Setulus
Cinta Pak Ahmad Adri Rifa’i
Senja
yang membukus kota Pekanbaru hari ini membingungkanku, bagaimana tidak sebagian
awan masih terang sebagian lagi mendung yang entah kapan memuntahkan air.
Aku
menatap lamat-lamat awan di depan pintu rumah, mencoba menerawang semua yang
telah kulewati hingga kini. Kulihat ada pesan bbm di hp ku.
“Mohon do’anya untuk Dosen Terbaik
Syariah Ayah terbaik kita, Bapak Ahmad Adri Rifa’i beliau dirujuk ke rumah
sakit Malaka malam ini karena penyakitnya.”
Aku
tertegun, bagaimana tidak, sudah lama beliau bertahan dengan penyakitnya itu,
bahkan ia menjadi pasien PRIORITAS di Rumah sakit MALAKA, Aku mem bc sms tadi
ke kawan-kawan dan sahabat rohisku di Fakultas, FKMASYA (Forum Kajian Mahasiswa
Syari’ah), semuanya juga berduka, karena beliau terkenal dekat dengan siapapun,
suku apapun dan semester berapapun.
Aku
juga masih ingat saat ukh Anjar sahabatku di fakultas beda jurusan sore-sore
berkata,
“ane mau ke rumah pak Adri ukh,
minta tandatangan beliau katanya di rumahnya saja karena beliau suka sakit
ukh...”
“sakit..? dosen sesemangat itu
sakit ukh? Eh antum becanda kan? Ane lihat bapak tu selalu semangat ukh, tanpa
beban, wajah cerianya seolah siap membagi ilmu kepada mahasiswa-mahasiswanya,
dan antum bilang beliau sakit? Eh, antum becanda ni?”
balasku
Anjar
memperbaiki posisi duduknya, aku pun sudah menatapnya bersiap mendengarkan
penjelasan apapun dari ukhti ku ini.
“Beliau sakit tumor ukh, di
kepala!” aku tertegun bagaimana mungkin, Anjar demi melihat
wajah terkejutku langsung bercerita.
“sudah lama ukh, bahkan sering
masuk rumah sakit, dan kalau sudah sangat parah akan dirujuk ke Malaka,
terkadang dalam batuknya keluar darah ukh, dan keringatnya juga tak jarang
berwarna merah...!”
Terlihat
raut duka di wajah Anjar, aku paham kali ini, tapi aku tidak habis pikir, bagaimana
bisa seorang yang penuh semangat bahkan lebih semangat daripada mahasiswa yang
akan berangkat demo memiliki penyakit yang paling ditakuti itu.
“beliau tidak mau dikasihani ukh,
beliau bahkan tak menyinggung penyakitnya sedikitpun, beliau selalu terlihat
sehat, sangat sehat bahkan, dan ia tidak ingin buang-buang waktu di masa
sehatnya, ia tetap mengajar ukh, antum ingat sore itu saat penghitungan surat
suara pemilihan gubernur fakultas kita?” anjar menatapku
Hei,
tentu saja aku ingat itu agenda favoritku menunggu penghitungan suara, aku
mengangguk dan Anjar melanjutkan ceritanya.
“beliau sama sekali tidak terganggu
dengan suara-suara gaduh para pendukung calon, beliau bahkan mengeluarkan suara
lebih semangat dari supporter kandidat, dan antum sempat tersenyum kan saat
beliau melihat keluar?” Anjar tahu saja kalau aku suka
mengganggunya kuliah
“iya ukh, dan beliau tersenyum,
tidak marah, mukanya bersahabat ukh...”
Aku
mengusap mataku yang mulai basah, di depan pintu aku melihat awan semakin menghitam
pertanda jutaan air akan turun ke bumi Allah yang gersang ini, aku membuka
androidku, kali ini aku buka WA Grupku keluarga FKMASYA,,, isinya alumni dan
adek-adek tigkat akhir, satu-satu kulihat balasan WA itu isinya tentang Pak
Adri yang selalu menyemangati skripsi kami, hampir semua dari kami mendapatkan
nasehat dari beliau, mendapatkan semangat mendapatkan spirit juang yang
menyentuh jiwa.
Kali
ini aku teringat saat beliau untuk pertama kalinya ku sapa, karena berbeda
jurusan aku tidak pernah diajar oleh beliau, aku jurusan hukum islam, dan yang
lain ekonomi islam, beliau sama sekali tak pernah mengajar di kelasku.
Untuk
pertama kalinya saat aku sedang merenung di depan ruangan pembimbingku di
lantai dua ruang fakultas, sebelah kanan tangga tengah, aku tertunduk mulai
bosan menunggu pembimbing yang tak kunjung datang, hingga saat aku menoleh ke
kiri, ada senyuman indah dari pak Adri yang baru saja melewati tangga dan
menuju ruang dosen yang kebetulan bersisian satu ruang dengan ruang
pembimbingku.
Yah
untuk pertama kalinya aku merasa beliau adalah jalan dalam skripsi ku ini, tak
lama saat beliau menuju ruangan dosen ada sosok wanita mungil yang
mengikutinya, yah aku kenal siapa itu itu Mi’ul pengurus bem fakultas periode bang
Alpi dan tentu saja kami akrab, selain sering berkumpul di sekre bem fakultas,
kami juga sering terlibat kepanitiian yang sama dan satu lagi kami sama-sama
orang Minang dan point ini yang penting.
Mi’ul
memanggilku dengan sebutan bundo, samalah sama anak bem yang lain, aku
penasaran kok Mi’ul ada di belakang pak Adri, setelah kuperhatikan ternyata Mi’ul
lagi bimbingan sama beliau, aku masih memperhatikan mereka, terlihat Mi’ul
sesekali tertawa dan pak Adri juga terlihat penuh tawa, dalam hati ku bergumam
“iyakah bapak ni sakit? Tak ada
tanda-tanda sedikitpun kalau ia sakit”
30
menit berlalu, Mi’ul keluar dengan wajah riang, jarang-jarang aku melihat wajah
riang itu, apalagi kalau setelah keluar dari ruangan pembimbingku. Mi’ul
mendekatiku
“bundo... manga bundo mamanuang se
di siko? Alun tibo pembimbiang bundo lai?” nah itu uniknya
Mi’ul selalu berbahasa minang denganku, seolah Sumbar itu di depan mata.
“alun lai.. alah duo jam bundo di
siko, alah khatam lo ngaji sa juz alun tibo ibuk tu..”
balasku
“saba-saba jo lah bundo, ibuktu kan
sibuk...” Mi’ul berusaha menyemangati.
“eh, ngomong-ngomong apo judul
skripsi bundo? Kok bisa ibuk pulo pembimbiangnyo bun?”
Mi’ul bertanya penasaran.
“masalah harato pusako minangkabau
ditinjau menurut hukum islam...” jawabku sedikit malas,
tapi ekspresi Mi’ul sebaliknya, ia refleks menepuk pundaktu dan berkata,
“ondeh bundo.... konsultasi ka pak
Adri jo lah bun,,, apaktu urang minang tulen bun, skripsi apaktu tentang harato-harato
dalam islam dan minang kabau ndak salah, capek lah bundo, bia ul kawan kan,
mumpuang apaktu masih di fakultas bun, keceknyo tadi ado nan nio bimbiangan
tapi alun tibo lai, yok bun, ul kawan kan..”
Entah
apa yang menarik kakiku tapi aku semangat mengikuti Mi’ul lalu berjalan di belakangnya
dan tiba di depan meja pak Adri. Aku tersenyum, beliau pun membalas senyumanku
ramah, kamipun duduk di depan pak Adri
“Apo carito ko ul?”
“ko pak ha, kawan di bem, bundo
lilis, skripsinyo tentang harato pusako di minang pak, pembimbingnyo PD 1,
manotau bisa konsul ka apak...” Mi’ul lancar sekali
bahasa minagnya ke pak Adri.
“iyo pak, ambo alah mancari
referensi tantang harato pusako ko, indak basobok doh pak, antah di buku mano nan ado pak..” aku
langsung akrab dengan beliau dan berusaha menggunakan bahasa kebanggaan tanah
kelahiranku, Minangkabau.
Aku
menyerahkan skripsi yang akan kuhantarkan ke pembimbingku, pak Adri menerimanya
dan menbaca-bacanya,,,sesekali beliau tersenyum, ah terlihat sehat sekali pak Adri
ini, atau ia tipikal orang yang pandai menyembunyikan penyakitnya.
“pantaslah PD 1 pambimbiangnyo,
ibuk tu tesisnyo tantang iko juo lis, tapi kajiannyo di Kampar, Bangkinang
masih sarumpunlah jo Minangkabau, tapi sabananyo beda jauh... kiniko kalau nio
referensi cari mahasiswi ambo namonya Nur, adiak tingkek lilis tu, inyo
maminjam skripsi urang paliang ganteng di syariah ko, skripsi Ahmad Adri Rifa’i
tentang harta dalam Islam dan harta dalam Minangkabau, di sinan banyak
referensinyo,” aku tersenyum dan tertegun demi
mendengar skripsi beliau dipinjam mahasiswa, ah mulianya hatimu pak.
“iyo pak, beko kalau basobok ambo
pinjam tu ambo fotokopi nan paralunyo sajo, kalau untuk buku-buku dan referensi
di ma ambo mancarinyo pak?”
“itu, iyo agak susah saketek tapi
ado ciek di pustaka rektorat awak, kalau ndak cari koleksi di rumah Buya Hamka,
kalau ndak kaliliangan pasa di Padang jo Bukiktinggi banyak tu nan manjua buku
dan artikel lamo terkait harato pusako di Minangkabau, beko bandiang se jo
hukum Islamnyo ba’a.!”
Untuk
pertama kalinya aku menemukan cahaya dalam menulis skripsiku, ya Allah baiknya
hatimu pak Adri.
“iyo pak, ambo cubo, tapi kalau
bisuak-bisuak ambo manggaduah apak ndk ba’a kan pak?”
aku bertanya ragu-ragu, Mi’ul di sampingku sudah tertawa duluan.
“hiduik ambo ko untuak mahasiswa
lis, makonyo ambo jadi dosen, digaduah mahasiswa kalau demi skrispsi dan
belajar ambo terbuka, asalkan tidak malam, itu waktu ambo dan keluarga, jangan
sungkan-sungkan apo lai awak urang minangko, tolong manolong di rantau urang,
jan pernah maraso sendiri, harus kuek, dan bertahan, jan mudah putus asa, Buya
Hamka sajo selalu optimis dalam hiduiknyo kok awan nan anak cucuku harus maniru
semangat juangnyo...” nasehat beliau kepadaku dan Mi’ul
Malam
mulai tiba, aku yang baru selesai sholat magrib masih mendengar androidku berbunyi,
kali ini sms dari adek-adek tingkat akhir fakultasku, pesan dari dek ulif,
“kata bapak kak, senang rasanya
saat sakit ada sms penyemangat dari kerabat dan para mahasiswa, walaupun kadang
di mulut ini masih menahan darah, tapi mendapat sms penyemangat itu rasanya
indah sekali walau tak bisa membalasnya satu-satu”
Demi
melihat sms dari dek ulif di grup WA aku menangis, sudah tak bisa kutahan
tangisku, nyatanya pertanda alam harini menyuruhku berduka, sungguh setelah
menyelesaikan S.1 aku tak pernah bertemu pak Adri, aku langsung fokus di dunia
kerja dan kembali ke asalku Rumbai, jarang aku ke Panam yang hanya berjarak 45
menit itu. Ya Allah bagimana mungkin dosen terbaik bisa Engkau uji dengan penyakit mematikan itu..
Aku
mencatat no pak Adri, tanpa berfikir panjang ku sms ia, sungguh aku ingin ia
tahu kalau kami semua mendoakannya memberi semangat padanya, ku kirim sms
penyemangat kepada beliau.
“Assalmkm, apak, apo kaba? Iko
lilis, apak semangaik taruih yo pak, lilis dan kawan-kawan selalu mandoakan
apak, adiak-adiak dan kawan-kawan Fkmasya jua mendoakan apak pak, kini lilis
mancoba menjadi penulis pak walaupun fiksi tapi lilis mancoba meniru Buya Hamka
pak, penulis yang hebat, suatu hari lilis nio basobok jo apak dan membawa hadih
buku karya lilis pak, sungguah pak, semangaik yo pak, kami selalu mandoakan
apak..”
Dalam
wajah mendung ku kirim sms itu, biarlah tak ada balasan tak mengapa, bagiku
alfatihah sebaik-baik ayat yang kukirimkan untuk beliau, hanya doa yang bisa
kukirimkan untuknya saat ini.
Lama
aku menangis, mengenang semua tentang kebaikan pak Adri, bahasa minangnya yang khas,
perjalan hidupnya, nasehatnya saat kami putus asa tentang skripsi dan pasca
kuliah,
“jadilah sarjana yang berbudi
luhur, suka menolong dan tak memandang pekerjaan asalkan halal dan layak untuk
dikerjakan, kalau wanita jadilah guru utama dalam rumah tangga nantinya,
kerjasama dengan suami...” nasehat beliau yang terngiang di
telingaku.
Aku
pernah nyeletuk saat beliau memberi nasehat
“tapi wanita Minangko ditakuti
laki-laki pak, hee bantauk ado lo nan nio ka ambo pak..”
pak Adripun tersenyum
“wanita Minang itu special lilis, tidak
sembarang laki-laki yang bisa memilikinya, wanita Minang itu punya kekuatan
membangun keluarga yang tangguh, lihatlah ibu apak, atau amak-amak awak bundo
kandung, yang tegar, kuat dan berhati lembut, jangan ragu dan takut hanya yang
terbaik yang akan mendapatkan yang terbaik, justru bersyukurlah menjadi wanita
Minang karena anakmu kelak akan mndapatkan suku darimu..”
ya Allah pak adri
Kecintaan
Pak Adri pada tanah kelahirannya membuatku semakin salut terhadap beliau
Tak
lama aku mendapat sms balasan dan ya Allah itu dari beliau yang isinya
“terimakasih lilis, aamiin, semoga
sukses, salam dengan kawan-kawan..”
Aku
pun menangis haru, bagaimana bisa ya Allah dalam keadaan sakit seperti itu, sms
yang tidak penting dariku dan dari teman-teman yang lain sempat beliau balas...
Sungguh
baiknya engkau pak Adri
Semoga
Allah mengangkat penyakitmu dan mempermudah urusanmu pak
Titip
doa untuk kesembuhan beliau ya kawan-kawan
(uun230415)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar