Kamis, 05 Februari 2015

Cerita Jum'at yang sejuk



Day di rumah nomor 32
UniLilis
Setiap pagi, rumah yang sunyi itu selalu kulalui, rumahnya terletak di complek Caltex yang sekarang berubah nama menjadi Chevron. Sedangkan rumahku di baratnya, hanya kumpulan rumah bulatan yang berada di ujung jalan tapi di tengah-tengahnya berdiri Masjid kammi.
Setiap pagi sebelum berangkat mengajar aku selalu singgah ke rumah Pak Dang untuk mengantarkan Ulfi keponakanku yang sekolah di salah satu SD dalam camp Chevron dan kammi selalu melalui rumah itu. Rumah mewah itu ya rumah yang berpagar Biru dengan nomor 32 selalu kulauli, bahkan aku sengaja meliriknya lama berharap ada seseorang yang berdiri gagah dan tersenyum hangat di sana, tapi sayang sudah setahun ini aku tak pernah melihat seorangpun di sana. Hatiku seringkali kecewa ketika melewati rumah itu tanpa penghuninya di halaman, kalaupun ada hanya Tante Nel yang sedang menyiram tanaman dan terkadang ia tidak melihatku lewat dan lebih seringnya rumah itu kosong.
Rumah itu memiliki kenangan tersendiri bagiku, di sana ada anak laki-laki yang berhasil membuatku grogi dan terdiam kaku jika tak sengaja bertemu. Pernah suatu hari saat emosiku sedang memuncak dan tak terkendali aku memutuskan untuk meluapkannya dengan mengitari complek menggunakan motor Mio ku, ketika aku melewati rumah itu, aku sengaja pelan-pelan dan menoleh perlahan ke arah Rumah itu, tak di sangka, dia, yah dia ada di depan pagar tersenyum hangat kepadaku, akupun membalasnya sembari berlalu. Apa iya itu dia?
Astaga itu pertemuan yang tidak disengaja, dia dengan kaos putih dan senyum hangatnya sanggup membuatku bersemangat selama satu semester ini, walau itu hanya pertemuan sekali yang hanya hitungan detik. Dengan lugunya, setelah aku melaju jauh aku teringat untuk kembali lagi ke rumah itu berharap ia masih ada, tetapi ada debar-debar aneh yang membuatku mengurungkan niat itu.
Day, yah namanya Dayat anak laki-laki di keluarga tante Nel dan almarhum om Akmal, kepribadiannya sebagai anak-anak Orang Caltex jauh berbeda dari yang lainnya, aku melihat ada aura kesolehan di sana, aura kebaikan yang buktinya bisa menyentuh hatiku yang keras ini.
Day, teman kecilku di masjid saat kami mengaji bersama Ayahnya k Susi sebenarnya. Day satu tahun lebih tua dariku dan karena badannya kecil aku tak pernah menggunakan sapaan abang untuknya, aku memanggilnya Day.
Di masa kecil kammi, Aku selalu bisa menyelesaikan bacaan-bacaan alqur’an dengan cepat darinya, mungkin karena Ayahku seorang qori terkenal di Payakumbuh, sehingga walau ayah tak pernah mengajariku mengaji tetapi aku selalu cepat menguasai huruf-huruf hijaiyah yang berangkai-rangkai itu. Sebaliknya Ustadz Nasir selalu menepuk jidatnya ketika giliran Day yang mengaji, ia terlalu lambat dalam mencerna huruf-huruf itu, sehingga Ustadz Nasir seringkali menyuruhku mengajari Day mengaji.
Karena itu kami sering terlihat berdua, sembari berdua ganti-gantian menyetor hafalan suart-surat pendek. Biasanya setiap Magrib kami sholat berjamaah, setelah sholat Ustadz Nasir akan mengumpulkan kami, dan mengecek hafalan kami satu-satu. Setiap malam Day selalu ditemani ayahnya om Akmal ketika sholat di Masjid sampai sholat Isa selesai.
Setiap kali setoran hafalan, aku terlalu sering mendapatkan hadiah dari Ustadz Nasir karena setiap ia bertanya dan menyuruh menyambung ayat, akulah yang duluan menjawabnya bahkan berhasil menyelesaikan surah yang dibacakan Ustadz Nasir. Yang lain malah diam, sampai-sampai ustadz Nasir tidak membolehkanku menjawab lagi. Jadilah aku bersungut-sungut disuruh diam, kulihat di sudut pintu keluar om akmal sudah tertawa melihat wajahku. Ia memanggilku menyuruhku mendekat, aku yang secara tidak langsung diusir ustadz Nasir berjalan gontai menuju Om Akmal.
Om Akmal tersenyum melihatku mendekat, aku duduk di sampingnya, om Akmal mengusap kepalu bahkan memelukku dengan senangnya, sembari mengatakan sesuatu
“anak Om satu ni si gadis yang mudah menghafal ayat alqur’an, sini-sini sama om aja nak,...” om Akmal meledekku, oiya beliau juga sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri beliau juga pengurus Masjid kami, kebetulan beliau bendahara dan mengurusi kesejahteraan anak Yatim di sekitar rumah kami.
“Gimana kalau anak gadis om ini duduk di samping Bang Dayat aja, bantuin bang Dayat menyambung ayat, lumayankan bisa menjawab ntar hadiahnya dari om Akmal aja gimana Nik?” Aku tipikal orang yang paling bersemangat kalau ditantang, aku langsung mengangguk bahkan tanpa pamit aku sudah kembali ke lingkaran Ustadz Nasir dan persis duduk di samping Day yang posisinya pas di perbatasan laki-laki dan perempuan.
K susi yang berda di sebelah Day langsung menggeser duduknya, k Susi juga sayang kepadaku karena kami sering main bersama. Dan ide dari Om akmal tadi berhasil lo, setiap ada soal dari Ustdz Nasir aku membisikkannya ke telinga Day, dan Day bisa menyambung ayatnya dengan lancar, yang kesenangan malah aku, padahal yang jawab kan si Day, dan Malam ini yang banyak menjawab soal dari Ustdaz Nasir adalah aku dan Day. Kami berdua disuruh kedepan dan Muroja’ah (mengulang hafalan) Surah Al-A’la sebelum azan isa dikumandangkan.
Yah surat Al-A’la surat yang menjadi kenangan indah bersama Day, surah  favoritku terutama di BULAN Ramadhan karena Ustadz Nasir selalu menbaca surat itu di setiap rakaat pertama sholat witir, surat itu juga yang sering aku dan Day bawakan sebelum memulai mengaji dengan ustadz Nasir. Ustadz Nasir seringkali menyruhku berdua Day dalam segala hal, temasuk menjaga piket sholat Ashar. Anak-anak yang main-main akan dicatat, aku mencatat yang perempuan dan Day mencatat yang laki-laki, setelah sholat berjamaah selesai, kami berduapun sholat berjamaah, Day jadi imamnya yah sholat anak-anak usia 10 tahun.
Aku baru tahu bahwa ustadz Nasir sengaja menjadikan kami berdua sebagi sebuah tim, karena permintaan om Akmal. Tapi kenapa om Akmal menyuruh kami seing berdua? aku tak tahu maksudnya apa. Hingga hari itu yah hari itu. Hari yang tidak ingin ku ingat sama sekali, hari yang pahit sungguh-sungguh pahit. Hari yang membuat benteng besar dalam hidup kami berdiri kokoh.
Kamis Sore, saat kami sedang asyik-asyik mengaji di Masjid salah seorang warga datang membisikkan sesuatu di telinga ustadz Nasir, aku hanya meliriknya, ustdaz Nasir terlihat sedih dan memandangku dengan tatapan haru, aku yang memang memperhatikan beliau jadi terheran-heran. Ustadz Nasir pun berdiri dari duduknya dan menuju microfon Masjid mengumumkan sesuatu sesuatu yang sore itu berhasil merobek hatiku.
“Assalamulaikum Wr Wb... Innalillahi, innalillahi wa inna ilaihi roji’un telah berpulang ke rahmatullah keluarga kita saudara kita, pengurus masjid kita Bapak, Akmal Rosyidin beliau meninggal jam 15.00 di rumah sakit Ibnu Sina, sekarang jenazah sedang dalam perjalan, bagi warga yang ingin bertakziah langsung ke kediaman beliau di Jalan Kartika INDAH no 32. Terimakasih”


Kalimat yang diucapkan ustdaz Nasir membuatku menangis sejadi-jadinya, aku sesegukan di sudut masjid dan hampir tak bisa bernafas lagi, ustadz Nasir memelukku erat beliau berusaha menenangkanku, tapi sayang karena emosiku yang terlalu menggebu-gebu akupun pingsan dan dibawa pulang.
Semua orang sedang sibuk melayat ke rumah om Akmal termasuk babe dan mamak, aku ditinggalkan dengan abang di rumah, tapi setelah aku terbangun saat itu azan Magib, aku pingsan cukup lama, yah aku memang tidak bisa menahan kesedihan yang terlalu berat. Ketika bangun aku langsung ke masjid untuk sholat berjamaah dan minta ikut bersama Ustadz Nasir untuk ikut ke rumah Day melihat Om Akmal untuk terakhir kalinya.
Sesampainya di rumah Day yang bernomor 32 dan berpagar biru itu, aku terdiam kaku tanganku tetap dipegangi ustadz Nasir, ustadz Nasir sudah seperti Ayah sendiri karena beliau teman Ayahku semasa di sekolah Madrasah. Di pintu depan aku melihat jasad om Akmal terbaring kaku, dengan wajahnya yang sedikit menyunggingkan senyuman, aku berusaha menahan tangisku seperti pesan ustadz Nasir tadi aku tidak boleh mengeluarkan suara dan menangis yang menjadi-jadi apalagi meratap.
Jadilah aku hanya berdiri kaku di depan pintu rumah Day, menatap jasad om Akmal, lalu menoleh ke arah Day yang melihatku dengan tatapan marah, lama kami bertatapan saling menyapa melalui hati, aku tahu arti tatapan Day, dia marah, kenapa tidak tadi sore aku datang menguatkannya, bersamanya, bahkan mungkin sekarang bisa duduk di sebelahnya, tapi akupun tak ingin kalah aku menatapnya dengan tatapan yang memberi tahu bahwa aku pingsan dan ini baru sadar. Dan Day memalingkan wajahnya, sontak tiba-tiba air mataku menderas dan hampir sesegukan, untung saja ustadz Nasir langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sampingnya.
Hari itu yah hari itu adalah hari terakhirku melihat Day dan anggota keluarganya, setelah pemakaman om Akmal, Day tidak terlihat mengaji lagi, iapun jarang terlihat sholat berjamaah lagi, dan rumahnya mulai sering tertutup. Biasanya aku akan bertemu dengan ibunya Day saat ada yang Nikah, dan aku akan menyalaminya tanpa bertanya tentang yang lain, sedangkan Day, aku tak pernah melihatnya lagi. Apa iya Day semarah itu padaku... entahlah terkadang pemikiran anak laki-laki susah ditebak, atau apa mungkin Day harus menggantikan semua posisi Ayahnya di rumahnya? Bisa jadi, pikirku kala itu. Tapi... bukankah setiap karyawan Caltex yang meninggal semua pendidikan anaknya akan ditanggung Caltex, tapi,,, entahlah.
Hingga di tahun 2009 saat Ustadz Nasir sakit-sakitan, aku sedang sibuk dengan perkuliahanku dan kabar yang kudapat Day juga sedang kuliah di UNAND Kampus impian kami saat masih kecil dulu, yah kampus impian yang hanya berhasil ditakhlukkan oleh Day, sementara aku berhasil kuliah di kampus islami Madani UIN Suska Riau. Saat dapat khabar ustadz Nasir kritis aku langsung pulang dari Panam menuju rumah sakit dan berada di sampingnya, aku ingat apa yang dikatakan ustadz Nasir kepadaku... dengan suara berat dan senyumannya
“Dulu, Ustadz sering menyuruh Anik berdua dengan Dayat karena itu permintaan Almarhum ayahnya Pak Akmal, Pak Akmal sengaja agar kalian berdua bisa dekat, dan dia berpesan kepada Ustadz Nik, untuk menyimpan amanah ini, tapi ustadz rasa Izroil sudah di sini sebaiknya amah ini ustadz sampaikan kepadamu Nak, bahwa Pak Akmal menjodohkan Anik dan Dayat. Berharap bisa melihat kalian berdua bersatu dalam sebuah ikatan, tapi takdir berkata lain amanah ini hanya dipesankan kepada ustadz Nak, sementara istri dan keluarganya tidak ada yang tahu, maaf kan ustadz Nik sungguh maafkan ustadz mu ini Nak...” ustadz Nasir menangis sedih sembari berzikir.
Aku hanya tertunduk dalam tangis, setidaknya semenjak kuliah aku bisa mengontril emosiku.
“Anik gpp ustadz, biarlah penguasa alam saja yang menunjukkan muaranya kepada Anik dan Bang Dayat, amanah Om Akmal sudah anik dengar dan Anik emngikhlaskan semuanya, Anik akan selalu mendoakan beliau dan ustadz,,” Aku sangat tegar sungguh sangat-sangat tegar, hingga akhirnya aku menyalami ustadz Nasir lalu pamit keluar.
K Susi dan keluarga ustadz Nasir masuk, aku dari luar hanya mendengar tangisan k Susi dan ratapan-ratapan k Susi saat Ustadz Nasir dinyatakan meninggal, aku di luar sanah hanya banyak-banyak berdo’a dan terpaksa membuka luka di memori lama, kenapa duhai penguasa alam kenapa...
5 tahun berlalu saat semuanya sudah berubah total, masjid dengan corak dan gaya baru, aku dengan gelar sarjana Hukum Islamku, k Susi yang sudah menikah, aku yang sudah mengajar di salah satu sekolah gratis dan sore mengajar MDA di masjid kami bersama k Susi dan guru yang lainnya, dan semua kenangan yang lalu dimaknai dengan pemahan yang baru. Dengan aku yang kini.
Satu hal yang masih saja sama, rumah Day, rumah Day masih bernomor 32 dan masih berpagar biru serta masih sepi, info yang kudapat dari mamak Day sudah tamat dari UNAND dan sedang menunggu panggilan kerja. Mamak pun sempat bertemu dengan ibunya Day.
“Mamak bilang apa sama Tante Nel mak?” tanyaku pada mamak suatu sore
“Mamak bilang kalau kalian belum pernah bertemu setelah sekian lama, dan manatau jodoh” mamak berkata datar,.
Aku hanya tersenyum,,,,

Biarlah penguasa alam yang merencanakan pertemuan kita
Dalam keadaan baik-maupun buruk, asalkan karenaNya
Aku akan bisa menerima itu
Walau tak jarang hanya kebetulan-kebetulan yang mempertemukan kita
Seperti kilat di langit, hanya sejenak namun mampu menggetarkan hati
Day, sahabat kecil yang kini tak pernah kujumpai.
Hanya Berharap pada ketidaksengajaan yang
Semoga mampu membuat Penguasa Alam berbaik hati dan mempertemukan kita
Dengan penjelasan masing-masing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar