Penjelasan Bang Dayat
(Cintanya Day Jilid 6)
Perlahan
aku membuka mata, memperhatikan sekitar, dan aromanya yang tercium adalah aroma
yang kurang kusukai, aroma obat-obatan, yah aroma khas rumah sakit, siapa yang
telah membawaku ke rumah sakit paling terkenal di Padang ini? Rumah sakit M.
Jamil, kepalaku masih pusing efek sedikit terbentur dan terlalu banyak
berfikir, tak lama aku mendengar suara langkah kaki, sepertinya langkah kaki
wanita dan aku mengenali langkah kaki itu, langkah kaki yang selalu cepat dan
terburu-buru ciri khas seseorang, tiba-tiba ada sosok wanita yang masuk ke
dalam ruangan ini lalu tersenyum hangat padaku, aku membalas senyumnya
“Rahmi..?”
Sapaku
dengan senyuman kebahagiaan.
“Iya Me, ini aku Rahmi, Me udah
mendingan?”
Rahmi,
sahabat baikku selama kuliah yang berhasil menemukan dan membawaku ke rumah
sakit ini, sepertinya ia dan suaminya menemukanku pingsan di pinggir trotoar
kota Padang.
“Tadi Mi lihat Me di pinggir trotoar
dekat taman kota, rasa-rasanya Mi kenal, setelah Mi periksa ternyata beneran
Mela, makanya minta tolong abang, untuk langsung membawa Me ke sinin saja,
kebetulan abang tugas di sini Me,,,” jelas Rahmi
Aku
menitikkan air mata
“Suamimu sudah keberitahu Me, ia akan
segera ke sini, tadi ia keliling Padang, dan tidak menemukanmu, lalu aku
menelfon nomormu dan ia mengangkatnya, ada nada khawatir di sana..”
Rahmi diam sejenak
“Apa kalian baik-baik saja Me? Apa
yang terjadi teman? Ceritalah, berbagi denganku, manatau aku bisa membantumu walau
sekedar memberi nasehat..”
Rahmi
menggenggam tanganku, ku lihat suaminya sedang sibuk memeriksa sekeliling ku.
Lama
aku terdiam, dalam keadaan seperti ini, Allah mentakdirkan sahabat terbaikku,
yang justru berhasil menemukanku, di
mana kamu bang? Masih sibukkah dengan wanita itu, cinta lamamu yang kembali
hadir, atau kamu sedang bernostalgia dengannya, hingga lupa kalau aku di sini,
setega itukah bang,,,,
Aku
menitikkan air mata, setelah menikah aku seringkali menangis, aku tidak
semilitan masa kuliah ku, cobaan yang kuhadapi kali ini cobaan bathin,
memahami, menerima dan melepaskan...
Rahmi
mendekat ke arah kepala ku, ia menggenggam tanganku, menatapku penuh iba.
“Me..., ayolah kawan, jangan
selemah ini, seumur-umur aku mengenalmu kawan, tidak pernah aku melihatmu
selemah ini, bicarahlah baik-baik dengan suamimu, jangan seperti ini, ini
cemburu buta, bisa mengikis hati dan perasaan Me, berdamailah dengan masa lalunya,
biarkan ia perlahan memahimu kawan, cinta tidak secepat itu bisa masuk ke
hatinya, ia butuh proses panjang walau mungkin cinta itu ada di hatimu sejak
kalian masih kecil, tapi itu dulu Me, jauh sebelum pemahan-pemahaman baik dan
buruk itu masuk ke hati kalian masing-masing. Ajaklah ia bicara, beri ia waktu
memaparkan siapa ia sebenarnya, maka pahamilah, bukankah kawan ku ini seseorang
yang selalu sabar dalam segala hal, sabar lah menerimanya Me,”
Ya
Allah, sahabat kuliah yang dahulunya hanya saling tertawa, kini ia memberiku
nasehat yang dalam dan menghujam ke hatiku, kematangannya setelah menikah
membuatku kagum, kini ia yang menasehatiku, biasanya aku yang menasehatinya,
itulah persahabatan.
Rahmi
benar, kenapa aku terlalu sensitif dan mengambil keputusan tanpa berfikir panjang,
apa jadinya bang Day, pastinya susah mencariku di sini, tentunya bang Day risau
dengan keadaanku, ya Allah teganya aku paadamu bang Day.
“Assalamualaikum”
Terdengar
ucapan salam yang tergesa-gesa dari pintu, terlihat wajah cemas dan lelah dari
wajahnya, wajah suami yang sudah menikahiku 6 bulan ini, ketenangan, keteduhan
serta kepanikan yang ada di wajahnya bercampur menjadi satu, ia melihatku,
menatapku, ada genangan air mata di sana, ia menghampiriku memeluk kepalaku
berusaha menyampaikan rasa khawatirnya padaku, aku merasakan degub jantungnya
yang berpacu dengan kecemasan dan rasa takut kehilangan, aku tak kuasa, dari
tadi aku sudah menangis dalam pelukannya.
Rahmi
dan suaminya meninggalkan kami di dalam ruang rawat ini, hanya aku dan bang
Dayat. Lama bang Dayat memelukku sepertinya aku telah lama meninggalkannya,
padahal aku hanya pergi beberapa jam. Bang Day membenarkan posisi duduknya, ia
neggenggam tanganku erat, wajahnya penuh peluh dan cemas.
“Mana wanita tadi bang?
Sudah selesai reuniannya?” Aku bertanya dengan nada sinis
pada bang Day.
“Apa yang masih abang
sembunyikan dari Me bang? Kenapa abang menutup masa lalu abang tanpa
memberitahukannya kepada Me bang?” Aku kembali bertanya
“SIAPA DIA BANG DAYAT?”
Nada suaraku meninggi.
Bang
Dayat tidak menjawab, ia hanya tertunduk, sembari menggenggam tanganku,
kesabaranku mulai hilang dan melepaskan genggamannya, meminta penjelasan atas
apa yang ia lakukan. Bang Dayat menarik nafas dalam, berusaha mencari kekuatan
untuk menjelaskan keping-keping masa lalunya.
“Maafin bang Day Me,
abang belum cerita mengenai Rani, dia wanita yang pernah mengisi ruang hati
abang dulu Me, dulu,, ketika masa-masa awal kuliah, saat abang masih bingung
dengan kota ini, dia yang menolong abang, membantu administrasi abang dan
menyarikan tempat kos untuk abang, dia kakak tingkat abang, tetapi karena
tingginya di bawah abang, ia minta dipanggil adik, dan demi keakraban serta
rasa terimakasih, abang menuruti satu-satunya permintaannya, dengan
membiarkannya memanggil Abang dan Adek.”
Bang
Dayat terdiam sejenak, sedangkan aku dari tadi sejujurnya tidak ingin
mendengarkan penjelasan apapun tapi kali ini aku mengalah, tidak mungkin benang
kusut ini kubiarkan.
“Ternyata panggilan itu
berpengaruh besar Me, semakin hari Rani selalu memberikan perhatian kepada
abang, menanyakan kabar abang, menanyakan tugas kuliah dan perkara makan
abangpun ia khawatir, dan seringkali kita ikut acara yang sama, hingga saat itu
Rani menyatakan perasaannya kepada abang, awalnya abang bingung Me, antara
balas budi dan rasa cinta, abang tidak pandai meisahkan dua rasa itu, antara
kasihan atau peduli, abang bingung Me, ditambah kabar dari Mama kalau Mela
jarang terlihat lagi di masjid. Abang bingung saat itu, hingga akhirnya abang
terima Rani menjadi pacar abang, mungkin sama seperti bang Miqdad Me dan abang
tahu itu kesalahan abang Me, tapi please itu masa lalu abang Me.” Jelas
Bang Dayat.
“Bang Miqdad tidak
masuk dalam masalah ini bang, dia yang cinta sama Me, tetapi Me tidak ada rasa
apapun terhadap bang Miqdad, Me masih setia dengan abang. Jangan samakan.”
Aku memotong penjelasan Bang Dayat.
“Dan kenapa ketika
bertemu dengan Rani, abang seolah tidak peduli dengan Me? Abang lupa kalau Me,
istri sah abang, yang ada di samping abang? Apa namanya kalau bukan karena rasa
cinta itu datang lagi kan bang?” Aku mulai kesal.
“Justru kenapa Me
pergi? Padahal abang butuh kekuatan di sana Me, abang ingin menunjukkan istri sah
abang kepadanya, tetapi Me telah pergi, andai Me tahu, ia meminta abang untuk
menikahinya Me, menjadikannya istri kedua abang...”
Bang Dayat Menatapku
Sedangkan
hatiku sudah dari tadi merasa sakit atas semua penjelasan ini, aku tidak bisa
berbagi apa yang kumiliki untuk orang lain.
“Abang berniat
meninggalkan Me bang?” Dan aku menangis sesegukan.
“Abang tega....” isak
ku.
“Abang tidak mungkin
menduakanmu Me? Itu bukan prinsip abang Me! Tidak mungkin abang menikahinya,
itu mustahil, abang hanya menyuruhnya untuk kuat dan berusaha menerima orang
lain dalam hidupnya dan segera melupakan abang, abang sudah minta maaf dan
berterimakasih atas kebaikannya selama ini, dan terakhir abang mengucapkan kata
perpisahan untuknya..”
Aku
sudah dari tadi menahan kesedihan yang mendalam ini, menerima kenyataan hidup yang
tidak pernah kibayangkan sebelumnya.
“Apa pesan abang?”
Dan aku masih penasaran dengan kata perpisahan Bang Dayat terhadap wanita itu
“Abang bilang, Aku
mencintai istriku, jodoh dunia akhiratku, yang dari kecil sudah menjadi partner
dalam kehidupanku, walau Allah memisahkan kami sementara, untuk bersatu
kembali.”
Bang
Dayat menetapku, sembari mengambil tissu dan menghapus air mataku
“Maafin Me bang.....”
Aku
berdiri dan mengambil tangan Bang Dayat lalu mencium tangannya penuh hormat.
Bang
Dayat melepas tangannya lalu memelukku erat, sangat erat.
“Kita jalani biduk
rumah tangga ini berdua ya Me, saling menguatkan dan saling percaya, Abang
selalu berdo’a untukmu Me dan berdo’a untuk keberkahan pernikahan kita, agar
kekal hingga ke SyurgaNya.”
Dan
aku pun menunduk setuju.
“Kita Pulang Bang?” Aku
berkata pelan padanya
Bang
Dayat menggeleng.
“Kita akan ke suatu
tempat yang indah Me, tenpat yang sangat bersejarah di kota ini, kita akan ke
sana menikmati malam ini.” Ucapnya
“Kemanapun abang
membawa Me, Me akan ikut Abang! Karena Abang Imam hidup Me, maaf pernah menjadi
makmum yang salah...” jawabku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar