Kamis, 05 Maret 2015

Persahabatan Batu Akik



Persahabat Batu Akik
(Penggalan Kisah Fiksi di Sumbar)

Perjalanan itu memang selalu memiliki arti bagi setiap pelakunya, salah satunya perjalana kali ini, dengan keterbatasan yang sekolah kami punya dengan keederhanaan yang ada dan demi menjemput ilmu baru yang ada di provinsi sebelah, di mana lagi kalo bukan Sumatera Barat.
Sekolah kami ini beda lah sama sekolah yang lain, kami memiliki 15 guru-guru dan hanya 3 guru laki-laki selebihnya perempuan. Nah, kali ini kami mau study banding ke Bukittinggi ke salah satu sekolah yang latar belakangnya tidak jauh beda dengan sekolah kami, sekolah yang menaungi nak-anak kurang mampu dan putus sekolah.
Karena satu dan lain hal hanya 11 orang yang bisa ikut serta. Dan tidak muat juga kalau hanya satu mobil, karena banyak akhirnya dibagi menajdi dua kelompok, satu mobil avanza yang kukendarai satu lagi xenia yang dikendarai sama bang Fadeli teman abangku.
Malam itu sebelum berangkat sebagian guru ada yang kumpul di sekolah, aku bersama bang Fadeli menjemput k’chici, uun, k’debung, k’mo dan bang Midun di sekolah, selebihnya minta jemput di rumah mereka masing-masing lagian sekalian jalan kan jd g muter-muter dech. Nah, malam ini pembagian mobil dimulai, uun memilih untuk naik di mobil bg Fadeli bareng k’bung k’mo dan bang Midun. Jadilah yang dimobilku k’chik k lia dan suaminya serta k’me dan k’wiyah.
Sebelum berangkat, aku melihat bang Midun akrab banget sama bag Fadeli kira-kira apa yah yang dibicarakan, akupun iseng mendekat rupanya bang Midun pamer koleksi batu yang lagi booming di Indonesia, ada satu kotak nasi batunya bang Midun diliatin ke bng Fadeli, aku yang g tertarik sama sekali sama batu jadi agak gimana gitu... kok berlebihan kali ya kecintaan nya sama batu. Ditambah bang Midun lancar bangetz ngejelasin jenis-jenis batu tu ke bang Fadeli, bang Fadeli malah paham dan santai mereka bercerita, aku?
Aku hanya diam.

Sepanjang perjalan sebenarnya aku sedikit mengantuk karena tadi malam aku begadang, main kerumah sahabatku, dan malam itu mereka juga bahas batu akik, hadeh sepertinya batu memang berhasil menyita perhatian semua laki-laki di Indonesia, sesekali aku ikut bernyanyi dengan musik yang di stel, ngantukku hampir parah, hingga akhirnya bang Fadeli berhenti di salah satu rumah makan dekat perbatasan Riau Sumbar. Kami istirahat sejenak melepas lelah dan belum sempurna aku selesai mencuci muka di kamar mandi terdengar suara gerinda, malam-malam begini, ternyata eh ternyata suara mesin pengasah batu akik, aku awalnya penasaran tapi gengsi untuk ikutan melihat, dari jauh kulihat bang Fadeli dan bang Midunpun mendekati tempat asah batu itu, fikirku... apa sich istimewanya batu akik... baru aku akan mendekat eh bang Fadeli dn bang Midun malah sudah selesai dari sana
“Mantap-mantap batunya Bang ?” tanyaku pada mereka berdua dengan gaya penasaran
“g ada doch yg mantap itu itu aja batunya limau Manih banyaknya...” jaawab bang Fadeli cepat
Akupun terdiam, ternyata masih banyak jenis batu yang lainnya, dan aku yang jelas batu limau manih yang baru kuketahui itupun baru tadi malam sahabatku yang ngejelsin dan ngasih aku sedikit batu itu
“tapi mantap orang ni bang, cara ngasah batunya halus bang,” Bang Midunpun menambahkan
“iya Mid, tapi di Bukik yang mantap batu ni, kita carilah di sana besok manatau ada batu bacan yang murah” bang Fadeli menawarkan kepada bng Midun
“iya ya bang, kita cek aja besok di sana? Kau ikut Way?” bang Midun menyetujui usul bang Fadeli skalian bertanya padaku
Tanpa ragu akupun menjawab
“ayoklah bang, Way juga penasaran sama batu-batu ni,manatau ada yang menarik di hatikan!” aku semangat menanggapi ajakan bng Fadeli dn bg Midun.

Kami sampai di rumah Makdang pukul 03.30 pagi, sejenak kami istirahat sembari mengumpulkan tenaga untuk kunjungan ke sekolah Juara Bukittinggi jam 09.00. Semua cikgu wanita sudah pada tepar tertidur, aku rencananya juga ingin istirahat di kamar, tapi kulihat bang Fadeli dan bang Midun asyik membahas batu, rasanya ada yang ganjal di sana, yah, aku tak ada di sana padahal kan aku laki-laki tapi kenapa g tertarik sama batu ya.. lalu aku mencoba nimbrung bersama suaminya k Lia, kami mendekat sembari sok-sok paham sebenarnya sedang menyimak, mencari bahan untuk cerita dan nambah ilmu kebatuan hee.
“jadi besok ke pasar ateh Way?’ Bang Midun langsung betanya kepadaku
boleh bang, tanya ibuk2 ni dulu, manatau mreka mau belajna sekalian aja kan” aku menjawab
“kalau jadi bang, esok kita jelajahi pasar jam gadang tu bang, kita cari batu-batu tu bang, manatau ada rezeki kita dapat yang murah kan bang? Mumpung di Sumbar kapan lagi.” Bang Midun semangat kali soal batu
“Iya mid, besok abang liatin tempat langgaranan abang, manatu masih ada stok batunya bisa kita asah langsung kan?” bang Fadeli yang asli Minang pun ikut semangat

“Way ikut ya bang, skalian manatau ada yng bisa Way beli buat oleh-oleh” aku nimbrung sembarangan
“bisa.... besok abang carikan yg bagus untuk Way” bng Fadeli menjawab lugas.
Dan diskusi dini hari inipun ditutup dengan istirahat.
                                 
                 Selepas kunjungan dan istirahat siang yang lumayan menyita waktu setengah hari, kami memutuskan untuk rehat di panorama lubang Jepang sembari menunggu hari sore, rencananya setelah ini kami akan ke pasar ateh Bukittinggi.
                 Aku sudah berencana untuk membeli beberapa Jaket untuk oleh-oleh tapi sepertinya berburu batu cincin bersama bng Midun dan bng Fadeli lebih menarik kurasa, hingga di waktu yang sudah disepakati bersama, kami bertiga pun meluncur ke pasar ateh mencari batu-batu yang indah penuh kemilau, suami k Lia sama sekali g tertarik dengan batu cincin dia lebih memilih  menemankan istrinya berbelanja di pasar bukit.
                 Rombongan kami pun berpisah di jam Gadang dengan kesepakatan jam 18.00 berkumpul lagi di tempat berpisah tadi yakni sebelah Barat Jam Gadang. Aku sangat antusias menunggu bng Midun dan bang Fadeli berburu batu.
“Way, mau kemana semangat kali, g jadi beli jaket?” uun menyapaku, mungkin ia heran dengan tingkahku sore itu
“uuups... tenang un, urusan bisnis laki-laki un, jadi perempuan g usah ikutan!” kamipun berlalu cepat meninggalkan rombongan yang lainnya.
                 Sepanjuang pasar ateh kami melihat para penjual batu sama seperti para penjual cabe di pasar-pasar pada umumnya, berderet-deret isinya penjual batu akik, sekaligus tempat mengasah batu, kami mengutari setiap sudut pasar ateh. Puas berjalan akhirnya kami memutuskan untuk berhenti pada satu penjual batu, nah uniknya yang jual batu itu ibu-ibu, aku sampe kaget. Beraneka ragam batu ia jelaskan, mulai dari batu limau manih, lumut hijai, lumut merah, ati ayam, solar aceh, retak seribu, dan macam-macam batu yang lainnya, dan penjelasana itu hanya semakin membuat aku terpukau hebat, dan tertarik untuk membeli sebongkah batu yang mengusik hatiku di salah satu mangkok, aku menanyakan harganya
“100 ribu!” kata ibu itu lugas
                 Wow aku terkejut sendiri dengan harganya, hanya untuk sebongkah batu kecil aku harus mengeluarkan uang 100 ribu, ah bisa-bisa beli beras 10 kg cukup. Tapi lihat bang Fadeli menawarnya
“kurang sketek ndk bisa buk? Awak ambiak tigo buah.” Bang Fadeli itu peka sekali, ia  paham kalau aku menyukai batu satu itu
“indak bisa doh diak, itu alah modalnyo nan bajua, batu ko langka lo sketek.” Ibu penjual itu tak mau di tawar
“kurang sketek ajo buk??”kali ini bang Midun ikut meloby harga
“one,,, ndak bisa doh,,, atau ambiak 80 lah...”
Kami terdiam bertiga
                   Yang membuatku lama terdiam adalah, kepekaan bang Fadeli dan bang Midun, mereka sepertinya mengerti raut wajahku yang sangat terpukau dengan batu yang sederhana iu, mereka itu tahu kalau aku memginginkan batu itu, dan mereka juga tau rasionalisasiku tetap kuat untuk tidak mengeluarkan uang 100 ribu secara Cuma-Cuma dalam asrti hanya untuk batu yang esensinya tidak ada, kecuali untuk keindahan dan untuk dipamerkan saja.
                   Tapi ini uniknya, dari sini aku tahu bahwa mereka mudah memahamiku mereka peka dengan ku, itu sudah cukup membuatku merasa diperhatikan. Bahkan ikut menawar batu itu demi aku, astaga betapa mudahnya membuat mereka menjadi dekat dan memiliki tempat di hati ini
“ndak usah bang, udah lah bang, Way cari yang lain aja di Harau besok!” aku membuka suara
                   Demi mendengar ucapanku bang Fadeli dan bang Midun menatapku, lalu berjalan kembali ke bawah, kami memutuskan untuk kembali ke jam gadang, sudah cukup lama kami menjelajahi pasar ini, hari pun mulai senja. Tak banyak yang diucapkan di perjalananan menuju Jam gadang hanya terdengar suara gerinda asahan batu penjual akik di pinggiran ruko-ruko.

Hingga menjelang di titik berkumpul bang Midun mengeluarkan sebuah batu kecil kepadaku
“ni Way, ntar di Pekan kita asah dan kita kasih rangka cincinnya...” bang Midun memberikan sebuah batu kepadaku, dan warnanya yang indah, aku terpukau dan terharu lengkapnya kaget dengan kepekaan itu.
Tak ku sangka bang Midun sepeka itu, ah kalau lah dia memberikannya dari tadi...
(uun)
Persahabatn itu sederhana
Sesederhana batu akik yang
Mengikat hati yang berjauhan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar