Rabu, 15 April 2015

Prahara Cinta Day



Prahara Cinta Day
(Cintanya Day Jilid 4)
Aku mensyukuri semua yang telah berubah ini, terimakasih ya Allah atas do’a-do’a yang telah Engkau kabulkan, bang Day perlahan mulai merubah sikap dan sifatnya, sepertinya ia sudah belajar memahamiku, hingga senja itu...
“Assalamualaikum..!”
Ada sapaan salam dari luar pagar biru rumah kami, aku mencari jilbab dan memakai kaus kaki, menutup auratku sempurna, serta berjalan membuka pintu dan mendekati seseorang yang berada di luar pagar.
“Walaikumsalam, ada apa Mas?”
Tanyaku pada seorang pria yang membawa beraneka bunga di keranjang motornya.
“Ada titipan bunga untuk Mbak Mela, tapi maaf Mbak , pengirimnya tidak ingin disebutkan nama, jadi Mbak tandatangan di kertas ini saja, sebagai bukti kalau bunganya sudah saya hantarkan...” petugas pembawa bunga itu menjelaskan secara singkat.
Aku tahu, pekerjaan mereka yang sederhana ini, tentunya butuh bukti penerimaan, karena kalau tidak mereka akan dianggap gagal bertugas. Setelah kutandatangani, kuterima bunga itu dan kembali ke dalam rumah.
Perlahan kubuka plastik yang membungkus bunga indah ini, setelah ku buka kulihat mekarnya indah, sepuluh tangkai yang terikat rapi ditambah pita berwarna biru, bunga lili putih kesukaanku. Ah bang Dayat tahu dari mana kalau aku menyukai bunga lili, satu-satunya bunga yang kusukai, karena warna putihnya dan bentuk bunganya, aku masih ingat waktu dek Nur bertanya kepada ku saat masih kuliah.
“Kak Me, kalau misalnya ada yang berniat memberikan kakak bunga, kakak maunya bunga apa?”
“Bunga Lili..” jawabku singkat
“Loh kenapa harus lili kak? Bukannya mawar itu jauh lebih indah ya..?” dek Nur penasaran dengan pilihanku.
“Karena hanya sedikit wanita yang menyukai bunga lili dek, bahkan kalau kita survei rata-rata wanita itu suka dengan bunga mawar, sedangkan kakak suka dengan bunga Lili karena susah untuk ditemukan dan lumayan mahal dek, tetapi suatu hari nanti hanya dia yang memahami kakak yang akan memberikannya..” jawabku
Aku langsung mengambil Handphone ku meng sms bang Day,
“Aslmkm, maaf menyapamu di penghujung senja Bang Day,terimakasih atas hadiah bunga Lili nya bang, Me sukaaaa sama bunganya. Abang memang tahu bunga kesukaan Me.” Send
Setelah sms itu kukirim, tak sabar aku menanti balasannya, tapi HP ku tak kunjung berbunyi, ada apa ini? apa bang Dayat sedang sibuk hingga untuk membalas smspun tak bisa? Setelah magribpun tetap tidak ada balasan, apa mungkin hpnya mati? Ah ku tepis prasangka itu, bang Dayat kan membawa powerbank, atau... ya Allah jaga hati ku dari prasangka buruk.
Aku melipat mukena dan meletakkan mushaf Alqur’an di rak buku, terdengar bunyi mobil memasuki garase, oh sepertinya bang Dayat sudah pulang.
Aku menyambutnya membawakan tas, menyalaminya dan berusaha tersenyum seindah mungkin, tetapi wajahnya terlihat kusut, mungkin ada masalah di kantornya.
“Bang Day sudah sholat?” Aku membuka percakapan.
“Sudah dek...tadi singgah dulu di masjid” ia menjawab dengan datar.
Aku membawakannya teh hangat, duduk bersamanya di sofa depan TV dan wajahku masih tersenyum bahagia, binar-binar mendapat hadih sekuntum bunga Lili belum hilang dari wajahku.
“Siapa yang ngirimin bunga Lili itu?” Suara bang Dayat terdengar berat, dan ia menatap nanar bunga Lili yang kuletakkan di pinggir TV
Aku terkejut, apa bang Dayat bercanda? Bukankah dia yang mengirimkannya..?
“Loh, Me kira itu dari abang?”
Kali ini giliran bang Day yang bingung,
“Mela sayaaang abang dari pagi sibuk, abang tidak sempat mengirimkan apa-apa untuk kamu, apalagi bunga, yang bahkan bunga kesukaan kamu abang belum pernah tahu.. sekali lagi abang tanya DARI SIAPA BUNGA LILI ITU...!!!!”
Ya Allah suara bang Dayat dan penekanan kata di ujung kalimatnya membuat nyali ku ciut, aku tak tahu siapa yang telah mengirimkan bunga itu.
“Sungguh bang! Me tidak tahu siapa yang telah mengirinkannya, tidak ada nama pengirimnya bang... Me mohon jangan cemburu buta...”  kali ini suaraku agak tinggi.
Bang Dayat berdiri dari duduknya, aku hendak mengikutinya tiba-tiba HP ku berdering, aku mengangkatnya,
“Assalamualaikum, dengan siapa?” Sapaku lembut karena memang namanya tak tertera di hp ku.
“Walaikumsalam, dek Me..apa kabar? kiriman bunga abang sudah sampai?”
Ada suara berat di seberang sana, aku bisa menerka suara itu tidak mungkin aku lupa.
Aku menoleh pada bang Dayat yang mendengarkan pembicaraanku, aku melondspeaker HP ku, sengaja agar ia mendengarkannya.
“Kabar Me, sehat bang Miqdad...”
Yah tentu saja aku kenal suara ini, suara bang Miqdad abang tingkatku di kampus, kader terbaik kala itu, ia sempat menjadi gubernur di fakultasku, dan hebatnya adik wanitanya satu kos denganku dek Nur.
“Bang Miqdad.. apa kabar...?”
Berat sebenarnya aku bertanya hal itu padanya, tetapi menyapa teman lama itu kan berpahala juga, jangan memutus tali silaturahmi, tapi lihatlah raut muka suami ku itu, aura cemburu sedang menggerogoti hatinya.
“Mela masih ingat saja dengan suara abang, kabar abang Me? Abang sepertinya kurang sehat, apalagi setelah tahu Mela sudah menikah, semangat hidup abang hilang, gelar S.2 yang sudah abang raih rasanya percuma saja Me, karena sesungguhnya kesempatan untuk memiliki Me yang sangat abang impikan telah hilang Me...”
Ya Allah, kenapa bang Miqdad tiba-tiba datang disaat seperti ini, sungguh aku tak sanggup, aku sudah menangis di sofa, ku lihat bang Dayat masih kokoh tak bergeming ia semakin panas mendengar ucapan bang Miqdad.
“Ma..af bang Miqdad... sekarang Me sudah punya suami, dan tidak baik abang berkata seperti itu dengan wanita yang merupakan istri orang lain...”
Aku mencoba kuat mebalas kata-kata bang Miqdad.
“Abang tahu kok Me, Me tidak pernah mencintai abang, walau abang sudah bersusah payah menampakkan rasa itu, Me tidak pernah peka, Me menjadi sosok akhwat tangguh di antara akhwat yang ada, ketangguhan itu yang membuat abang semakin mencintai Me, tapi apa daya abang datang terlambat kan?”
Bang Miqdad curhat, seperti biasanya tapi kali ini beda bang Miqdad curhat dan didengar oleh Bang Dayat suamiku.
“Abang hanya ingin kita kembali seperti dulu Me, diskusi seperti biasanya berbagi cerita, hanya Me yang memahami abang, tapi abang tahu keputusan Me untuk menjauhi abang, hanya ingin abang tidak terluka, tapi ini semua Berat Me...”
Bang Dayat mendekatiku sungguh aku takut, aku menatapnya dengan mata basah, sembari memohon agar ia tidak marah, bang Dayat duduk di sebelahku merangkul ku dari belakang ia berusaha memberikan kekuatan di sana, tapi lihat ia mengambil HP dan berbicara,
“Saudaraku Miqdad, sekarang wanita yang Anda telfon ini istri saya, dahulu ia adalah patner diskusi Anda, tapi maaf dia tidak akan menerima apapun dari Anda, termasuk bunga itu, saya mohon dengan sangat, saudara Miqdad paham dengan hal ini, jangan mengganggu wanita yang sudah menajdi istri orang lain, banyak di luar sana wanita yang berharaop menjadi istri saudara, jadi terimakasih dan saya mohon lupakan istri saya...” bang Dayat dengan nada tegas dan tegar nya mencoba menegur bang Miqdad.
“oooh, Bang Day,,, lelaki yang selama ini dicintai Mela, oke baiklah saya tidak suka dibilang laki-laki yang suka menggangu istri orang lain, saya hanya kagum dengan istri Anda, kepribadiannya, pemahamannya, gaya bergaulnya, dan tolong jangan pernah sakiti hatinya, karena dia wanita yang tangguh dan berhati lebut...”
Ya Allah ada apa dengan kedua laki-laki ini aku menoleh pada bang Dayat memohon agar jangan melawan kata-kata bang Miqdad, karena bang Miqdad ahli dalam diskusi serta debat.
“Terimakasih sudah mengirimi istri saya bunga, saya hargai itu, dan kami mohon maaf, pembicaraan ini harus diselesaikan, terimakasih sudah menelfon... Assalamualaikum!” bang Dayat mematikan HP.
Aku menjatuhkan kepalaku ke dalam pelukannya, sungguh Bang Dayat adalah laki-laki yang mampu mengendalikan dirinya, disaat terbakar cemburu sekalipun ia mampu menahan dirinya... aku masih menangis, menangis karena aku tidak cerita kalau selama ini aku punya teman diskusi seorang laki-laki.
“Abang akan tetap belajar memahamimu Me, dan abang mohon, jangan temui Miqdad! Abang tidak akan mengizinkanmu menemui dia serta berbicara dengannya...” Untuk pertama kalinya ada larangan dalam hidupku.
Aku mengangguk takzim, tentu, ya tentu saja, aku tidak ingin bertemu bang Miqdad laki-laki yang dulu suka digosipkan denganku karena kerap kali kami tampil bersama dan berada di amanah yang sama, tapi bagiku bang Miqdad hanya sebatas abang tidak ada cinta di sana.
Di saat aku akan menikah ia sedang sibuk mempersiapkan ujian tessisnya di luar kota, sehingga ia tak datang dan tak memberi kabar apapun padaku dan dek Nur adiknya.

Semua telah berlalu,
Kita sudah berlayar,
Kalau di awal kita goyah
Genggam tanganku dan kita akan saling meguatkan.

2 komentar:

  1. Wuiih... makin meleleh ana bacanya ukh..
    Dan Bang Miqdad ituuuu sepertinyaaaaaa, terinspirasi dari.....

    #AhSudahLah

    BalasHapus