pemandangan yang paling indah dalam
hidup Me, berdekatan dengan abang, menatap setiap guratan wajah abang, bahkan
bisa menjadi ma’mum dalam sholat abang, melakukan kembali kegiatan masa kecil
kita bersama lagi bang, Me sangat bersyukur bang, dan terkadang Me terfikirkan,
mengapa akhirnya penguasa alam menyatukan kita dalam ikatan yang indah ini ya
bang, padahal dulu...” Aku
menghentikan pembicaraan.
Bang Day menoleh padaku, berharap penjelasan.
“Dulu
Kenapa Me?” Bang Day
menatapku, sembari mencari posisi untuk memarkirkan mobilnya, ia memilih parkir
di pinggiran masjid yang berada di bibir jembatan, aku baru sadar kalau
ternyata perjalanan ini bermuara di Jembatan yang terkenal di kota Padang,
Jembatan Siti Nurbaya.
Kami berdua turun, angin malam menerpa tubuh
kami, sejuknya angin di sini seperti angin di pinggiran pantai, karena muara
pantai Padang ada di jembatan Siti Nurbaya, kisah roman klasik yang terkenal
seantero Sumatera Barat. Bang Day menggenggam tanganku menuntunku berjalan di
pinggir jembatan, sepanjang jalan kami belum belanja atau makan, kami memilih
mengitari sudut-sudut Jembatan nan indah ini, jembatan dengan cerita cinta
kasih tak sampai.
Bang Day tiba-tiba berhenti, membuat ayunan
tangan ini juga reflek berhenti, aku terkejut, menoleh padanya.
“Me belum
menjawab pertanyaan abang, emang dulu kenapa Me?” ternyata bang Day penasaran dengan ucapanku
tadi.
Aku tersenyum, menarik tangannya, mengajaknya
kembali berjalan menyusuri jembatan Siti Nurbaya yang di pinggiran jembatan ini
banyak dipenuhi para pedagang sate, pedagang jagung bakar, dan penjual bandrek.
“Dulu,
rasanya tidak mungkin bisa memiliki Bang Dayat bahkan bermimpi pun tidak berani,
Bang Day kan anak “komplek” yang tumbuh serta besar di sekolah yang ternama,
harta dan kasta yang membedakan kita, membuat impian sederhana gadis seperti Me
ini laksana pungguk merindukan bulan bang itu tidak mungkin, tetapi almarhum
ayah abang sosok yang berbeda bang, ia berhasil menepis semua yang Me fikir.”
Bang Dayat mengelus kepala ku, kami sudah duduk
di salah satu warung yang menjual nasi uduk tepat di pinggiran muara sungai di
bawah jembatan Siti Nurbaya.
“Harta dan
kasta itu tidak membuat pintu jodoh tertutup Me, jodoh itu rahasia Penguasa
Alam, mau dipaksakan sampai kita menangis darah sekalipun, kalau tidak jodoh
maka tidak akan terjadi Me, tetapi mau kita tolak, kita jauhi, kita tinggalkan,
kalau sudah jodoh sejauh apapun mereka berada maka akan Allah persatukan juga, dan
yang harus kita lakukan hanya memantaskan diri kita, agar Allah menyatukan dua
hati kita. Lagipun mencari jodoh itu bukan dilihat dari kecantikannya, atau
keturunannya, ataupun hartanya melainkan agamanya Me, seperti kamu.. abang
memilih kamu karena agama kamu Me, yang abang yakin akan mampu membimbing abang
dan keluarga kita nantinya menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah dan Warohmah.” Bang Dayat menjawab dengan tenangnya.
Angin malam semakin terasa sejuk, pesanan kami
pun telah sampai di meja, nasi uduk dengan ayam bakar serta sepiring tahu dan
tempe goreng, di tambah jeruk hangat membuat nuansa malam kota Padang ini serasa
hanya milik kami berdua. Aku sedikit menggigil karena mungkin tubuhku belum
pulih dan belum kembali fit.
Bang Dayat menggenggam kedua tanganku yang
mulai merasa dingin, ia paham sekali dengan bahasa tubuhku.
“Kita bisa
lihat kok dek, dari jembatan ini bukti kepasrahan cinta seorang gadis lugu,
Siti Nurbaya yang tulus mencintai Samsul Bahri, namun sayang lika-liku perjalan
cinta mereka tidak seindah kisah cinta kita, banyak sekali ujian yang harus
mereka lalui Me, terlebih ketika Siti Nurbaya harus menerima pinangan Datuk
Maringgi yang sengaja meminjamkan uang riba kepada ayahnya Siti, yang nyatanya
ayah Siti tidak mampu membayarnya hingga pilihannya adalah menikahkan Siti
dengan Datuk Maringgi, betapa tersiksanya hati Siti Nurbaya ia harus merelakan
lelaki yang dicintainya untuk ia lepaskan dan menerima kenyataan kalau Datuk Maringgi
nan tua itulah suaminya.” Bang Dayat
berkisah tentang roman klasik Siti Nurbaya.
“Lalu
bagaimana perasaan Samsul Bahri bang?” Tanyaku
penasaran.
“Dia
kecewa, kekasih hatinya telah dipinang oleh lelaki tua yang tak tahu malu, Samsul
memilih pergi, daripada tersiksa melihat wanita yang ia cintai hidup dengan
lelaki yang ia benci, ia pergi jauh merantau ke luar pulau dan memilih menjadi
tentara, namun sayang khabar simpang siur yang terlanjur dikirim kepada Siti
adalah Samsul bunuh diri karena kecewa, sedangkan Siti demi mendengar khabar
itu memilih untuk bunuh diri di sini Me, di jembatan ini, demi mengenang kisah
cinta dua anak manusia itu pemeritah memilih membangun jembatan Siti Nurbaya
yang indah ini.”
Badanku agan merinding sedikit demi mendengar
cerita bang Day, kalau di jembatan ini adalah tempat Siti bunuh diri berarti..
ini kuburan Siti Nurbaya?, aku memilih pindah duduk di samping Bang Dayat
tadinya posisiku berhadapan dengannya, karena ada sesuatu yang kurasa aneh di
sekitar ku, aku menggeret kursiku duduk di sebelahnya.
“Kenapa
dek? Kok pindah ke sebelah abang? Abang kan tidak jauh-jauh dari kamu
sayang...” Bang Dayat pandai juga
menggombal.
Aku mencubit tangannya, dan membisikkan sesuatu
di telinganya.
“Berasa ada
yang meniupkan sesuatu di kuduk Me bang, jadi merinding gimana gitu bang, hee
manatau Siti Nurbaya mau berbagi cerita dengan Me bang, tapi Me cemas ni
bang..”
Bang Dayat merangkulku serta berusaha
memberikan kekuatan.
“Tenang
Mela sayang, kan ada abang Dayat di sini, di sisimu.” Bang Dayat ternyata pandai menyusun kata-kata
romantis.
Aku tersipu malu mendengarnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar