Minggu, 06 Desember 2015

Jalan Jodoh



Jalan Jodoh
Cerpen Uni Lilis
Ia menggengam tanganku erat, kami sudah tiba di depan pintu rumahnya, perjalanan menuju Sumatera Barat tentu saja tidak asing bagiku, karena kampung ayah dan ibuku juga di Sumbar hanya saja berbeda kabupaten dengannya, kali ini ia membawaku ke jantungnya Sumatera Barat, ya kota Padang yang terkenal dengan laut nan mensejajari jalan raya. Ada keraguan di hatiku berkunjung ke sebuah kota yang memang sebelumnya belum pernah kujelajahi, aku lebih suka pergi ke Payakumbuh kampung Ayah dan ke Pasaman kampung Amak, terkadang aku singgah di Bukittinggi rumah Makdang.
“Bismillah ya, semoga semuanya baik-baik saja dan mereka mau mendengarkan penjelasan kita.” Ucapnya dengan tegas, sorot matanya menggambarkan bahwa ia memang pemimpin yang bijak dalam mengambil keputusan.
Aku mengangguk, karena hanya ini yang bisa kulakukan, memutuskan menerimanya adalah berarti memutuskan untuk menerima keluarga besarnya juga.
Baru saja kaki ini melangkah ke dalam rumah gadang nan luas itu, aku tercekat, semua anggota keluarganya sudah berkumpul lengkap dengan pakaian adat, berjejer rapi antara lelaki dan perempuan, namun tanpa jamuan, aku teringat saat Ayah bercerita kepadaku,
“Jikalau anggota keluarga besar berbuat sesuatu yang salah, maka semuanya akan turut menyelesaikannya, baik itu pernikahan, sunatan, maupun perpindahan gelar, apalagi pemberian gelar kepada seseorang.”
Dalam hati aku bergumam,
“Ayah, kini seluruh ceritamu terpampang nyata di depan mata, semoga anakmu ini bisa menyelesaikannya Yah..”
Dia memandangiku lembut memberi isyarat untuk duduk, perlahan sembari melempar senyum ke sekitar, akupun duduk di sampingnya, posisi kami pas di depan tetua adat sukunya, sedangkan yang wanita ada di sebelah kananku dan kumpulan pria ada di sebelah kiriku.
Perlahan namun pasti pembicaraan mengarah kepada hubungan kami, banyak kekecewaan yang disampaikan mamak (paman), dan pemangku adat serta keluarga besarnya kepada kami, lihatlah wajah suamiku biasa saja, seolah dia siap berargumen ketika disuruh, beda sekali denganku, aku seringkali mematahkan perkataan seseorang jika itu memang tidak sesaui dengan apa yang aku alami, tetapi dia, dia tahu kapan harus bicara.
Hampir saja air mata menetes melihat kenyataan ini, terbayang saat bagaimana ia dengan beraninya menikahiku.
Ahad, saat semua keperluan pernikahan sudah disiapkan, semua tetamu sudah datang, dan segala sesuatu sudah selesai, pukul 10.00 pagi saat jam akad nikah akan dimulai, semuanya hampir hancur.
Seseorang membisikkan sesuatu di telinga ayahku, membuat wajahnya merah padam, tensi darahnya naik seketika, namun masih bisa ia kendalikan.
“Berani laki-laki itu mempermalukan keluarga besar kita, tidak tahu adat!!!” Geram ayah.
Terlanjur, suara marah ayah terdengar di sound yang terpasang di masjid tempat pelaksanaanakad nikah.
Pak penghulu yang sedari pagi menunggu terlihat bingung dan panik,
“Jadi bagaimana ini Pak? Apakah bisa dilanjutkan, atau kita batalkan saja?”
Aku mengerti apa yang sedang terjadi, utusan keluarga mempelei pria membatalkan pernikahan dan tidak menuntut apa-apa dari kami, mereka memutuskannya secara sepihak, tepat pagi ini saat akad nikah akan segera dimulai.
Kalian tentu tahu apa yang kurasa, menjadi wanita malang yang gagal di hari pernikahannya sendiri, berapa banyak kemubaziran dan kesia-siaan yang dilakukan, saat itulah, yah saat semuanya sedang panik dan anggota keluarga yang shock, dia datang dengan tenang kepada Ayahku, mengucapkan sesuatu yang tak bisa kubendung bahagianya.
“Biar saya yang berakad pagi ini.” Jawabnya dengan mantap.
Ayahku terdiam, amarahnya masih tersisa, lalu melirikku, mencoba meminta jawaban, aku mengangguk cepat, karena mungkin seperti inilah jalan jodohku.
Hingga semuanya berjalan lancar, walau topik tentang pria pengecut itu berseliweran di acara pernikahan.
Dan sepanjang resepsi, ia menggenggam tanganku, memberiku kekuatan, meyakinkanku jika semua akan baik-baik saja.
“Kenapa Am tidak bermufakat dengan kami jika mengambil keputusan yang sangat sakral dalam hidup Am?”
Pertanyaan dari Pamannya membuat lamunanku buyar, nada tegas penuh getaran itu pertanda ada amarah yang ditahan.
“Am tahu Am salah Mak, tetapi Am punya alasan yang harus Am jelaskan, Am tidak mau keluarga besar kita salah paham, bolehkah Am menjelaskannya Mak?” Suamiku berkata dengan bijak.
Semua kepalapun mengangguk, sedangkan aku dari tadi tertunduk.
“Sungguh, Am paham dengan adat istiadat keluarga kita Mak, Ayah dan ibu, Am juga paham bagaimana adat kita mengajarkan tentang memuliakan saudara wanita kita, bahkan agama juga mengajarkannya, Mamak dan Angku(Paman) mengirimkan Am kepesantren, juga agar Am paham agama, Am tahu apa yang harus Am lakukan dan apa yang harus Am putuskan, dan jika Am salah dalam bertindak, Am mohon maaf, jika Am mengecewakan, Am juga menyembah ampun, tapi semuanya akan Am jelaskan.” Aku mulai sesegukan di sampingnya, sekuat itukah lelaki ini, tidak ada getar keraguan bahkan ketakutan di dalam dirinya, sama siapnya saat ia berbicara dengan ayahku mengucap janji suci yang mungkin tak sesuai dengan impiannya.
“Sebenarnya Am sudah lama mencintai istri Am ini, hanya saja Am belum berani membicarakannya kepada keluarga besar dan niat baik Am pun kandas, saat ternyata istri Am sudah dipinang orang lain, laki-laki yang ternyata teman baik Am sendiri, Am sungguh tidak akan lancang meminang wanita di atas pinangan laki-laki lain, maka Am mengurungkan niat itu, bagi Am mungkin istri Am bukan jodoh Am, ternyata di hari akad nikah, teman Am membatalkan pernikahan ini secara sepihak, Mamak, Ayah dan Angku tentu tahu betapa malunya keluarga besar mereka? Mereka juga sama dengan kita, beradat sama dengan kita, hanya berbeda kota, dan jika hal itu nantinya menimpa saudara perempuan Am? Apa yang bisa kita lakukan, maka Am dengan Bismillah memberanikan diri menyelamatkan marwah mereka, mungkin seperti inilah jalan jodoh Am, yang sudah Allah gariskan, ini yang bisa Am lakukan sebagai putra keturunan Minangkabau, Am tidak tahu harus bagaimana, Am hanya memohon restu dari keluarga besar Am yang terbilang bijaksana, sudilah menerima istri Am yang sah sebagai bagian dari keluarga besar ini, Am mohon ampun kepada Allah dan memohon maaf kepada snaak saudara, handaitaulan dari keluarga besar ini, sembah sujud Am haturkan mengiba maaf dan meminta restu dari semuanya...” Dan iapun mulai sesegukan, sembari menundukkan sedikit badannya mengatupkan kedua tangan, meminta restu.
Saat itulah ya saat itulah tumpah sudah air mataku melihat pemangku adat yang sedari dari menatap kami, merangkulnya dengan bangga, mengusap air mata, dan mengelus kepala suamiku.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, duhai kemenakan mamak yang bijak, semuanya sudah terang bahwa seperti inilah Allah mentakdirkan jalan jodoh untukmu Nak..” Ucap beliau dengan lembut.
Aku menyeka ujung mataku sembari melihat ibunya yang sedari tadi sembab, beliau berjalan kearahlu, lalu memeluk dan menciumku dengan kasih sayang, aku merasakan pelukan kehangatan ibu yang luar biasa, yang berhasil mendidik anak laki-lakinya dengan bijaksana.
Amirul Mukminin, dialah sang imam hidupku, lelaki yang tak begitu kukenal, lelaki yang lebih muda dariku, namun kedewasaannya mengalahkan umurnya, seharusnya ia berhak mendapatkan yang lebih baik dariku, namun perkara jodoh siapa pula yang tahu.

(071215, uun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar