Prasangka
(Cintanya Bang Day jilid 5)
Memang
benar yang dikatakan dosen Munakahatku kala itu, diawal pernikahan kita akan
mengalami perubahan2, menerima kehadiran orang baru dalam hidup kita, menerima
perintah baru dan menuruti satu orang saja, bagi wanita tentu suami adalah imam
mutlaknya walaupun sebelumnya ia mematuhi kedua orangtuanya, tetapi akad sah
ijab qabul itu adalah akad perpindahan kepemilikan dari ayah ke pada suami,
menyerahkan putrinya untuk dibawa oleh laki-laki yang mungkin baru ia kenal
dalam hidupnya.
Begitu
juga dengan ku kala itu, Ayah dengan sedikit tegang mengucapkan janji suci
kepada bang Day untuk menyerahkanku, ayah tahu selama ini aku mana pernah dekat
dengan anak laki-laki dan kalaupun ada, hanya teman organisasi serta abang dan
adek tingkat, dan ayah juga tahu selama ini ayah adalah tempatku bertanya jika
aku tersasar dalam sebuah perjalanan ke luar kota, dan kali ini, ayah dengan
keyakinannya menyerahkanku sepenuhnya kepada bang Dayat.
Tidak
terasa sudah satu semester pernikahan ini kami jalani, terlihat datar walau sedikit
bergelombang, terlihat tenang walau terkadang ada saja angin yang menghampiri, belum
lagi perkara momongan, tentu saja pertanyaan para teman, tetangga, rekan kerja
bahkan anak murid serta atasan bang Dayat cukup membuat hati ini redup redam
mendengarnya sembari tetap berdoa kepada Allah untuk diberi rezeki berupa anak.
Pagi
itu aku terdiam di hadapan mama, sepulang subuh berjamaah di masjid, mama
sempat berbincang dengan tante Linda, aku tahu apa yang mereka bicarakan, tentu
saja momongan, tepatnya cucu, aku juga mendengar kesinisan dari wajah tante Linda
saat melihatku sembari menyobongkan kalau anaknya akan melahirkan lagi, dan ini
adalah cucu yang ketiga, tentu saja itu hanya membuat mama semakin sedih, mama
baru punya satu cucu dari kakaknya bang Dayat, tapi bagi mama itu bukan cucu
kontan, bagi mama anak bang Dayatlah yang cucu kontannya, entah darimana mama
dapat ilmu aneh ini.
“Maafin Me ma, belum bisa
memberikan cucu untuk mama.” Kuberanikan diri
membuka perbincangan pagi itu, di
beranda rumah saat mama juga sedang santai membaca buku Zikirnya.
Mama
menghentikan bacaannya, ia melihatku, berjalan mendekat dan mengusap-usap
kepalaku.
“Mama tidak kecewa Me, jangan
diambil hati perbincangan subuh tadi, tante Linda memang seperti itu Me, anak
itu rezeki dan titipan Allah sayaaang, bisa cepat bisa juga lambat, kita hanya
bisa terus berusaha dan berdoa serta bersabar, kalau sudah waktunya maka Allah
akan berikan disaat yang tidak kita duga-duga. Mama tidak memaksa apapun dari
kalian bedua, kalian bisa akur saja, itu sudah cukup bagi mama dan tentunya
almarhum papa”. Ya Allah ucapan mama, aku sudah
tertunduk dari tadi, aku memeluk mama, mencoba mencari kekuatan di sana...
Bagi
seorang wanita momongan adalah hal yang diidam-idamkan karena salah satu tujuan
pernikahan itu adalah utuk melahirkan generasi penerus, dan mama tentu paham
dengan hal ini, karena mama wanita.
“Wow ada apa ini? Pagi-pagi ada drama
india saja, mertua dan menantu saling berpelukan, kenapa ma? Me?”
Bang
Day muncul tiba-tiba, aku melepas pelukanku dari mama lalu berdiri menghapus
air mata dan mebenarkan simpul dasi bang Day yang agak miring.
Ia
menatap mataku tajam, namun aku menghindar berusaha menyembunyikan wajah duka
ini, sayangnya aku gagal, bang Dayat sudah terlebih dahulu meluruskan wajahku dengan
gerakan kedua tangannya kami saling tatap, akhirnya air mataku jatuh lagi, kali
ini aku terisak dan tak kuat akupun menangis di bahunya, mama yang tadi bersama
kami perlahan-lahan meninggalkan kami menuju dapur.
“kenapa Mela sayang?”
lembut suara itu menusuk ke kalbuku.
Aku
hanya diam, membiarkan air mata ini berbicara padanya, mungkin bang Day tidak
tahu betapa sakitnya ketika sudah berumah tangga tetapi belum dikaruniai anak,
dulu aku juga tidak peduli dengan hal ini, tetapi hal ini menyangkut mama,
karena mama akan betemu teman-temannya dalam arisan dan pengajian yang bahan
pembicaraannya tidak jauh-jauh dari menantu dan cucu.
Bang
Day semakin bingung, ia mengambil sapu tangan di saku bajunya dan perlahan
menghapus air mataku, aku memandangnya, iapun tersenyum.
“mungkin kita butuh jalan-jalan ke
luar kota Bang.. kita belum pernah melakukan perjalanan jauh berdua kan?”
akhirnya aku mengucapkan beberapa kalimat.
“Ok, malam nanti kita berangkat ke
Padang, nanti abang ambil cuti satu minggu, karena proyek abang baru saja
selesai, jangan sedih lagi ya sayang, siapin saja baju-baju kita”
Subhanallah,
tak kusangka bang Day merespon keinginanku secepat itu, aku mengangguk, perkara
jalan-jalan, aku selalu semangat apalagi kali ini ke Pdang, kota yang sangat
aku sukai.
Hanya
aku dan bang Dayat yang berangkat, kami menginap di salah sato hotel yang tidak
jauh dari Tepi Laut Padang, dari jendela kamar kami bisa melihat pemandangan Laut
yang indah itu.
Hari
ini ia mengajakku mengelilingi UNAND Kampus kebanggannya, dan tentu saja kampus
yang aku idamkan kala itu, setiap sudut-sudt UNAND kami lewati, aku takjub
dengan bangunannya dan keasrian hutannya begitu indah dan mempesona, apalagi
bentuk rektoratnya yang terbilang megah, wajar saja UNAND menjadi salah satu
kampus paling favorit. Keluar dari gerbang depan UNAND bang Day mengajak
singgah ke salah satu cafe yang merupakan tempat yang sering ia kunjungi saat
libur maupun saat menyelesaikan skripsi.
Cafe
yang menyediakan aneka rasa dan model ice cream, ia memesan dua porsi ice cream
untuk kami, aku masih kagum dan takjub dengan ini semua, aku memandangi
wajahnya sembari tersenyum manis, tidak ku sangka aku bisa mengelilingi kota indah
ini bersamanya, suami halalku yang siap memberikan apa yang kuinginkan,
laki-laki hebat yang berhati lembut, ia bahkan tahu secara perlahan apa yang
kuinginkan, dan selama perjalanan ia membiarkanku mengamati setiap jengkal kota
nan indah ini. Barusa ja dua mangkok ice cream itu akan diletakkan di meja kami
tiba-tiba
BRUK..
Seorang
wanita menabrak pelayan yang membawa ice cream untuk kami, dan tidak sengaja
satu mangkuk ice cream itu tumpah di jilbab coklat ku, spontan aku berdiri tidak
ingin tumpahan itu merambat ke baju dan rok ku, aku berdiri dan berusaha membersihkannya
dengan tissu, lihatlah wanita itu malah diam mematung dan menatap bang Dayat
dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bang Dayat? ke mana saja selama
ini? Abang sehat? Kenapa tidak pernah memberi kabar lagi?”
Perempuan
itu menyapa bang Day dengan suara yang sangat lembut, suara yang bisasanya
kugunakan untuk bermanja di hadapan bang Day.
Aku
pun menatap bang Day, mencoba meminta penjelasan, tapi sayangnya bang Day malah
menunduk melihatku dan kembali tersenyum menatap wanita itu, aku permisi ke
toilet membersihkan jilbab dan mungkin juga membersihkan hatiku yang rasanya
juga baru dilepar dengan es, sakit.
Aku
menatap diriku di hadapan cermin toilet, menerka-nerka siapakah wanita yang
barusan menumpahkan ice cream dan yang menatap wajah suamiku itu, apakah dia
pacarnya bang Dayat ataukah fens seperti bang Miqdad? Atau bisa jadi dia
sahabatnya bang Dayat?, hufft.
Aku
keluar dari toilet dan memperhatikan mereka, kulihat bang Day tampak akrab
dengan wanita itu dan mereka sudah tertawa renyah, aku ragu untuk kembali, aku
memutuskan keluar dari cafe melalui pintu samping dan berjalan melihat-lihat,
tabiat asliku mulai keluar, saat ada sesuatu yang tidak kusukai aku kurang bisa
menghadapinya secara langsung aku memutuskan berjalan kaki saja mengikuti jalan
lurus ini, sembari menitikkan air mata.
Suami
yang tadinya sudah kupuji, kini ia sedang asyik bercengkrama dengan wanita
lain, dan lupa dengan istrinya sendiri, mungkinkah alasannya mengajakku ke sini
untuk berjumpa dengan wanita itu, ataukah ini hanya alasannya untuk kembali
mengenang masa-masa kuliahnya dulu, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa aku
memutuskan lari dari kenyataan di depan mataku, aku mulai terisak dan tak kuat,
aku memutuskan duduk di bangku jalan tempat tunggu para penumpang bus.
Mungkin
sudah satu jam aku berjalan, dan aku tidak tahu aku berada dimana, aku tidak
membawa apa-apa semuanya ada di dalam tas yang kutinggal di cafe tadi, aku baru
sadar kalau ternyata aku tersasar di kota ini.
Lama
aku terdiam sembari terisak, pertanyan-pertanyaan itu muncul silih berganti di
kepalaku, akankah bang Day sadar dan mencariku? Aku mulai menyesali diriku,
kenapa aku mau menikahinya tanpa tahu latar belakang kehidupannya selama ini
kenapa aku terlalu percaya dengan kebaikan, atau ya Allah kenapa aku begitu cemburu
dengan wanita itu, mengapa aku tidak bergabung saja, saling menyapa, ya Allah
siapa yang salah? aku kah yang terlalu terbakar api cemburu, atau bang Dayat
kah yang terlalu ramah kepada semua orang termasuk wanita itu, atau wanita itu
yang tidak sadar kalau aku ini istri sahnya bang Dayat, silih berganti
pertanyaan itu menghujam kepalaku hingga akhirnya semua terlihat gelap. Aku pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar