Kamis, 21 Mei 2015

Cinta Bang Day Jilid 7 (Jembatan Cinta)



Cinta Bang Day Jilid 7
Jembatan Cinta
Bang Day  membawaku ke sebuah tempat yang sangat indah, dari mobil yang dikendarainya sudah terlihat kerlipan lampu-lampu rumah penduduk yang bersusun rapi, membentuk sebuah bukit nan indah, sepanjang jalan aku melihat pemandangan kota Padang di malam hari, seperti yang sering Rahmi ceritakan kepadaku, ada Bukit Bintang di Padang, atau Bukit Lampu, sungguh sangat-sangat indah, pesonan malam yang menyejukkan mata dan hati.
“Kita kemana bang?” Aku menatapnya lembut, melihat wajahnya yang sejuk dan teduh, setelah segala kepanikan luar biasa yang dilaluinya karena ulah kekanak-kanakanku, ia menyetir dengan santainya dan sangat fokus, hingga ia lupa pertanyaanku.
“Kenapa dek?” Balasnya singkat.
Aku menatapnya sambil tersenyum, memutar sedikit badanku menghadapkan ke arahnya, aku fokus memperhatikannya menyetir, menatap setiap gurat-gurat wajahnya, matanya yang agak menyipit efek kaca mata yang selalu digunakannya, wajah putihnya yang memancarkan kekuatan, serta ketegaran wajahnya dan lihatlah senyuman khas dengan lesung pipinya, masih tetap sama sejak kami kecil dahulu.
Bang Day tersipu malu.
“Jangan terlalu memperhatikan abang Me, lihatlah di sekitar kamu, pemandangannya sangat indah, kamu tidak tertarik untuk melihatnya?” Bang Day malu saat aku memperhatikannya.
Aku menghela nafas dalam, tersenyum hangat dan tak lelah aku memperhatikan laki-laki yang kusimpan rapi namanya dari kecil dulu hingga kini ia menjadi suami sah ku.
“Bagi Me bang, menatap abang seperti ini adalah pemandangan yang paling indah dalam hidup Me, berdekatan dengan abang, menatap setiap guratan wajah abang, bahkan bisa menjadi ma’mum dalam sholat abang, melakukan kembali kegiatan masa kecil kita bersama lagi bang, Me sangat bersyukur bang, dan terkadang Me terfikirkan, mengapa akhirnya penguasa alam menyatukan kita dalam ikatan yang indah ini ya bang, padahal dulu...” Aku menghentikan pembicaraan.
Bang Day menoleh padaku, berharap penjelasan.
“Dulu Kenapa Me?” Bang Day menatapku, sembari mencari posisi untuk memarkirkan mobilnya, ia memilih parkir di pinggiran masjid yang berada di bibir jembatan, aku baru sadar kalau ternyata perjalanan ini bermuara di Jembatan yang terkenal di kota Padang, Jembatan Siti Nurbaya.
Kami berdua turun, angin malam menerpa tubuh kami, sejuknya angin di sini seperti angin di pinggiran pantai, karena muara pantai Padang ada di jembatan Siti Nurbaya, kisah roman klasik yang terkenal seantero Sumatera Barat. Bang Day menggenggam tanganku menuntunku berjalan di pinggir jembatan, sepanjang jalan kami belum belanja atau makan, kami memilih mengitari sudut-sudut Jembatan nan indah ini, jembatan dengan cerita cinta kasih tak sampai.
Bang Day tiba-tiba berhenti, membuat ayunan tangan ini juga reflek berhenti, aku terkejut, menoleh padanya.
“Me belum menjawab pertanyaan abang, emang dulu kenapa Me?” ternyata bang Day penasaran dengan ucapanku tadi.
Aku tersenyum, menarik tangannya, mengajaknya kembali berjalan menyusuri jembatan Siti Nurbaya yang di pinggiran jembatan ini banyak dipenuhi para pedagang sate, pedagang jagung bakar, dan penjual bandrek.
“Dulu, rasanya tidak mungkin bisa memiliki Bang Dayat bahkan bermimpi pun tidak berani, Bang Day kan anak “komplek” yang tumbuh serta besar di sekolah yang ternama, harta dan kasta yang membedakan kita, membuat impian sederhana gadis seperti Me ini laksana pungguk merindukan bulan bang itu tidak mungkin, tetapi almarhum ayah abang sosok yang berbeda bang, ia berhasil menepis semua yang Me fikir.”
Bang Dayat mengelus kepala ku, kami sudah duduk di salah satu warung yang menjual nasi uduk tepat di pinggiran muara sungai di bawah jembatan Siti Nurbaya.
“Harta dan kasta itu tidak membuat pintu jodoh tertutup Me, jodoh itu rahasia Penguasa Alam, mau dipaksakan sampai kita menangis darah sekalipun, kalau tidak jodoh maka tidak akan terjadi Me, tetapi mau kita tolak, kita jauhi, kita tinggalkan, kalau sudah jodoh sejauh apapun mereka berada maka akan Allah persatukan juga, dan yang harus kita lakukan hanya memantaskan diri kita, agar Allah menyatukan dua hati kita. Lagipun mencari jodoh itu bukan dilihat dari kecantikannya, atau keturunannya, ataupun hartanya melainkan agamanya Me, seperti kamu.. abang memilih kamu karena agama kamu Me, yang abang yakin akan mampu membimbing abang dan keluarga kita nantinya menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah dan Warohmah.” Bang Dayat menjawab dengan tenangnya.
Angin malam semakin terasa sejuk, pesanan kami pun telah sampai di meja, nasi uduk dengan ayam bakar serta sepiring tahu dan tempe goreng, di tambah jeruk hangat membuat nuansa malam kota Padang ini serasa hanya milik kami berdua. Aku sedikit menggigil karena mungkin tubuhku belum pulih dan belum kembali fit.
Bang Dayat menggenggam kedua tanganku yang mulai merasa dingin, ia paham sekali dengan bahasa tubuhku.
“Kita bisa lihat kok dek, dari jembatan ini bukti kepasrahan cinta seorang gadis lugu, Siti Nurbaya yang tulus mencintai Samsul Bahri, namun sayang lika-liku perjalan cinta mereka tidak seindah kisah cinta kita, banyak sekali ujian yang harus mereka lalui Me, terlebih ketika Siti Nurbaya harus menerima pinangan Datuk Maringgi yang sengaja meminjamkan uang riba kepada ayahnya Siti, yang nyatanya ayah Siti tidak mampu membayarnya hingga pilihannya adalah menikahkan Siti dengan Datuk Maringgi, betapa tersiksanya hati Siti Nurbaya ia harus merelakan lelaki yang dicintainya untuk ia lepaskan dan menerima kenyataan kalau Datuk Maringgi nan tua itulah suaminya.” Bang Dayat berkisah tentang roman klasik Siti Nurbaya.
“Lalu bagaimana perasaan Samsul Bahri bang?” Tanyaku penasaran.
“Dia kecewa, kekasih hatinya telah dipinang oleh lelaki tua yang tak tahu malu, Samsul memilih pergi, daripada tersiksa melihat wanita yang ia cintai hidup dengan lelaki yang ia benci, ia pergi jauh merantau ke luar pulau dan memilih menjadi tentara, namun sayang khabar simpang siur yang terlanjur dikirim kepada Siti adalah Samsul bunuh diri karena kecewa, sedangkan Siti demi mendengar khabar itu memilih untuk bunuh diri di sini Me, di jembatan ini, demi mengenang kisah cinta dua anak manusia itu pemeritah memilih membangun jembatan Siti Nurbaya yang indah ini.”
Badanku agan merinding sedikit demi mendengar cerita bang Day, kalau di jembatan ini adalah tempat Siti bunuh diri berarti.. ini kuburan Siti Nurbaya?, aku memilih pindah duduk di samping Bang Dayat tadinya posisiku berhadapan dengannya, karena ada sesuatu yang kurasa aneh di sekitar ku, aku menggeret kursiku duduk di sebelahnya.
“Kenapa dek? Kok pindah ke sebelah abang? Abang kan tidak jauh-jauh dari kamu sayang...” Bang Dayat pandai juga menggombal.
Aku mencubit tangannya, dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“Berasa ada yang meniupkan sesuatu di kuduk Me bang, jadi merinding gimana gitu bang, hee manatau Siti Nurbaya mau berbagi cerita dengan Me bang, tapi Me cemas ni bang..”
Bang Dayat merangkulku serta berusaha memberikan kekuatan.
“Tenang Mela sayang, kan ada abang Dayat di sini, di sisimu.” Bang Dayat ternyata pandai menyusun kata-kata romantis.
Aku tersipu malu mendengarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar