Menakhlukkan
Ketakutan
(Sepenggal
Kisah di Sumbar)
Kalau
ada yng ngajak ke Sumbar, aku biasanya orang pertama yang akan minta ikut, mau
bayar g bayar, mau sumbangan, mau pake travel, rental mobil naik bus, naek
motor, aku, yah aku pasti minta ikut. Karena tanah kelahiranku, Sumbar adalah
negeri yang paling indah, paling lengap dan paling adem untuk dinikmati.
Seperti
kali ini sekolah akan mengadakan study banding ke salah satu sekolah paket yang
ada di Bukittinggi, tentu saja aku yang pertama absen untuk ikut, Bukittinggi
kota yang indah dengan aneka wisatanya, perbukitan yang indah, wisata yang
menawan, perjalanan yang tak menjemukan, sungguh damai rasanya. Namun, setelah
Daway menyebutkan sederet agenda yang akan dilakukan, seperti mengunjungi pulau
dan pantai, dan seketika itu juga aku terdiam.
“Nah, nanti hari pertama kita ke
pantai Cerocok dulu, kita nyebrang trus main-main di pulau kecil itu, besoknya
baru kunjungan dan main di Bukittinggi, hari trakhir menjelang pulang kita main
di Harau Payakumbuh .” Jelas daway dengan antusias.
Lama
aku terdiam di sudut ruangan diskusi itu. Mbk Sri memperhatikanku dengan
tatapan khas nya, entah lah entah itu tatapan iba atau tatapan khawatir. Daway
pun tersadar dan berhenti dari antusiasme nya, lalu sejenak melihatku murung.
“Kenapa un? Kok malah murung?
Pecinta Sumbar tetiba murung diajak ke Sumbar? Jangan bilang un takut Laut?”
kalau Daway udah ngeluarin sederet pertanyaan itu pertanda ia sedang marah atau
sedang menahan amarahnya.
Aku
tersentak demi mendengar deretan pertanyaan Daway, si adek angkat ku itu,
sambil menunduk takzim aku menyampaikan alasanku.
“uun TIDAK SUKA LAUT, un takut
nyebrangin laut, un g mau ke pantai un g suka.!” Aku
dengan nada agak tertekan akhirnya berani menyampaikan kekhawatiran itu
“apa yng un takut kan? Un kan lahir
dari pesisir pariam juga Laut juga... lagian un kalau kita nyebrang kan ada
pengamannya, kita pun ramai, kalau un jatuhkan ada Wayu yang nolongin?”
kali ini ia tersenyum, aku tahu itu hanya caranya membuat kekhawatiranku
tentang laut hilang.
“nolongin? orang g mahrom juga!”
Mbk Sri memotong ucapan Daway.
Aku
hanya terdiam dan izin pamit dari ruangan, sungguh kali ini tantangannya besar,
demi semua sahabat di sekolah aku harus berani ikut ke sana, atau aku akan
melihat wajah kecewa mereka karena ketidak ikutesertaannuku. Tapi... atau lebih
baik aku tidak usah ikut ke Sumbar saja, ah bukan solusi Bukep tak akan
membiarkan aku tak ikut, mana mungkin aku secara sepihak mengganti rute perjalanan,
secara yang lain sudah sepakat ingin ke pantai...
Huaaaaaaa,
ya Allah hanya bisa berdo’a semoga aku bisa menakhlukkan ketaktan ku ini, aku
sempat menawarkan kepada Daway untuk jalan ke Maninjau aja, atau ke istana Pagaruyung
di Batusangkar, eh jawabannya
“lebih seru ke pantai un... un tu
lah g pernah mau mencoba sesuatu yang baru, sekali-kali tataplah lautan yg
indah itu un, anugrah Allah yang Maha Indah.” Si daway dengan
kealay aiannya atau sengaja menyindir entahlah, tapi kata-katanya itu ada benarnya.
Aku
kuatkan hatiku untuk ikut ke Sumbar, walau sepanjang perjanlanan menuju pantai
Cerocok ada degub aneh di jantungku, antara takut, cemas atau... ah tapi rasa
itu semua terbayar dengan pemandangan yang indah sepanjang perjalanan menuju
Painan itu, Teluk Bayur yang penuh pesona dengan deretan kapal-kapal besar yang
Subhanaallah...
Sampan-sampan
para nelayan yang tertambat di bibir pantai, anak-anak kecil yang berlarian,
sungguh terlihat indah tapi tidak untuk kuikuti.
Aku
sedikit lega ternyata Daway membawa kami ke Bukit Langkisau, yang dari
ketinggian ini kami bisa melihat laut lepas dan para penerjun payung pamer
kebolehan, dari atas Bukit Langkisau ini kita bisa memandang lautan yang
sangaaaat luas, pemandangan yang sangat indah, perbukitan sederhana yang
terlihat menjadi pasak menahan air laut, ditambah para penerjun yang
seolah-olah pamer bahwa mereka bisa menikmati alam Minangkabau ini dengan
leluasa di atas awan.
Aku?
Yah aku terperangah dengan ini semua, laut yang terlihat tenang, rumah penduduk
di selatan yang terlihat tersusun rapi seperti sudah di ataur letakknya dengan
warna genteng merah yang hampir merata, ini sungguh anugrah Allah yang Maha
Agung.
Ku
kira kami akan lama di sini, aku hanya diam dan takzim memperhatikan ini semua.
Melihat para touris yang berfoto-foto, Daway dan yang lain sedang tertawa-tawa,
aku memejamkan mata
“Ya Rabb begitu besar kuasaMu atas
kami, keindahan ciptaanMu yang menyejukkan mata, ketenangan yang Kau berikan, sabdaMu
tak pernah ingkar, Kau jadikan gunung-gunung sebagai pasak untuk menahan air
laut, Kau ciptakan semuanya berdampingan tanpa merasa lebih dipentingkan satu sama lain, Ya Rab kuatkan aku untuk bisa
menikmati laut itu lebih dekat” lirihku dalam diam
Daway
menghampiriku yang sedang menikmati pemdangan ini, ia mensejajarkan duduknya
walau tak dekat.
“keren kan un, habis ini kita ke
bawah un kita nikmati alam ciptaan Allah ini lebih dekat lagi, kita cari batu
karang di pulau un.” Daway semangatnya dia mempropokasiku
walau aku hanya tersenyum kecut.
Perjalanan
ini yang kukira hanya akan berakhir di Bukit yang indah rupanya salah, semuanya
guru-guru dari dua mobil rombongan kami sepakat untuk turun ke bawah dan
menyebrang ke pulau kecil yang biasa dijadikan tempat wisata. Ya Allah aku
semakin gamang, ketakutanku itu semakin menjadi-jadi debar jantungku semakin
kuat, walau wajahku berusaha kunetralkan.
Di
bibir pantai Cerocok ketika semuanya bersepakat untuk nyebrang ke pulau
tiba-tiba perutku mulas, dadaku berdegub lebih kencang dari biasanya dan wajahku pucat penuh kecemasan,
semuanya melihatku mencoba mencari keputusan.
“maaf uun tidak ikut menyebrang”
ucapku lirih sambil tertunduk.
Ya
Allah rasa bersalah kembali menghampiriku, lihatlah wajah kecewa Daway, ia kira
dengan membawaku ke Bukit Langkisau tadi berhasil menakhlukkan ketakukan
terhahadap laut, ia keliru semakin aku mendekati bibir pantai ini sejatinya
ketakutan itu semakin besar semakin bertambah-tambah bahkan ketakutan yang
kelewat batas.
“UN!”
Ketegasan
suaranya membuatku terpaksa menolehkan wajah melihatnya, Daway menatapku penuh
haru, dan aku kaget dengan sapaan singkat yang penuh muatan kekuatan di sana.
Hampir
aku menangis karena takut menyebrang takut melihat boat yang akan membawa kami
takut dengan air laut yang seakan-akan ingin menerkamku menelanku hidup-hidup
takut dengan deburan ombak yang sepertinya marah, ini semua semakin
membuatku...rasanya seperti menghadapi penguji Skripsi, dan sepertinya ketakutan
yang ini lebih parah dari ketakutan menghadapi pembimbing yang killer, ini
ketakutan yang aneh kurasa.
“KALAU UN G MAU IKUT SEMUANYA KITA
BALEK KE BUKIT!”
Kalimat
itu yang membuatku menitikkan air mata. Mana mungkin perjalanan sejauh ini yang
sudah ditempuh berjam-jam hanya akan berakhir dengan ketidak inginannku
menyebrang yang hanya butuh waktu 10 menit, hampir aku terisak.
“un takuuut Way, un takut, hiks”
aku kalah akhirnya aku menangis
“sekarang bukan soal takutnya, un
mau ikut atau ndak?”
Lagi-lagi
Daway membuat pilihan yang harus kupertimbangkan baik-baik. Merelakan ketakutan
yang hanya merugikan aku sendiri artinya cuman aku yng dirugikan, atau
mengikuti ketakutan ku yang artinya aku mengecewakan 11 orang yang lainnya yang
penuh harap bisa melihat dan bermain di pantai yang indah ini.
Lama
kami terdiam hingga akhirnya Aku mengangguk, aku tak mungkin tega menghapus
wajah bahagia 11 orang itu, apalagi wajah Daway yang dari awal keberangkatan
sudah merencanakan perjalanan ini, aku mengangguk dan lihatlah semua wajah itu
berseri kembali, wajah yang berhasil masuk kerelung hati ini memberikan kekuatan
sendiri, wajah mereka membuat ku berhasil menyeret kakiku untuk melangkah ke
boat yang kami tumpangi dan dalam sekejap aku sudah duduk di belakang dengan
tenang.
Semuanya
sudah naik, aku terdiam di belakang, siapa pula yang mau duduk di sampingku
yang tak bisa diajak biacara selama di dalam boat, hanya Daway yang duduk di
depan tersenyum lebar.
“semua akan baik-baik saja un,
selagi kita masih bersama Way jamin itu...!”
Itulah
kata-kata sederhananya yang membuatku akhirnya tersenyum selama di boat, aku
percaya itu, mereka semua tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padaku, justru
mereka semua berhasil membunuh ketakutan terbesar dalam hidupku. Ketakutanku pada
laut dan ketakutanku dengan kendaraan air.
Kalian
memang keluarga yang selalu ada dalam suka dan duka, dalam kebersamaan dan
kesendiriian. Duhai Laut maukah
bersahaabat dengan ku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar