Day
di rumah nomor 32
UniLilis
Setiap
pagi, rumah yang sunyi itu selalu kulalui, rumahnya terletak di complek Caltex
yang sekarang berubah nama menjadi Chevron. Sedangkan rumahku di baratnya,
hanya kumpulan rumah bulatan yang berada di ujung jalan tapi di
tengah-tengahnya berdiri Masjid kammi.
Setiap
pagi sebelum berangkat mengajar aku selalu singgah ke rumah Pak Dang untuk
mengantarkan Ulfi keponakanku yang sekolah di salah satu SD dalam camp Chevron
dan kammi selalu melalui rumah itu. Rumah mewah itu ya rumah yang berpagar Biru
dengan nomor 32 selalu kulauli, bahkan aku sengaja meliriknya lama berharap ada
seseorang yang berdiri gagah dan tersenyum hangat di sana, tapi sayang sudah
setahun ini aku tak pernah melihat seorangpun di sana. Hatiku seringkali kecewa
ketika melewati rumah itu tanpa penghuninya di halaman, kalaupun ada hanya
Tante Nel yang sedang menyiram tanaman dan terkadang ia tidak melihatku lewat
dan lebih seringnya rumah itu kosong.
Rumah
itu memiliki kenangan tersendiri bagiku, di sana ada anak laki-laki yang
berhasil membuatku grogi dan terdiam kaku jika tak sengaja bertemu. Pernah suatu
hari saat emosiku sedang memuncak dan tak terkendali aku memutuskan untuk
meluapkannya dengan mengitari complek menggunakan motor Mio ku, ketika aku
melewati rumah itu, aku sengaja pelan-pelan dan menoleh perlahan ke arah Rumah
itu, tak di sangka, dia, yah dia ada di depan pagar tersenyum hangat kepadaku,
akupun membalasnya sembari berlalu. Apa iya itu dia?
Astaga
itu pertemuan yang tidak disengaja, dia dengan kaos putih dan senyum hangatnya
sanggup membuatku bersemangat selama satu semester ini, walau itu hanya
pertemuan sekali yang hanya hitungan detik. Dengan lugunya, setelah aku melaju
jauh aku teringat untuk kembali lagi ke rumah itu berharap ia masih ada, tetapi
ada debar-debar aneh yang membuatku mengurungkan niat itu.
Day,
yah namanya Dayat anak laki-laki di keluarga tante Nel dan almarhum om Akmal,
kepribadiannya sebagai anak-anak Orang Caltex jauh berbeda dari yang lainnya,
aku melihat ada aura kesolehan di sana, aura kebaikan yang buktinya bisa
menyentuh hatiku yang keras ini.
Day,
teman kecilku di masjid saat kami mengaji bersama Ayahnya k Susi sebenarnya.
Day satu tahun lebih tua dariku dan karena badannya kecil aku tak pernah
menggunakan sapaan abang untuknya, aku memanggilnya Day.
Di
masa kecil kammi, Aku selalu bisa menyelesaikan bacaan-bacaan alqur’an dengan
cepat darinya, mungkin karena Ayahku seorang qori terkenal di Payakumbuh,
sehingga walau ayah tak pernah mengajariku mengaji tetapi aku selalu cepat
menguasai huruf-huruf hijaiyah yang berangkai-rangkai itu. Sebaliknya Ustadz
Nasir selalu menepuk jidatnya ketika giliran Day yang mengaji, ia terlalu
lambat dalam mencerna huruf-huruf itu, sehingga Ustadz Nasir seringkali
menyuruhku mengajari Day mengaji.
Karena
itu kami sering terlihat berdua, sembari berdua ganti-gantian menyetor hafalan
suart-surat pendek. Biasanya setiap Magrib kami sholat berjamaah, setelah
sholat Ustadz Nasir akan mengumpulkan kami, dan mengecek hafalan kami
satu-satu. Setiap malam Day selalu ditemani ayahnya om Akmal ketika sholat di
Masjid sampai sholat Isa selesai.
Setiap
kali setoran hafalan, aku terlalu sering mendapatkan hadiah dari Ustadz Nasir
karena setiap ia bertanya dan menyuruh menyambung ayat, akulah yang duluan
menjawabnya bahkan berhasil menyelesaikan surah yang dibacakan Ustadz Nasir.
Yang lain malah diam, sampai-sampai ustadz Nasir tidak membolehkanku menjawab
lagi. Jadilah aku bersungut-sungut disuruh diam, kulihat di sudut pintu keluar om
akmal sudah tertawa melihat wajahku. Ia memanggilku menyuruhku mendekat, aku
yang secara tidak langsung diusir ustadz Nasir berjalan gontai menuju Om Akmal.
Om
Akmal tersenyum melihatku mendekat, aku duduk di sampingnya, om Akmal mengusap
kepalu bahkan memelukku dengan senangnya, sembari mengatakan sesuatu
“anak
Om satu ni si gadis yang mudah menghafal ayat alqur’an, sini-sini sama om aja
nak,...” om Akmal meledekku, oiya beliau juga sudah menganggapku sebagai
anaknya sendiri beliau juga pengurus Masjid kami, kebetulan beliau bendahara
dan mengurusi kesejahteraan anak Yatim di sekitar rumah kami.
“Gimana
kalau anak gadis om ini duduk di samping Bang Dayat aja, bantuin bang Dayat menyambung
ayat, lumayankan bisa menjawab ntar hadiahnya dari om Akmal aja gimana Nik?”
Aku tipikal orang yang paling bersemangat kalau ditantang, aku langsung mengangguk
bahkan tanpa pamit aku sudah kembali ke lingkaran Ustadz Nasir dan persis duduk
di samping Day yang posisinya pas di perbatasan laki-laki dan perempuan.
K
susi yang berda di sebelah Day langsung menggeser duduknya, k Susi juga sayang
kepadaku karena kami sering main bersama. Dan ide dari Om akmal tadi berhasil
lo, setiap ada soal dari Ustdz Nasir aku membisikkannya ke telinga Day, dan Day
bisa menyambung ayatnya dengan lancar, yang kesenangan malah aku, padahal yang
jawab kan si Day, dan Malam ini yang banyak menjawab soal dari Ustdaz Nasir adalah
aku dan Day. Kami berdua disuruh kedepan dan Muroja’ah (mengulang hafalan)
Surah Al-A’la sebelum azan isa dikumandangkan.
Yah
surat Al-A’la surat yang menjadi kenangan indah bersama Day, surah favoritku terutama di BULAN Ramadhan karena
Ustadz Nasir selalu menbaca surat itu di setiap rakaat pertama sholat witir,
surat itu juga yang sering aku dan Day bawakan sebelum memulai mengaji dengan ustadz
Nasir. Ustadz Nasir seringkali menyruhku berdua Day dalam segala hal, temasuk
menjaga piket sholat Ashar. Anak-anak yang main-main akan dicatat, aku mencatat
yang perempuan dan Day mencatat yang laki-laki, setelah sholat berjamaah
selesai, kami berduapun sholat berjamaah, Day jadi imamnya yah sholat anak-anak
usia 10 tahun.
Aku
baru tahu bahwa ustadz Nasir sengaja menjadikan kami berdua sebagi sebuah tim,
karena permintaan om Akmal. Tapi kenapa om Akmal menyuruh kami seing berdua?
aku tak tahu maksudnya apa. Hingga hari itu yah hari itu. Hari yang tidak ingin
ku ingat sama sekali, hari yang pahit sungguh-sungguh pahit. Hari yang membuat
benteng besar dalam hidup kami berdiri kokoh.
Kamis
Sore, saat kami sedang asyik-asyik mengaji di Masjid salah seorang warga datang
membisikkan sesuatu di telinga ustadz Nasir, aku hanya meliriknya, ustdaz Nasir
terlihat sedih dan memandangku dengan tatapan haru, aku yang memang
memperhatikan beliau jadi terheran-heran. Ustadz Nasir pun berdiri dari duduknya
dan menuju microfon Masjid mengumumkan sesuatu sesuatu yang sore itu berhasil
merobek hatiku.
“Assalamulaikum
Wr Wb... Innalillahi, innalillahi wa inna ilaihi roji’un telah berpulang ke
rahmatullah keluarga kita saudara kita, pengurus masjid kita Bapak, Akmal
Rosyidin beliau meninggal jam 15.00 di rumah sakit Ibnu Sina, sekarang jenazah
sedang dalam perjalan, bagi warga yang ingin bertakziah langsung ke kediaman
beliau di Jalan Kartika INDAH no 32. Terimakasih”
Kalimat
yang diucapkan ustdaz Nasir membuatku menangis sejadi-jadinya, aku sesegukan di
sudut masjid dan hampir tak bisa bernafas lagi, ustadz Nasir memelukku erat
beliau berusaha menenangkanku, tapi sayang karena emosiku yang terlalu
menggebu-gebu akupun pingsan dan dibawa pulang.
Semua
orang sedang sibuk melayat ke rumah om Akmal termasuk babe dan mamak, aku
ditinggalkan dengan abang di rumah, tapi setelah aku terbangun saat itu azan
Magib, aku pingsan cukup lama, yah aku memang tidak bisa menahan kesedihan yang
terlalu berat. Ketika bangun aku langsung ke masjid untuk sholat berjamaah dan
minta ikut bersama Ustadz Nasir untuk ikut ke rumah Day melihat Om Akmal untuk
terakhir kalinya.
Sesampainya
di rumah Day yang bernomor 32 dan berpagar biru itu, aku terdiam kaku tanganku
tetap dipegangi ustadz Nasir, ustadz Nasir sudah seperti Ayah sendiri karena
beliau teman Ayahku semasa di sekolah Madrasah. Di pintu depan aku melihat
jasad om Akmal terbaring kaku, dengan wajahnya yang sedikit menyunggingkan
senyuman, aku berusaha menahan tangisku seperti pesan ustadz Nasir tadi aku
tidak boleh mengeluarkan suara dan menangis yang menjadi-jadi apalagi meratap.
Jadilah
aku hanya berdiri kaku di depan pintu rumah Day, menatap jasad om Akmal, lalu
menoleh ke arah Day yang melihatku dengan tatapan marah, lama kami bertatapan
saling menyapa melalui hati, aku tahu arti tatapan Day, dia marah, kenapa tidak
tadi sore aku datang menguatkannya, bersamanya, bahkan mungkin sekarang bisa
duduk di sebelahnya, tapi akupun tak ingin kalah aku menatapnya dengan tatapan
yang memberi tahu bahwa aku pingsan dan ini baru sadar. Dan Day memalingkan
wajahnya, sontak tiba-tiba air mataku menderas dan hampir sesegukan, untung
saja ustadz Nasir langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sampingnya.
Hari
itu yah hari itu adalah hari terakhirku melihat Day dan anggota keluarganya,
setelah pemakaman om Akmal, Day tidak terlihat mengaji lagi, iapun jarang
terlihat sholat berjamaah lagi, dan rumahnya mulai sering tertutup. Biasanya aku
akan bertemu dengan ibunya Day saat ada yang Nikah, dan aku akan menyalaminya
tanpa bertanya tentang yang lain, sedangkan Day, aku tak pernah melihatnya
lagi. Apa iya Day semarah itu padaku... entahlah terkadang pemikiran anak
laki-laki susah ditebak, atau apa mungkin Day harus menggantikan semua posisi
Ayahnya di rumahnya? Bisa jadi, pikirku kala itu. Tapi... bukankah setiap karyawan
Caltex yang meninggal semua pendidikan anaknya akan ditanggung Caltex, tapi,,,
entahlah.
Hingga
di tahun 2009 saat Ustadz Nasir sakit-sakitan, aku sedang sibuk dengan perkuliahanku
dan kabar yang kudapat Day juga sedang kuliah di UNAND Kampus impian kami saat
masih kecil dulu, yah kampus impian yang hanya berhasil ditakhlukkan oleh Day,
sementara aku berhasil kuliah di kampus islami Madani UIN Suska Riau. Saat
dapat khabar ustadz Nasir kritis aku langsung pulang dari Panam menuju rumah
sakit dan berada di sampingnya, aku ingat apa yang dikatakan ustadz Nasir
kepadaku... dengan suara berat dan senyumannya
“Dulu,
Ustadz sering menyuruh Anik berdua dengan Dayat karena itu permintaan Almarhum
ayahnya Pak Akmal, Pak Akmal sengaja agar kalian berdua bisa dekat, dan dia
berpesan kepada Ustadz Nik, untuk menyimpan amanah ini, tapi ustadz rasa Izroil
sudah di sini sebaiknya amah ini ustadz sampaikan kepadamu Nak, bahwa Pak Akmal
menjodohkan Anik dan Dayat. Berharap bisa melihat kalian berdua bersatu dalam
sebuah ikatan, tapi takdir berkata lain amanah ini hanya dipesankan kepada
ustadz Nak, sementara istri dan keluarganya tidak ada yang tahu, maaf kan
ustadz Nik sungguh maafkan ustadz mu ini Nak...” ustadz Nasir menangis sedih
sembari berzikir.
Aku
hanya tertunduk dalam tangis, setidaknya semenjak kuliah aku bisa mengontril
emosiku.
“Anik
gpp ustadz, biarlah penguasa alam saja yang menunjukkan muaranya kepada Anik
dan Bang Dayat, amanah Om Akmal sudah anik dengar dan Anik emngikhlaskan
semuanya, Anik akan selalu mendoakan beliau dan ustadz,,” Aku sangat tegar
sungguh sangat-sangat tegar, hingga akhirnya aku menyalami ustadz Nasir lalu
pamit keluar.
K
Susi dan keluarga ustadz Nasir masuk, aku dari luar hanya mendengar tangisan k
Susi dan ratapan-ratapan k Susi saat Ustadz Nasir dinyatakan meninggal, aku di
luar sanah hanya banyak-banyak berdo’a dan terpaksa membuka luka di memori
lama, kenapa duhai penguasa alam kenapa...
5
tahun berlalu saat semuanya sudah berubah total, masjid dengan corak dan gaya
baru, aku dengan gelar sarjana Hukum Islamku, k Susi yang sudah menikah, aku yang
sudah mengajar di salah satu sekolah gratis dan sore mengajar MDA di masjid
kami bersama k Susi dan guru yang lainnya, dan semua kenangan yang lalu
dimaknai dengan pemahan yang baru. Dengan aku yang kini.
Satu
hal yang masih saja sama, rumah Day, rumah Day masih bernomor 32 dan masih
berpagar biru serta masih sepi, info yang kudapat dari mamak Day sudah tamat
dari UNAND dan sedang menunggu panggilan kerja. Mamak pun sempat bertemu dengan
ibunya Day.
“Mamak
bilang apa sama Tante Nel mak?” tanyaku pada mamak suatu sore
“Mamak
bilang kalau kalian belum pernah bertemu setelah sekian lama, dan manatau jodoh”
mamak berkata datar,.
Aku
hanya tersenyum,,,,
Biarlah penguasa alam yang
merencanakan pertemuan kita
Dalam keadaan baik-maupun
buruk, asalkan karenaNya
Aku akan bisa menerima itu
Walau tak jarang hanya
kebetulan-kebetulan yang mempertemukan kita
Seperti kilat di langit, hanya
sejenak namun mampu menggetarkan hati
Day, sahabat kecil yang kini
tak pernah kujumpai.
Hanya Berharap pada
ketidaksengajaan yang
Semoga mampu membuat Penguasa
Alam berbaik hati dan mempertemukan kita
Dengan penjelasan masing-masing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar