Kamis, 23 April 2015

Setulus Cinta Pak Adri



Setulus Cinta Pak Ahmad Adri Rifa’i
Senja yang membukus kota Pekanbaru hari ini membingungkanku, bagaimana tidak sebagian awan masih terang sebagian lagi mendung yang entah kapan memuntahkan air.
Aku menatap lamat-lamat awan di depan pintu rumah, mencoba menerawang semua yang telah kulewati hingga kini. Kulihat ada pesan bbm di hp ku.
“Mohon do’anya untuk Dosen Terbaik Syariah Ayah terbaik kita, Bapak Ahmad Adri Rifa’i beliau dirujuk ke rumah sakit Malaka malam ini karena penyakitnya.”
Aku tertegun, bagaimana tidak, sudah lama beliau bertahan dengan penyakitnya itu, bahkan ia menjadi pasien PRIORITAS di Rumah sakit MALAKA, Aku mem bc sms tadi ke kawan-kawan dan sahabat rohisku di Fakultas, FKMASYA (Forum Kajian Mahasiswa Syari’ah), semuanya juga berduka, karena beliau terkenal dekat dengan siapapun, suku apapun dan semester berapapun.
Aku juga masih ingat saat ukh Anjar sahabatku di fakultas beda jurusan sore-sore berkata,
“ane mau ke rumah pak Adri ukh, minta tandatangan beliau katanya di rumahnya saja karena beliau suka sakit ukh...”
“sakit..? dosen sesemangat itu sakit ukh? Eh antum becanda kan? Ane lihat bapak tu selalu semangat ukh, tanpa beban, wajah cerianya seolah siap membagi ilmu kepada mahasiswa-mahasiswanya, dan antum bilang beliau sakit? Eh, antum becanda ni?” balasku
Anjar memperbaiki posisi duduknya, aku pun sudah menatapnya bersiap mendengarkan penjelasan apapun dari ukhti ku ini.
“Beliau sakit tumor ukh, di kepala!” aku tertegun bagaimana mungkin, Anjar demi melihat wajah terkejutku langsung bercerita.
“sudah lama ukh, bahkan sering masuk rumah sakit, dan kalau sudah sangat parah akan dirujuk ke Malaka, terkadang dalam batuknya keluar darah ukh, dan keringatnya juga tak jarang berwarna merah...!”
Terlihat raut duka di wajah Anjar, aku paham kali ini, tapi aku tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang yang penuh semangat bahkan lebih semangat daripada mahasiswa yang akan berangkat demo memiliki penyakit yang paling ditakuti itu.
“beliau tidak mau dikasihani ukh, beliau bahkan tak menyinggung penyakitnya sedikitpun, beliau selalu terlihat sehat, sangat sehat bahkan, dan ia tidak ingin buang-buang waktu di masa sehatnya, ia tetap mengajar ukh, antum ingat sore itu saat penghitungan surat suara pemilihan gubernur fakultas kita?” anjar menatapku
Hei, tentu saja aku ingat itu agenda favoritku menunggu penghitungan suara, aku mengangguk dan Anjar melanjutkan ceritanya.
“beliau sama sekali tidak terganggu dengan suara-suara gaduh para pendukung calon, beliau bahkan mengeluarkan suara lebih semangat dari supporter kandidat, dan antum sempat tersenyum kan saat beliau melihat keluar?” Anjar tahu saja kalau aku suka mengganggunya kuliah
“iya ukh, dan beliau tersenyum, tidak marah, mukanya bersahabat ukh...”
Aku mengusap mataku yang mulai basah, di depan pintu aku melihat awan semakin menghitam pertanda jutaan air akan turun ke bumi Allah yang gersang ini, aku membuka androidku, kali ini aku buka WA Grupku keluarga FKMASYA,,, isinya alumni dan adek-adek tigkat akhir, satu-satu kulihat balasan WA itu isinya tentang Pak Adri yang selalu menyemangati skripsi kami, hampir semua dari kami mendapatkan nasehat dari beliau, mendapatkan semangat mendapatkan spirit juang yang menyentuh jiwa.
Kali ini aku teringat saat beliau untuk pertama kalinya ku sapa, karena berbeda jurusan aku tidak pernah diajar oleh beliau, aku jurusan hukum islam, dan yang lain ekonomi islam, beliau sama sekali tak pernah mengajar di kelasku.
Untuk pertama kalinya saat aku sedang merenung di depan ruangan pembimbingku di lantai dua ruang fakultas, sebelah kanan tangga tengah, aku tertunduk mulai bosan menunggu pembimbing yang tak kunjung datang, hingga saat aku menoleh ke kiri, ada senyuman indah dari pak Adri yang baru saja melewati tangga dan menuju ruang dosen yang kebetulan bersisian satu ruang dengan ruang pembimbingku.
Yah untuk pertama kalinya aku merasa beliau adalah jalan dalam skripsi ku ini, tak lama saat beliau menuju ruangan dosen ada sosok wanita mungil yang mengikutinya, yah aku kenal siapa itu itu Mi’ul pengurus bem fakultas periode bang Alpi dan tentu saja kami akrab, selain sering berkumpul di sekre bem fakultas, kami juga sering terlibat kepanitiian yang sama dan satu lagi kami sama-sama orang Minang dan point ini yang penting.
Mi’ul memanggilku dengan sebutan bundo, samalah sama anak bem yang lain, aku penasaran kok Mi’ul ada di belakang pak Adri, setelah kuperhatikan ternyata Mi’ul lagi bimbingan sama beliau, aku masih memperhatikan mereka, terlihat Mi’ul sesekali tertawa dan pak Adri juga terlihat penuh tawa, dalam hati ku bergumam
“iyakah bapak ni sakit? Tak ada tanda-tanda sedikitpun kalau ia sakit”
30 menit berlalu, Mi’ul keluar dengan wajah riang, jarang-jarang aku melihat wajah riang itu, apalagi kalau setelah keluar dari ruangan pembimbingku. Mi’ul mendekatiku
“bundo... manga bundo mamanuang se di siko? Alun tibo pembimbiang bundo lai?” nah itu uniknya Mi’ul selalu berbahasa minang denganku, seolah Sumbar itu di depan mata.
“alun lai.. alah duo jam bundo di siko, alah khatam lo ngaji sa juz alun tibo ibuk tu..” balasku
“saba-saba jo lah bundo, ibuktu kan sibuk...” Mi’ul berusaha menyemangati.
“eh, ngomong-ngomong apo judul skripsi bundo? Kok bisa ibuk pulo pembimbiangnyo bun?” Mi’ul bertanya penasaran.
“masalah harato pusako minangkabau ditinjau menurut hukum islam...” jawabku sedikit malas, tapi ekspresi Mi’ul sebaliknya, ia refleks menepuk pundaktu dan berkata,
“ondeh bundo.... konsultasi ka pak Adri jo lah bun,,, apaktu urang minang tulen bun, skripsi apaktu tentang harato-harato dalam islam dan minang kabau ndak salah, capek lah bundo, bia ul kawan kan, mumpuang apaktu masih di fakultas bun, keceknyo tadi ado nan nio bimbiangan tapi alun tibo lai, yok bun, ul kawan kan..”
Entah apa yang menarik kakiku tapi aku semangat mengikuti Mi’ul lalu berjalan di belakangnya dan tiba di depan meja pak Adri. Aku tersenyum, beliau pun membalas senyumanku ramah, kamipun duduk di depan pak Adri
“Apo carito ko ul?”
“ko pak ha, kawan di bem, bundo lilis, skripsinyo tentang harato pusako di minang pak, pembimbingnyo PD 1, manotau bisa konsul ka apak...” Mi’ul lancar sekali bahasa minagnya ke pak Adri.
“iyo pak, ambo alah mancari referensi tantang harato pusako ko, indak basobok doh pak, antah di buku mano nan ado pak..” aku langsung akrab dengan beliau dan berusaha menggunakan bahasa kebanggaan tanah kelahiranku, Minangkabau.
Aku menyerahkan skripsi yang akan kuhantarkan ke pembimbingku, pak Adri menerimanya dan menbaca-bacanya,,,sesekali beliau tersenyum, ah terlihat sehat sekali pak Adri ini, atau ia tipikal orang yang pandai menyembunyikan penyakitnya.
“pantaslah PD 1 pambimbiangnyo, ibuk tu tesisnyo tantang iko juo lis, tapi kajiannyo di Kampar, Bangkinang masih sarumpunlah jo Minangkabau, tapi sabananyo beda jauh... kiniko kalau nio referensi cari mahasiswi ambo namonya Nur, adiak tingkek lilis tu, inyo maminjam skripsi urang paliang ganteng di syariah ko, skripsi Ahmad Adri Rifa’i tentang harta dalam Islam dan harta dalam Minangkabau, di sinan banyak referensinyo,” aku tersenyum dan tertegun demi mendengar skripsi beliau dipinjam mahasiswa, ah mulianya hatimu pak.
“iyo pak, beko kalau basobok ambo pinjam tu ambo fotokopi nan paralunyo sajo, kalau untuk buku-buku dan referensi di ma ambo mancarinyo pak?”
“itu, iyo agak susah saketek tapi ado ciek di pustaka rektorat awak, kalau ndak cari koleksi di rumah Buya Hamka, kalau ndak kaliliangan pasa di Padang jo Bukiktinggi banyak tu nan manjua buku dan artikel lamo terkait harato pusako di Minangkabau, beko bandiang se jo hukum Islamnyo ba’a.!”
Untuk pertama kalinya aku menemukan cahaya dalam menulis skripsiku, ya Allah baiknya hatimu pak Adri.
“iyo pak, ambo cubo, tapi kalau bisuak-bisuak ambo manggaduah apak ndk ba’a kan pak?” aku bertanya ragu-ragu, Mi’ul di sampingku sudah tertawa duluan.
“hiduik ambo ko untuak mahasiswa lis, makonyo ambo jadi dosen, digaduah mahasiswa kalau demi skrispsi dan belajar ambo terbuka, asalkan tidak malam, itu waktu ambo dan keluarga, jangan sungkan-sungkan apo lai awak urang minangko, tolong manolong di rantau urang, jan pernah maraso sendiri, harus kuek, dan bertahan, jan mudah putus asa, Buya Hamka sajo selalu optimis dalam hiduiknyo kok awan nan anak cucuku harus maniru semangat juangnyo...” nasehat beliau kepadaku dan Mi’ul
Malam mulai tiba, aku yang baru selesai sholat magrib masih mendengar androidku berbunyi, kali ini sms dari adek-adek tingkat akhir fakultasku, pesan dari dek ulif,
“kata bapak kak, senang rasanya saat sakit ada sms penyemangat dari kerabat dan para mahasiswa, walaupun kadang di mulut ini masih menahan darah, tapi mendapat sms penyemangat itu rasanya indah sekali walau tak bisa membalasnya satu-satu”
Demi melihat sms dari dek ulif di grup WA aku menangis, sudah tak bisa kutahan tangisku, nyatanya pertanda alam harini menyuruhku berduka, sungguh setelah menyelesaikan S.1 aku tak pernah bertemu pak Adri, aku langsung fokus di dunia kerja dan kembali ke asalku Rumbai, jarang aku ke Panam yang hanya berjarak 45 menit itu. Ya Allah bagimana mungkin dosen terbaik bisa  Engkau uji dengan penyakit mematikan itu..
Aku mencatat no pak Adri, tanpa berfikir panjang ku sms ia, sungguh aku ingin ia tahu kalau kami semua mendoakannya memberi semangat padanya, ku kirim sms penyemangat kepada beliau.
“Assalmkm, apak, apo kaba? Iko lilis, apak semangaik taruih yo pak, lilis dan kawan-kawan selalu mandoakan apak, adiak-adiak dan kawan-kawan Fkmasya jua mendoakan apak pak, kini lilis mancoba menjadi penulis pak walaupun fiksi tapi lilis mancoba meniru Buya Hamka pak, penulis yang hebat, suatu hari lilis nio basobok jo apak dan membawa hadih buku karya lilis pak, sungguah pak, semangaik yo pak, kami selalu mandoakan apak..”
Dalam wajah mendung ku kirim sms itu, biarlah tak ada balasan tak mengapa, bagiku alfatihah sebaik-baik ayat yang kukirimkan untuk beliau, hanya doa yang bisa kukirimkan untuknya saat ini.
Lama aku menangis, mengenang semua tentang kebaikan pak Adri, bahasa minangnya yang khas, perjalan hidupnya, nasehatnya saat kami putus asa tentang skripsi dan pasca kuliah,
“jadilah sarjana yang berbudi luhur, suka menolong dan tak memandang pekerjaan asalkan halal dan layak untuk dikerjakan, kalau wanita jadilah guru utama dalam rumah tangga nantinya, kerjasama dengan suami...” nasehat beliau yang terngiang di telingaku.
Aku pernah nyeletuk saat beliau memberi nasehat
“tapi wanita Minangko ditakuti laki-laki pak, hee bantauk ado lo nan nio ka ambo pak..” pak Adripun tersenyum
“wanita Minang itu special lilis, tidak sembarang laki-laki yang bisa memilikinya, wanita Minang itu punya kekuatan membangun keluarga yang tangguh, lihatlah ibu apak, atau amak-amak awak bundo kandung, yang tegar, kuat dan berhati lembut, jangan ragu dan takut hanya yang terbaik yang akan mendapatkan yang terbaik, justru bersyukurlah menjadi wanita Minang karena anakmu kelak akan mndapatkan suku darimu..” ya Allah pak adri
Kecintaan Pak Adri pada tanah kelahirannya membuatku semakin salut terhadap beliau
Tak lama aku mendapat sms balasan dan ya Allah itu dari beliau yang isinya
“terimakasih lilis, aamiin, semoga sukses, salam dengan kawan-kawan..”
Aku pun menangis haru, bagaimana bisa ya Allah dalam keadaan sakit seperti itu, sms yang tidak penting dariku dan dari teman-teman yang lain sempat beliau balas...
Sungguh baiknya engkau pak Adri
Semoga Allah mengangkat penyakitmu dan mempermudah urusanmu pak
Titip doa untuk kesembuhan beliau ya kawan-kawan
(uun230415)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar