Rabu, 29 April 2015

Prasangka (Cinta Day jilid 5)



Prasangka
(Cintanya Bang Day jilid 5)
Memang benar yang dikatakan dosen Munakahatku kala itu, diawal pernikahan kita akan mengalami perubahan2, menerima kehadiran orang baru dalam hidup kita, menerima perintah baru dan menuruti satu orang saja, bagi wanita tentu suami adalah imam mutlaknya walaupun sebelumnya ia mematuhi kedua orangtuanya, tetapi akad sah ijab qabul itu adalah akad perpindahan kepemilikan dari ayah ke pada suami, menyerahkan putrinya untuk dibawa oleh laki-laki yang mungkin baru ia kenal dalam hidupnya.
Begitu juga dengan ku kala itu, Ayah dengan sedikit tegang mengucapkan janji suci kepada bang Day untuk menyerahkanku, ayah tahu selama ini aku mana pernah dekat dengan anak laki-laki dan kalaupun ada, hanya teman organisasi serta abang dan adek tingkat, dan ayah juga tahu selama ini ayah adalah tempatku bertanya jika aku tersasar dalam sebuah perjalanan ke luar kota, dan kali ini, ayah dengan keyakinannya menyerahkanku sepenuhnya kepada bang Dayat.
Tidak terasa sudah satu semester pernikahan ini kami jalani, terlihat datar walau sedikit bergelombang, terlihat tenang walau terkadang ada saja angin yang menghampiri, belum lagi perkara momongan, tentu saja pertanyaan para teman, tetangga, rekan kerja bahkan anak murid serta atasan bang Dayat cukup membuat hati ini redup redam mendengarnya sembari tetap berdoa kepada Allah untuk diberi rezeki berupa anak.
Pagi itu aku terdiam di hadapan mama, sepulang subuh berjamaah di masjid, mama sempat berbincang dengan tante Linda, aku tahu apa yang mereka bicarakan, tentu saja momongan, tepatnya cucu, aku juga mendengar kesinisan dari wajah tante Linda saat melihatku sembari menyobongkan kalau anaknya akan melahirkan lagi, dan ini adalah cucu yang ketiga, tentu saja itu hanya membuat mama semakin sedih, mama baru punya satu cucu dari kakaknya bang Dayat, tapi bagi mama itu bukan cucu kontan, bagi mama anak bang Dayatlah yang cucu kontannya, entah darimana mama dapat ilmu aneh ini.
“Maafin Me ma, belum bisa memberikan cucu untuk mama.” Kuberanikan diri membuka perbincangan pagi  itu, di beranda rumah saat mama juga sedang santai membaca buku Zikirnya.
Mama menghentikan bacaannya, ia melihatku, berjalan mendekat dan mengusap-usap kepalaku.
“Mama tidak kecewa Me, jangan diambil hati perbincangan subuh tadi, tante Linda memang seperti itu Me, anak itu rezeki dan titipan Allah sayaaang, bisa cepat bisa juga lambat, kita hanya bisa terus berusaha dan berdoa serta bersabar, kalau sudah waktunya maka Allah akan berikan disaat yang tidak kita duga-duga. Mama tidak memaksa apapun dari kalian bedua, kalian bisa akur saja, itu sudah cukup bagi mama dan tentunya almarhum papa”. Ya Allah ucapan mama, aku sudah tertunduk dari tadi, aku memeluk mama, mencoba mencari kekuatan di sana...
Bagi seorang wanita momongan adalah hal yang diidam-idamkan karena salah satu tujuan pernikahan itu adalah utuk melahirkan generasi penerus, dan mama tentu paham dengan hal ini, karena mama wanita.
“Wow ada apa ini? Pagi-pagi ada drama india saja, mertua dan menantu saling berpelukan, kenapa ma? Me?”
Bang Day muncul tiba-tiba, aku melepas pelukanku dari mama lalu berdiri menghapus air mata dan mebenarkan simpul dasi bang Day yang agak miring.
Ia menatap mataku tajam, namun aku menghindar berusaha menyembunyikan wajah duka ini, sayangnya aku gagal, bang Dayat sudah terlebih dahulu meluruskan wajahku dengan gerakan kedua tangannya kami saling tatap, akhirnya air mataku jatuh lagi, kali ini aku terisak dan tak kuat akupun menangis di bahunya, mama yang tadi bersama kami perlahan-lahan meninggalkan kami menuju dapur.
“kenapa Mela sayang?” lembut suara itu menusuk ke kalbuku.
Aku hanya diam, membiarkan air mata ini berbicara padanya, mungkin bang Day tidak tahu betapa sakitnya ketika sudah berumah tangga tetapi belum dikaruniai anak, dulu aku juga tidak peduli dengan hal ini, tetapi hal ini menyangkut mama, karena mama akan betemu teman-temannya dalam arisan dan pengajian yang bahan pembicaraannya tidak jauh-jauh dari menantu dan cucu.
Bang Day semakin bingung, ia mengambil sapu tangan di saku bajunya dan perlahan menghapus air mataku, aku memandangnya, iapun tersenyum.
“mungkin kita butuh jalan-jalan ke luar kota Bang.. kita belum pernah melakukan perjalanan jauh berdua kan?” akhirnya aku mengucapkan beberapa kalimat.
“Ok, malam nanti kita berangkat ke Padang, nanti abang ambil cuti satu minggu, karena proyek abang baru saja selesai, jangan sedih lagi ya sayang, siapin saja baju-baju kita”
Subhanallah, tak kusangka bang Day merespon keinginanku secepat itu, aku mengangguk, perkara jalan-jalan, aku selalu semangat apalagi kali ini ke Pdang, kota yang sangat aku sukai.
Hanya aku dan bang Dayat yang berangkat, kami menginap di salah sato hotel yang tidak jauh dari Tepi Laut Padang, dari jendela kamar kami bisa melihat pemandangan Laut yang indah itu.
Hari ini ia mengajakku mengelilingi UNAND Kampus kebanggannya, dan tentu saja kampus yang aku idamkan kala itu, setiap sudut-sudt UNAND kami lewati, aku takjub dengan bangunannya dan keasrian hutannya begitu indah dan mempesona, apalagi bentuk rektoratnya yang terbilang megah, wajar saja UNAND menjadi salah satu kampus paling favorit. Keluar dari gerbang depan UNAND bang Day mengajak singgah ke salah satu cafe yang merupakan tempat yang sering ia kunjungi saat libur maupun saat menyelesaikan skripsi.
Cafe yang menyediakan aneka rasa dan model ice cream, ia memesan dua porsi ice cream untuk kami, aku masih kagum dan takjub dengan ini semua, aku memandangi wajahnya sembari tersenyum manis, tidak ku sangka aku bisa mengelilingi kota indah ini bersamanya, suami halalku yang siap memberikan apa yang kuinginkan, laki-laki hebat yang berhati lembut, ia bahkan tahu secara perlahan apa yang kuinginkan, dan selama perjalanan ia membiarkanku mengamati setiap jengkal kota nan indah ini. Barusa ja dua mangkok ice cream itu akan diletakkan di meja kami tiba-tiba
BRUK..
Seorang wanita menabrak pelayan yang membawa ice cream untuk kami, dan tidak sengaja satu mangkuk ice cream itu tumpah di jilbab coklat ku, spontan aku berdiri tidak ingin tumpahan itu merambat ke baju dan rok ku, aku berdiri dan berusaha membersihkannya dengan tissu, lihatlah wanita itu malah diam mematung dan menatap bang Dayat dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bang Dayat? ke mana saja selama ini? Abang sehat? Kenapa tidak pernah memberi kabar lagi?”
Perempuan itu menyapa bang Day dengan suara yang sangat lembut, suara yang bisasanya kugunakan untuk bermanja di hadapan bang Day.
Aku pun menatap bang Day, mencoba meminta penjelasan, tapi sayangnya bang Day malah menunduk melihatku dan kembali tersenyum menatap wanita itu, aku permisi ke toilet membersihkan jilbab dan mungkin juga membersihkan hatiku yang rasanya juga baru dilepar dengan es, sakit.
Aku menatap diriku di hadapan cermin toilet, menerka-nerka siapakah wanita yang barusan menumpahkan ice cream dan yang menatap wajah suamiku itu, apakah dia pacarnya bang Dayat ataukah fens seperti bang Miqdad? Atau bisa jadi dia sahabatnya bang Dayat?, hufft.
Aku keluar dari toilet dan memperhatikan mereka, kulihat bang Day tampak akrab dengan wanita itu dan mereka sudah tertawa renyah, aku ragu untuk kembali, aku memutuskan keluar dari cafe melalui pintu samping dan berjalan melihat-lihat, tabiat asliku mulai keluar, saat ada sesuatu yang tidak kusukai aku kurang bisa menghadapinya secara langsung aku memutuskan berjalan kaki saja mengikuti jalan lurus ini, sembari menitikkan air mata.
Suami yang tadinya sudah kupuji, kini ia sedang asyik bercengkrama dengan wanita lain, dan lupa dengan istrinya sendiri, mungkinkah alasannya mengajakku ke sini untuk berjumpa dengan wanita itu, ataukah ini hanya alasannya untuk kembali mengenang masa-masa kuliahnya dulu, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa aku memutuskan lari dari kenyataan di depan mataku, aku mulai terisak dan tak kuat, aku memutuskan duduk di bangku jalan tempat tunggu para penumpang bus.
Mungkin sudah satu jam aku berjalan, dan aku tidak tahu aku berada dimana, aku tidak membawa apa-apa semuanya ada di dalam tas yang kutinggal di cafe tadi, aku baru sadar kalau ternyata aku tersasar di kota ini.
Lama aku terdiam sembari terisak, pertanyan-pertanyaan itu muncul silih berganti di kepalaku, akankah bang Day sadar dan mencariku? Aku mulai menyesali diriku, kenapa aku mau menikahinya tanpa tahu latar belakang kehidupannya selama ini kenapa aku terlalu percaya dengan kebaikan, atau ya Allah kenapa aku begitu cemburu dengan wanita itu, mengapa aku tidak bergabung saja, saling menyapa, ya Allah siapa yang salah? aku kah yang terlalu terbakar api cemburu, atau bang Dayat kah yang terlalu ramah kepada semua orang termasuk wanita itu, atau wanita itu yang tidak sadar kalau aku ini istri sahnya bang Dayat, silih berganti pertanyaan itu menghujam kepalaku hingga akhirnya semua terlihat gelap. Aku pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar