Selasa, 19 April 2016

Tiga Cinta Satu Hati



Tiga Cinta Satu Hati
(uun_Ar)
Aku terduduk di ruang tunggu kamar operasi, istriku sedang bertaruh nyawa di dalam sana. Sudah 4 jam lebih aku menunggu, belum juga ada kabar dari dalam dan belum ada tindakan. Entah apa yang terjadi dengan istriku kini, setelah 3 tahun berumah tangga baru kali ini kami akan dikarunia anak, namun harus seperti ini yang kami lalui.
Aku memilih berdiri lalu mondar-mandir di etalase ruangan operasi. Sebagian pasien sudah keluar dengan tangis anak mereka, dan kini aku semakin khawatir serta deg-degan, yang bisa kulakukan hanya menatap jendela ruang operasi itu dengan tatapan pias.
Tak lama seorang perawat keluar lalu menghampiriku.
“Maaf pak Rasyid, istri anda belum bisa dioperasi, trombositnya rendah dan ia sedang tertekan bathin, ia ingin berjumpa dengan anda sekarang.”
Tanpa berfikir panjang, aku masuk ke dalam ruangan itu, istriku masih terbaring lemah di atas kasur.  Aku mengusap peluh di dahinya, seberat inikah yang harus ia alami. Istriku terbilang kecil, tingginya tidak terlalu sama dengan wanita pada umumnya, namun ia adalah wanita tangguh yang terbiasa bergerak menebar kebaikan ke mana-mana, bersama sahabatnya yang kini telah pergi tanpa pamit.
“Mas..”  ia menyapaku pelan, aku reflek menggenggam tangannya, berusaha memberi kekuatan.
“Neng g sanggup Mas, ini terlalu berat!”  ia mulai menyerah dengan keadaan ini, siapa pula yang sabar menunggu dalam masa seperti ini, antara hidup dan mati.
“Pasti bisa Neng, kita harus percaya sama Gusti Allah.” Aku tak tahu cara lain menyemangatinya, aku bukan sahabatnya yang tahu detail tentang dirinya, yang kutahu kini, aku ingin ia dan bayi kembar kami selamat, itu saja.
“Trisa mana Mas?” Astaga, dalam keadaan genting seperti ini kenapa pula ia teringat akan sahabat yang telah meninggalkannya tanpa alasan itu.
Sebelum masuk ruang operasi, istri berpesan agar aku menghubungi sahabat lamanya, sebenarnya kami sudah kehilangan kabar Trisa sejak malam akad nikah itu, ia menghilang, pergi tanpa kabar, bahkan susah dihubungi via sms, dan terlefon bahkan media sosailnya sudah dihapus, saat itu kami memilih tidak peduli mungkin ia dapat tawaran kerja di negeri seberang.
Namun tadi siang, sebelum isteriku positif untuk dioperasi, ia ngotot menyuruhku mencari Trisa. Kemana pula aku harus mencari seseorang yang memutuskan pergi dari kehidupan kami. Beruntung bundanya Trisa mau meberikan nomor kantor Trisa kepadaku. Berkali-kali kutelefon tetapi tidak diangkat, dan aku hanya bisa meninggalkan voice note di sana, pesanku sangat singkat.
“Nadya sedang di masa genting untuk operasi sesar anak kembar kami, ia sedang drop dan menyuruhku mencarimu, jika ada waktu datanglah di rumah sakit dekat seberang Masjid Raya.”
Apakah Trisa mendengar pesanku, aku tak yakin, dan aku memilih tidak peduli.
“Maaf Mas, sudah waktunya untuk tindakan, tidak ada waktu lagi, keputusan harus segara dibuat, kita akan berusaha semampunya.!” Pesan dokter wanita yang paruh baya itu cukup menghujam ke jantungku. KITA AKAN BERUSAHA SEMAMPUNYA. Kalimat apa ini, ini adalah kalimat yang mengucilkan hatiku.
Saat itulah, yah saat itu Trisa datang setengah berlari ke arah kami, menggenggam tangan istriku dengan tatapan yang hanya bisa diartikan oleh mereka berdua.
Aku memilih mundur, aku tahu jika mereka sudah bertemu, hanya hati mereka yang bicara. Trisa hanya mengangguk dan berusaha tersenyum menggenggam tangan istriku dengan yakin, ada aura kekuatan serta semangat dari tatapannya. Trisa mengusap kepala isteriku, lalu menyentuh pundaknya, dan  mereka berdua mengangguk takzim.
Sungguh, aku tak mengerti tatapan dan makna dari kejadian ini, namun aku yakin mereka berdua sudah selesai dengan hal masalah ini.

Operasi sedang berlangsung, aku menunggu di luar, begitupun dengan Trisa, ia memilih duduk di pinggiran jendela, sedangkan aku tepat di depan pintu operasi.
“Kenapa kau memutuskan pergi dan baru kembali saat ini?”
Tanya dengan nada datar yang bahkan mungkin tak bisa di dengar oleh angin, tapi aku tahu Trisa pasti mendengarkannya.
“Karena itu janjiku kepada keluarganya, sebelum Ayah dan Bundanya pergi aku dititipi amanah untuk selalu berda di sampingnya hingga akhirnya seseorang yang bergelar imam itu hadir dalam hidupnya, saat itulah aku harus pergi, dan masalah kepergianku itu bukan urusanmu.”
Jawaban Trisa terkesan tegas, seolah aku memang tidak boleh tahu tentang dirinya selama ini, karakternya juga tidak pernah berubah. Ia pandai sekali berakting ketika kami berkumpul bertiga, seolah ia akrab denganku dan semunya terlihat indah, namun ketika moment kami tinggal berdua, ia berubah, bahkan menganggapku asing dalam hidupnya.
“Maafkan aku jika pernah melukai hatimu Na...” Aku akhirnya mengalah.
“Aku tidak pernah merasa tersakiti, karena orang sepertiku sudah terbiasa dengan menepati janji dan tak ingin mengganggu kehidupan orang lain.” Jawabnya cepat  
“Kenapa kau menganggap kami orang lain? Aku sudah menganggapmu seperti kakak Na..” Emsosiki hampir naik.
“Apa kau bisa diam, perbanyalah do’a untuk kesembuhan istri dan kelahiran 2 anakmu, karena aku terlalu takut dengan janji kami tadi.” Ia membentakku cepat.
 Aku memilih diam, bicara dengan Trisa memang begitu aku tak pernah menang, ada saja yang bisa ia jadikan jawaban. Akupun entah kenapa tetiba lupa dengan istriku di dalam sana yang sedang bertarung nyawa.
Dua jam kemudian pintu itu dibuka, aku dipersilahkan masuk untuk mengazankan dua putra kembarku, sementara istriku bersama Trisa. Saat seperti ini ia memilih bersama Trisa, ia memiliki ruhiyah yang kuat bahkan menyatu dengan istriku.
Aku bersyukur semuanya berjalan lancar, kami sudah di ruangan inap, dengan dua putra kembar kami, belum ada nama untuk mereka. Ku lihat istriku ceria, wajahnya berseri-seri mungkin karena kehadiran dua putra dan sahabat karibnya ia merasa lebih hidup, dan lupa atas keputus asaannya menjelang operasi tadi.
Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dan tersenyum hangat, mengusap kepalanya dengan lembut hingga akhirnya ia tertidur pulas. Kurasa ia terlalu lelah dengan ini semua, namun aku mulai merasakan sesuatu yang aneh, tangannya berubah menjadi dingin dan aku tak bisa merasakan hembusan nafasnya, aku mencoba memanggil namanya berkali kali dan mengguncangkan bahunya, tapi tidak ada respon, aku menoleh ke belakang melihat ke arah Trisa yang ternyata matanya telah basah dan air mata itu mengalir deras di pipi Trisa
“Dia sudah pergi Mas, meninggalkan kita semua....”


1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site - Bet £10 Get £50 Welcome Bonus
    Lucky Club is an online casino site for bettors that are looking for a new place to play, and luckyclub.live we have a selection of games to choose from.

    BalasHapus