Prahara
Cinta Day
(Cintanya
Day Jilid 4)
Aku
mensyukuri semua yang telah berubah ini, terimakasih ya Allah atas do’a-do’a
yang telah Engkau kabulkan, bang Day perlahan mulai merubah sikap dan sifatnya,
sepertinya ia sudah belajar memahamiku, hingga senja itu...
“Assalamualaikum..!”
Ada
sapaan salam dari luar pagar biru rumah kami, aku mencari jilbab dan memakai
kaus kaki, menutup auratku sempurna, serta berjalan membuka pintu dan mendekati
seseorang yang berada di luar pagar.
“Walaikumsalam, ada apa Mas?”
Tanyaku
pada seorang pria yang membawa beraneka bunga di keranjang motornya.
“Ada titipan bunga untuk Mbak Mela,
tapi maaf Mbak , pengirimnya tidak ingin disebutkan nama, jadi Mbak tandatangan
di kertas ini saja, sebagai bukti kalau bunganya sudah saya hantarkan...”
petugas pembawa bunga itu menjelaskan secara singkat.
Aku
tahu, pekerjaan mereka yang sederhana ini, tentunya butuh bukti penerimaan,
karena kalau tidak mereka akan dianggap gagal bertugas. Setelah kutandatangani,
kuterima bunga itu dan kembali ke dalam rumah.
Perlahan
kubuka plastik yang membungkus bunga indah ini, setelah ku buka kulihat
mekarnya indah, sepuluh tangkai yang terikat rapi ditambah pita berwarna biru,
bunga lili putih kesukaanku. Ah bang Dayat tahu dari mana kalau aku menyukai
bunga lili, satu-satunya bunga yang kusukai, karena warna putihnya dan bentuk
bunganya, aku masih ingat waktu dek Nur bertanya kepada ku saat masih kuliah.
“Kak Me, kalau misalnya ada yang
berniat memberikan kakak bunga, kakak maunya bunga apa?”
“Bunga Lili..”
jawabku singkat
“Loh kenapa harus lili kak?
Bukannya mawar itu jauh lebih indah ya..?” dek Nur
penasaran dengan pilihanku.
“Karena hanya sedikit wanita yang
menyukai bunga lili dek, bahkan kalau kita survei rata-rata wanita itu suka
dengan bunga mawar, sedangkan kakak suka dengan bunga Lili karena susah untuk
ditemukan dan lumayan mahal dek, tetapi suatu hari nanti hanya dia yang
memahami kakak yang akan memberikannya..” jawabku
Aku
langsung mengambil Handphone ku meng sms bang Day,
“Aslmkm, maaf menyapamu di
penghujung senja Bang Day,terimakasih atas hadiah bunga Lili nya bang, Me sukaaaa
sama bunganya. Abang memang tahu bunga kesukaan Me.” Send
Setelah
sms itu kukirim, tak sabar aku menanti balasannya, tapi HP ku tak kunjung berbunyi,
ada apa ini? apa bang Dayat sedang sibuk hingga untuk membalas smspun tak bisa?
Setelah magribpun tetap tidak ada balasan, apa mungkin hpnya mati? Ah ku tepis
prasangka itu, bang Dayat kan membawa powerbank, atau... ya Allah jaga hati ku
dari prasangka buruk.
Aku
melipat mukena dan meletakkan mushaf Alqur’an di rak buku, terdengar bunyi
mobil memasuki garase, oh sepertinya bang Dayat sudah pulang.
Aku
menyambutnya membawakan tas, menyalaminya dan berusaha tersenyum seindah
mungkin, tetapi wajahnya terlihat kusut, mungkin ada masalah di kantornya.
“Bang Day sudah sholat?” Aku
membuka percakapan.
“Sudah dek...tadi singgah dulu di
masjid” ia menjawab dengan datar.
Aku
membawakannya teh hangat, duduk bersamanya di sofa depan TV dan wajahku masih
tersenyum bahagia, binar-binar mendapat hadih sekuntum bunga Lili belum hilang
dari wajahku.
“Siapa yang ngirimin bunga Lili
itu?” Suara bang Dayat terdengar berat, dan ia menatap
nanar bunga Lili yang kuletakkan di pinggir TV
Aku
terkejut, apa bang Dayat bercanda? Bukankah dia yang mengirimkannya..?
“Loh, Me kira itu dari abang?”
Kali
ini giliran bang Day yang bingung,
“Mela sayaaang abang dari pagi
sibuk, abang tidak sempat mengirimkan apa-apa untuk kamu, apalagi bunga, yang
bahkan bunga kesukaan kamu abang belum pernah tahu.. sekali lagi abang tanya
DARI SIAPA BUNGA LILI ITU...!!!!”
Ya
Allah suara bang Dayat dan penekanan kata di ujung kalimatnya membuat nyali ku
ciut, aku tak tahu siapa yang telah mengirimkan bunga itu.
“Sungguh bang! Me tidak tahu siapa
yang telah mengirinkannya, tidak ada nama pengirimnya bang... Me mohon jangan
cemburu buta...” kali
ini suaraku agak tinggi.
Bang
Dayat berdiri dari duduknya, aku hendak mengikutinya tiba-tiba HP ku berdering,
aku mengangkatnya,
“Assalamualaikum, dengan siapa?”
Sapaku lembut karena memang namanya tak tertera di hp ku.
“Walaikumsalam, dek Me..apa kabar?
kiriman bunga abang sudah sampai?”
Ada
suara berat di seberang sana, aku bisa menerka suara itu tidak mungkin aku lupa.
Aku
menoleh pada bang Dayat yang mendengarkan pembicaraanku, aku melondspeaker HP ku, sengaja agar ia
mendengarkannya.
“Kabar Me, sehat bang Miqdad...”
Yah
tentu saja aku kenal suara ini, suara bang Miqdad abang tingkatku di kampus,
kader terbaik kala itu, ia sempat menjadi gubernur di fakultasku, dan hebatnya
adik wanitanya satu kos denganku dek Nur.
“Bang Miqdad.. apa kabar...?”
Berat
sebenarnya aku bertanya hal itu padanya, tetapi menyapa teman lama itu kan
berpahala juga, jangan memutus tali silaturahmi, tapi lihatlah raut muka suami
ku itu, aura cemburu sedang menggerogoti hatinya.
“Mela masih ingat saja dengan suara
abang, kabar abang Me? Abang sepertinya kurang sehat, apalagi setelah tahu Mela
sudah menikah, semangat hidup abang hilang, gelar S.2 yang sudah abang raih
rasanya percuma saja Me, karena sesungguhnya kesempatan untuk memiliki Me yang
sangat abang impikan telah hilang Me...”
Ya
Allah, kenapa bang Miqdad tiba-tiba datang disaat seperti ini, sungguh aku tak
sanggup, aku sudah menangis di sofa, ku lihat bang Dayat masih kokoh tak
bergeming ia semakin panas mendengar ucapan bang Miqdad.
“Ma..af bang Miqdad... sekarang Me
sudah punya suami, dan tidak baik abang berkata seperti itu dengan wanita yang
merupakan istri orang lain...”
Aku
mencoba kuat mebalas kata-kata bang Miqdad.
“Abang tahu kok Me, Me tidak pernah
mencintai abang, walau abang sudah bersusah payah menampakkan rasa itu, Me
tidak pernah peka, Me menjadi sosok akhwat tangguh di antara akhwat yang ada,
ketangguhan itu yang membuat abang semakin mencintai Me, tapi apa daya abang
datang terlambat kan?”
Bang
Miqdad curhat, seperti biasanya tapi kali ini beda bang Miqdad curhat dan
didengar oleh Bang Dayat suamiku.
“Abang hanya ingin kita kembali
seperti dulu Me, diskusi seperti biasanya berbagi cerita, hanya Me yang
memahami abang, tapi abang tahu keputusan Me untuk menjauhi abang, hanya ingin
abang tidak terluka, tapi ini semua Berat Me...”
Bang
Dayat mendekatiku sungguh aku takut, aku menatapnya dengan mata basah, sembari
memohon agar ia tidak marah, bang Dayat duduk di sebelahku merangkul ku dari
belakang ia berusaha memberikan kekuatan di sana, tapi lihat ia mengambil HP
dan berbicara,
“Saudaraku Miqdad, sekarang wanita
yang Anda telfon ini istri saya, dahulu ia adalah patner diskusi Anda, tapi
maaf dia tidak akan menerima apapun dari Anda, termasuk bunga itu, saya mohon
dengan sangat, saudara Miqdad paham dengan hal ini, jangan mengganggu wanita
yang sudah menajdi istri orang lain, banyak di luar sana wanita yang berharaop
menjadi istri saudara, jadi terimakasih dan saya mohon lupakan istri saya...”
bang Dayat dengan nada tegas dan tegar nya mencoba menegur bang Miqdad.
“oooh, Bang Day,,, lelaki yang
selama ini dicintai Mela, oke baiklah saya tidak suka dibilang laki-laki yang
suka menggangu istri orang lain, saya hanya kagum dengan istri Anda,
kepribadiannya, pemahamannya, gaya bergaulnya, dan tolong jangan pernah sakiti
hatinya, karena dia wanita yang tangguh dan berhati lebut...”
Ya
Allah ada apa dengan kedua laki-laki ini aku menoleh pada bang Dayat memohon
agar jangan melawan kata-kata bang Miqdad, karena bang Miqdad ahli dalam
diskusi serta debat.
“Terimakasih sudah mengirimi istri
saya bunga, saya hargai itu, dan kami mohon maaf, pembicaraan ini harus
diselesaikan, terimakasih sudah menelfon... Assalamualaikum!”
bang Dayat mematikan HP.
Aku
menjatuhkan kepalaku ke dalam pelukannya, sungguh Bang Dayat adalah laki-laki
yang mampu mengendalikan dirinya, disaat terbakar cemburu sekalipun ia mampu
menahan dirinya... aku masih menangis, menangis karena aku tidak cerita kalau
selama ini aku punya teman diskusi seorang laki-laki.
“Abang akan tetap belajar
memahamimu Me, dan abang mohon, jangan temui Miqdad! Abang tidak akan
mengizinkanmu menemui dia serta berbicara dengannya...”
Untuk pertama kalinya ada larangan dalam hidupku.
Aku
mengangguk takzim, tentu, ya tentu saja, aku tidak ingin bertemu bang Miqdad
laki-laki yang dulu suka digosipkan denganku karena kerap kali kami tampil
bersama dan berada di amanah yang sama, tapi bagiku bang Miqdad hanya sebatas
abang tidak ada cinta di sana.
Di
saat aku akan menikah ia sedang sibuk mempersiapkan ujian tessisnya di luar
kota, sehingga ia tak datang dan tak memberi kabar apapun padaku dan dek Nur
adiknya.
Semua
telah berlalu,
Kita
sudah berlayar,
Kalau
di awal kita goyah
Genggam
tanganku dan kita akan saling meguatkan.
Wuiih... makin meleleh ana bacanya ukh..
BalasHapusDan Bang Miqdad ituuuu sepertinyaaaaaa, terinspirasi dari.....
#AhSudahLah
#AhKamuTauSajaNdum
BalasHapus