Persahabat
Batu Akik
(Penggalan
Kisah Fiksi di Sumbar)
Perjalanan
itu memang selalu memiliki arti bagi setiap pelakunya, salah satunya perjalana
kali ini, dengan keterbatasan yang sekolah kami punya dengan keederhanaan yang
ada dan demi menjemput ilmu baru yang ada di provinsi sebelah, di mana lagi
kalo bukan Sumatera Barat.
Sekolah
kami ini beda lah sama sekolah yang lain, kami memiliki 15 guru-guru dan hanya
3 guru laki-laki selebihnya perempuan. Nah, kali ini kami mau study banding ke
Bukittinggi ke salah satu sekolah yang latar belakangnya tidak jauh beda dengan
sekolah kami, sekolah yang menaungi nak-anak kurang mampu dan putus sekolah.
Karena
satu dan lain hal hanya 11 orang yang bisa ikut serta. Dan tidak muat juga
kalau hanya satu mobil, karena banyak akhirnya dibagi menajdi dua kelompok,
satu mobil avanza yang kukendarai satu lagi xenia yang dikendarai sama bang
Fadeli teman abangku.
Malam
itu sebelum berangkat sebagian guru ada yang kumpul di sekolah, aku bersama
bang Fadeli menjemput k’chici, uun, k’debung, k’mo dan bang Midun di sekolah,
selebihnya minta jemput di rumah mereka masing-masing lagian sekalian jalan kan
jd g muter-muter dech. Nah, malam ini pembagian mobil dimulai, uun memilih
untuk naik di mobil bg Fadeli bareng k’bung k’mo dan bang Midun. Jadilah yang
dimobilku k’chik k lia dan suaminya serta k’me dan k’wiyah.
Sebelum
berangkat, aku melihat bang Midun akrab banget sama bag Fadeli kira-kira apa
yah yang dibicarakan, akupun iseng mendekat rupanya bang Midun pamer koleksi
batu yang lagi booming di Indonesia, ada satu kotak nasi batunya bang Midun
diliatin ke bng Fadeli, aku yang g tertarik sama sekali sama batu jadi agak
gimana gitu... kok berlebihan kali ya kecintaan nya sama batu. Ditambah bang Midun
lancar bangetz ngejelasin jenis-jenis batu tu ke bang Fadeli, bang Fadeli malah
paham dan santai mereka bercerita, aku?
Aku hanya diam.
Sepanjang
perjalan sebenarnya aku sedikit mengantuk karena tadi malam aku begadang, main
kerumah sahabatku, dan malam itu mereka juga bahas batu akik, hadeh sepertinya
batu memang berhasil menyita perhatian semua laki-laki di Indonesia, sesekali
aku ikut bernyanyi dengan musik yang di stel, ngantukku hampir parah, hingga
akhirnya bang Fadeli berhenti di salah satu rumah makan dekat perbatasan Riau
Sumbar. Kami istirahat sejenak melepas lelah dan belum sempurna aku selesai
mencuci muka di kamar mandi terdengar suara gerinda, malam-malam begini,
ternyata eh ternyata suara mesin pengasah batu akik, aku awalnya penasaran tapi
gengsi untuk ikutan melihat, dari jauh kulihat bang Fadeli dan bang Midunpun
mendekati tempat asah batu itu, fikirku... apa sich istimewanya batu akik...
baru aku akan mendekat eh bang Fadeli dn bang Midun malah sudah selesai dari
sana
“Mantap-mantap
batunya Bang ?” tanyaku pada mereka berdua dengan gaya
penasaran
“g
ada doch yg mantap itu itu aja batunya limau Manih banyaknya...”
jaawab bang Fadeli cepat
Akupun
terdiam, ternyata masih banyak jenis batu yang lainnya, dan aku yang jelas batu
limau manih yang baru kuketahui itupun baru tadi malam sahabatku yang ngejelsin
dan ngasih aku sedikit batu itu
“tapi
mantap orang ni bang, cara ngasah batunya halus bang,”
Bang Midunpun menambahkan
“iya
Mid, tapi di Bukik yang mantap batu ni, kita carilah di sana besok manatau ada
batu bacan yang murah” bang Fadeli menawarkan kepada bng Midun
“iya
ya bang, kita cek aja besok di sana? Kau ikut Way?”
bang Midun menyetujui usul bang Fadeli skalian bertanya padaku
Tanpa ragu akupun
menjawab
“ayoklah
bang, Way juga penasaran sama batu-batu ni,manatau ada yang menarik di hatikan!”
aku semangat menanggapi ajakan bng Fadeli dn bg Midun.
Kami
sampai di rumah Makdang pukul 03.30 pagi, sejenak kami istirahat sembari mengumpulkan
tenaga untuk kunjungan ke sekolah Juara Bukittinggi jam 09.00. Semua cikgu
wanita sudah pada tepar tertidur, aku rencananya juga ingin istirahat di kamar,
tapi kulihat bang Fadeli dan bang Midun asyik membahas batu, rasanya ada yang
ganjal di sana, yah, aku tak ada di sana padahal kan aku laki-laki tapi kenapa
g tertarik sama batu ya.. lalu aku mencoba nimbrung bersama suaminya k Lia,
kami mendekat sembari sok-sok paham sebenarnya sedang menyimak, mencari bahan
untuk cerita dan nambah ilmu kebatuan hee.
“jadi
besok ke pasar ateh Way?’ Bang Midun langsung betanya
kepadaku
“ boleh bang, tanya ibuk2 ni dulu, manatau mreka mau belajna sekalian
aja kan” aku menjawab
“kalau
jadi bang, esok kita jelajahi pasar jam gadang tu bang, kita cari batu-batu tu
bang, manatau ada rezeki kita dapat yang murah kan bang? Mumpung di Sumbar
kapan lagi.” Bang Midun semangat kali soal batu
“Iya
mid, besok abang liatin tempat langgaranan abang, manatu masih ada stok batunya
bisa kita asah langsung kan?” bang Fadeli yang asli
Minang pun ikut semangat
“bisa....
besok abang carikan yg bagus untuk Way” bng Fadeli menjawab
lugas.
Dan diskusi dini hari
inipun ditutup dengan istirahat.
Selepas kunjungan dan istirahat
siang yang lumayan menyita waktu setengah hari, kami memutuskan untuk rehat di
panorama lubang Jepang sembari menunggu hari sore, rencananya setelah ini kami
akan ke pasar ateh Bukittinggi.
Aku sudah berencana untuk
membeli beberapa Jaket untuk oleh-oleh tapi sepertinya berburu batu cincin
bersama bng Midun dan bng Fadeli lebih menarik kurasa, hingga di waktu yang
sudah disepakati bersama, kami bertiga pun meluncur ke pasar ateh mencari
batu-batu yang indah penuh kemilau, suami k Lia sama sekali g tertarik dengan
batu cincin dia lebih memilih menemankan
istrinya berbelanja di pasar bukit.
Rombongan kami pun berpisah di
jam Gadang dengan kesepakatan jam 18.00 berkumpul lagi di tempat berpisah tadi
yakni sebelah Barat Jam Gadang. Aku sangat antusias menunggu bng Midun dan bang
Fadeli berburu batu.
“Way, mau kemana semangat kali, g
jadi beli jaket?” uun menyapaku, mungkin ia heran
dengan tingkahku sore itu
“uuups... tenang un, urusan bisnis
laki-laki un, jadi perempuan g usah ikutan!” kamipun berlalu
cepat meninggalkan rombongan yang lainnya.
Sepanjuang pasar ateh kami
melihat para penjual batu sama seperti para penjual cabe di pasar-pasar pada
umumnya, berderet-deret isinya penjual batu akik, sekaligus tempat mengasah
batu, kami mengutari setiap sudut pasar ateh. Puas berjalan akhirnya kami
memutuskan untuk berhenti pada satu penjual batu, nah uniknya yang jual batu
itu ibu-ibu, aku sampe kaget. Beraneka ragam batu ia jelaskan, mulai dari batu
limau manih, lumut hijai, lumut merah, ati ayam, solar aceh, retak seribu, dan
macam-macam batu yang lainnya, dan penjelasana itu hanya semakin membuat aku
terpukau hebat, dan tertarik untuk membeli sebongkah batu yang mengusik hatiku
di salah satu mangkok, aku menanyakan harganya
“100 ribu!”
kata ibu itu lugas
Wow aku terkejut sendiri dengan
harganya, hanya untuk sebongkah batu kecil aku harus mengeluarkan uang 100
ribu, ah bisa-bisa beli beras 10 kg cukup. Tapi lihat bang Fadeli menawarnya
“kurang sketek ndk bisa buk? Awak ambiak
tigo buah.” Bang Fadeli itu peka sekali, ia paham kalau aku menyukai batu satu itu
“indak bisa doh diak, itu alah
modalnyo nan bajua, batu ko langka lo sketek.” Ibu penjual
itu tak mau di tawar
“kurang sketek ajo buk??”kali
ini bang Midun ikut meloby harga
“one,,, ndak bisa doh,,, atau
ambiak 80 lah...”
Kami
terdiam bertiga
Yang membuatku lama terdiam
adalah, kepekaan bang Fadeli dan bang Midun, mereka sepertinya mengerti raut
wajahku yang sangat terpukau dengan batu yang sederhana iu, mereka itu tahu
kalau aku memginginkan batu itu, dan mereka juga tau rasionalisasiku tetap kuat
untuk tidak mengeluarkan uang 100 ribu secara Cuma-Cuma dalam asrti hanya untuk
batu yang esensinya tidak ada, kecuali untuk keindahan dan untuk dipamerkan
saja.
Tapi ini uniknya, dari sini
aku tahu bahwa mereka mudah memahamiku mereka peka dengan ku, itu sudah cukup
membuatku merasa diperhatikan. Bahkan ikut menawar batu itu demi aku, astaga
betapa mudahnya membuat mereka menjadi dekat dan memiliki tempat di hati ini
“ndak usah bang, udah lah bang, Way
cari yang lain aja di Harau besok!” aku membuka suara
Demi mendengar ucapanku bang
Fadeli dan bang Midun menatapku, lalu berjalan kembali ke bawah, kami
memutuskan untuk kembali ke jam gadang, sudah cukup lama kami menjelajahi pasar
ini, hari pun mulai senja. Tak banyak yang diucapkan di perjalananan menuju Jam
gadang hanya terdengar suara gerinda asahan batu penjual akik di pinggiran ruko-ruko.
“ni Way, ntar di Pekan kita asah
dan kita kasih rangka cincinnya...” bang Midun memberikan
sebuah batu kepadaku, dan warnanya yang indah, aku terpukau dan terharu
lengkapnya kaget dengan kepekaan itu.
Tak
ku sangka bang Midun sepeka itu, ah kalau lah dia memberikannya dari tadi...
(uun)
Persahabatn
itu sederhana
Sesederhana
batu akik yang
Mengikat
hati yang berjauhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar