Jumat, 29 Mei 2015

Cinta Bang Day Jilid 8



Titipan Penguasa Alam
(Cinta Bang Day Jilid 8)
Liburan memang mengajarkan banyak hal, melihat dunia baru, menikmati tempat-tempat baru dan tentunya liburan bersama suami sendiri serasa pacaran, yah seperti yang sering diimpikan teman-teman semasa kuliah dulu, pacaran setelah menikah. Aku memang tidak pernah pacaran sebelumnya karena Allah menjagaku dari hal-hal yang tidak baik.
Namun untuk jatuh cinta, aku memang merasakannya tetapi selalu kusimpan di dalam hati ini. Berharap suatu hari nanti Penguasa Alam menyatukanku dengan dia yang namanya sudah lama kusimpan, nama Bang Dayat tentunysa. Sedari kecil hanya dia yang berhasil bertahta di hatiku, dan aku menjaga nama itu baik-baik, walau tidak jarang aku digoda oleh kawan-kawanku, aku tetap menjaganya.
Dan hari ini setelah penantian yang panjang itu, aku bisa bersamanya kemanapun. Seperti orang yang baru jadian dan pacaran, kami sudah lama jadian di depan penghulu tetapi untuk menikmati masa-masa indah ini, baru kali ini kami sempat pergi berdua.
Pulang dari Padang kesibukan kami padat, aku dengan persiapan anak-anak yang akan ujian semester genap dan Bang Dayat dengan projeck barunya yang mengharuskannya pulang lembur setiap hari.
Hingga malam itu, saat aku akan menemani mama ke swalayan, tiba-tiba aku merasakan sakit yang sangat di kepalaku, sakit yang membuat bumi ini serasa berputar, aku berpegangan di lengan mama, tetapi mama sepertinya tidak sanggup menahanku dan akupun hampir roboh di depan pintu. Saat itulah tiba-tiba Bang Day dengan sigap keluar dari mobilnya lalu menahanku di lantai beranda rumah.
“Me, kenapa ni dek? Me tidak apa-apa sayang?” tanyanya dengan kepanikan yang hebat.
Aku masih mengaduh dan berusaha menahan sakit ini, denyutannya sangat menusuk, membuatku berasa mual dan ingin muntah
“SAKIT Baaang!” jawabku setengah menjerit menahan sakit.
Mama dan Bang Day membopongku ke dalam mobil, tanpa berfikir panjang, malam itu kami langsung menuju klinic 24 jam yang tidak jauh dari rumah.
Alhamdulillah dokter yang ada malam ini perempuan, melihat aku yang kesakitan memegang kepala, ia menyuruhku berbaring dan menyuntikkan sesuatu di lenganku, hingga aku merasa rilex antara sadar dan tidak sadar, dokter itu memeriksa tensi darahku dan bertanya-tanya kepada Bang Dayat, mama memilih duduk di  luar karena tidak tahan dengan aroma obat-obatan,  akupun akhirnya tertidur sejenak, entah apa yang dibincangkan Dokter kepada Bang Day, percakapan mereka terdengar sayup-sayup di telingaku.
Sambil tertidur aku mengulang-ulang ayat-ayat dan surah-surah yang pernah kuhafal, agar aku merasa lebih tenang dan tidak panik, seiring lantunan ayat yang kubaca sedikit demi sedikit rasa sakit itupun berkurang, akupun tertidur di ruangan ini.
Kurasa 30 menit lamanya aku tertidur di rungan ini, hingga akhirnya Bang Dayat membangunkanku dengan pelan.
“Me... Mela... Mela sayang, Bangun dek, hei... bangun...” Bang Day mengusap wajahku dengan tangannya yang basah, dan membenahi jilbabku yang terlihat berantakan, perlahan aku bangun, dan mencoba untuk duduk.
Setelah aku merasa sempurna duduk aku membaca Surah Alfatiha, dan mengusap wajah dengan kedua tanganku, Bang Dayat membimbingku turun dari kasur rawat ini, kami duduk berdua di meja dokter menunggu penjelasan-penjelasan dan tentunya daftar obat-obat.
“Tuan Dayat dan nyonya Mela, saya mengucapkan selamat karena anda berdua akan memiliki momongan..” Lancar kalimat itu meluncur dari dokter Diah malam ini, aku terkejut serta bersyukur kepada Allah.
Lihatlah wajah berbinar dari muka sejuk suami ku itu, kelelahannya sepulang  kerja berganti binar bahagia yang luar biasa, bahkan ia menggenggam tanganku erat, kalau lah ini bukan ruangan dokter mungkin ia sudah memelukku. Aku meliriknya, melihat binar bahagia itu.
“Tapi, saya mohon maaf kondisi Nyonya Mela agak rentan, karena kehamilan beliau ini lemah, kemungkinan untuk menjadi janin itu hanya 30 persen, dan saya harap untuk istirahat total, apalagi saraf di kepala akan merespon cepat ketika rasa mual itu datang, sehingga akan banyak kontraksi yang terjadi, tetapi kalau dijaga dan selalu kontrol semoga bisa menjadi rezeki.” Penjelasan dokter Diah membuat kami terdiam sejenak.
Pesan yang disampaikan dokter Diah membuat aku mengangguk dan bang Dayat juga paham, kami pamit untuk pulang, setelah menebus beberapa obat dan membayar biaya periksa kami menuju mobil yang terparkir.
“Eh, mama dimana bang?” Aku baru sadar kalau dari tadi tidak ada mama.
“Dijemput kakak dek, tadi abang dan kakak mau ke rumah jadi abang bilang kita lagi di klinic mereka menyusul dan membawa mama ke Panam, karena mama mulai pusing dengan aroma obat-obatan.” Jawab bang Day
“Ooo, kita pulang ya bang, Me mau istirahat di rumah.” Balasku padanya.
Sambil membuka pintu mobil untukku bang Dayat tersenyum hangat.
“Baik tuan putri! Titahmu akan hamba laksanakan.” Balasnya sambil tertawa padaku.
Sesampainya di rumah Bang Day membersihkan dirinya, ia mengajakku untuk sujud syukur bersama atas info dan anugrah Allah ini, calon anak kami.
“Ya Allah terimakasih telah menitipkan benih ini kepada kami, terimakasih sudah percaya kalau kami bisa menjadi calon orangtua, terimakasih segala anugerah ini, dan terimakasih atas amanah yang besar ini..” Doa bang Day
Aku yang di belakangnya mengaminkan, dan bersyukur kepada Allah.
“Sebaiknya berita ini jangan disiarkan ke mama dan amak bang, takutnya ini belum pasti mereka sudah terlanjur bahagia, Me takut mengecewakan mereka bang...” Aku berbicara serius dengan bang Day, kulihat ekspresinya datar saja, padahal saat itu ia bersiap untuk menelfon mama. Lama ia terdiam hingga khirnya ia mengangguk.
Entah apa yang membuatku ragu dengan calon janin ini, apakah karena penjelasan dokter Diah atau karena aku belum sepenuhnya siap menjadi orangtua, ataukah ini hanya tipu daya setan yang ingin melemahkanku, Astagfirullah...
Dua minggu setelah chek up kegiatan bang Dayat semakin padat, ia sering lembur bahkan seminggu ini ia di luar kota menyelesaikan projecknya, ia mengatakan bahwa akhir-akhir ini rezeki datang silih berganti, ia diundang persentasi di mana-mana bahkan ia akan dipromosikan untuk naik pangkat, dan ini semua hanya membuat ia jarang pulang.
Akupun demikian, aku semakin sibuk dengan acara-acara di sekolah, pemeriksaan nilai ujian, penulisan raport dan yang paling menyita tenaga adalah acara perpisahan dengan anak-anak yang baru lulus.
Aku dan Bang Day jarang bertemu, kami hanya menyapa via sms karena bang Dayat tidak bisa menelfon, kami jarang berkomunikasi, mungkin tidak sempat atau bisa jadi, kami sudah saling mendo’akan.
Dan sore itu entah apa yang menyapaku, aku menangis karena menahan rindu kepadanya, aku menelfonnya berkali-kali, namun tidak ada jawaban di ujung sana, akupun meng sms nya, dan tidak ada balasan, aku mulai curiga tidak jelas dengannya, tetapi kembali aku berfikir positif, mungkin ia sibuk, ataun Hp nya tertinggal atau ia sedang di pesawat, sayangnya aku sudah terlanjur sedih dikarenakan tidak mendengarkan suaranya hari ini, aku menangis sejadi-jadinya menangis sambil sesegukan, menangis sedih seperti ditinggalkan sesuatu yang sangat kucintai. Akupun tertidur dalam kesedihan dan kerinduan ini.
Terdengar sayup-sayup HP ku berbunyi dan bel rumahnya juga berbunyi, aku dengan sisa tenaga yang kupunya berusaha menuju pintu depan, sembari mengangkat telefon dan terdengar suara Bang Day yang tidak jelas. Ku buka pintu depan, kulihat ia membawa seikat bunga lili putih dan tersenyum bahagia, sayangnya senyum bahagia iti kubalas dengan tatapan sayu dan jatuh terkulai di hadapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar