Tiga Cinta Satu Hati
(uun_Ar)
Aku
terduduk di ruang tunggu kamar operasi, istriku sedang bertaruh nyawa di dalam
sana. Sudah 4 jam lebih aku menunggu, belum juga ada kabar dari dalam dan belum
ada tindakan. Entah apa yang terjadi dengan istriku kini, setelah 3 tahun
berumah tangga baru kali ini kami akan dikarunia anak, namun harus seperti ini
yang kami lalui.
Aku
memilih berdiri lalu mondar-mandir di etalase ruangan operasi. Sebagian pasien sudah
keluar dengan tangis anak mereka, dan kini aku semakin khawatir serta deg-degan,
yang bisa kulakukan hanya menatap jendela ruang operasi itu dengan tatapan
pias.
Tak
lama seorang perawat keluar lalu menghampiriku.
“Maaf
pak Rasyid, istri anda belum bisa dioperasi, trombositnya rendah dan ia sedang
tertekan bathin, ia ingin berjumpa dengan anda sekarang.”
Tanpa
berfikir panjang, aku masuk ke dalam ruangan itu, istriku masih terbaring lemah
di atas kasur. Aku mengusap peluh di
dahinya, seberat inikah yang harus ia alami. Istriku terbilang kecil, tingginya
tidak terlalu sama dengan wanita pada umumnya, namun ia adalah wanita tangguh
yang terbiasa bergerak menebar kebaikan ke mana-mana, bersama sahabatnya yang
kini telah pergi tanpa pamit.
“Mas..” ia menyapaku pelan, aku reflek menggenggam
tangannya, berusaha memberi kekuatan.
“Neng
g sanggup Mas, ini terlalu berat!” ia
mulai menyerah dengan keadaan ini, siapa pula yang sabar menunggu dalam masa
seperti ini, antara hidup dan mati.
“Pasti
bisa Neng, kita harus percaya sama Gusti Allah.” Aku tak tahu cara lain
menyemangatinya, aku bukan sahabatnya yang tahu detail tentang dirinya, yang
kutahu kini, aku ingin ia dan bayi kembar kami selamat, itu saja.
“Trisa
mana Mas?” Astaga, dalam keadaan genting seperti ini kenapa pula ia teringat akan
sahabat yang telah meninggalkannya tanpa alasan itu.
Sebelum
masuk ruang operasi, istri berpesan agar aku menghubungi sahabat lamanya,
sebenarnya kami sudah kehilangan kabar Trisa sejak malam akad nikah itu, ia
menghilang, pergi tanpa kabar, bahkan susah dihubungi via sms, dan terlefon
bahkan media sosailnya sudah dihapus, saat itu kami memilih tidak peduli
mungkin ia dapat tawaran kerja di negeri seberang.
Namun
tadi siang, sebelum isteriku positif untuk dioperasi, ia ngotot menyuruhku
mencari Trisa. Kemana pula aku harus mencari seseorang yang memutuskan pergi
dari kehidupan kami. Beruntung bundanya Trisa mau meberikan nomor kantor Trisa
kepadaku. Berkali-kali kutelefon tetapi tidak diangkat, dan aku hanya bisa
meninggalkan voice note di sana, pesanku sangat singkat.
“Nadya
sedang di masa genting untuk operasi sesar anak kembar kami, ia sedang drop dan
menyuruhku mencarimu, jika ada waktu datanglah di rumah sakit dekat seberang
Masjid Raya.”
Apakah
Trisa mendengar pesanku, aku tak yakin, dan aku memilih tidak peduli.
“Maaf
Mas, sudah waktunya untuk tindakan, tidak ada waktu lagi, keputusan harus
segara dibuat, kita akan berusaha semampunya.!” Pesan dokter wanita yang paruh
baya itu cukup menghujam ke jantungku. KITA AKAN BERUSAHA SEMAMPUNYA. Kalimat
apa ini, ini adalah kalimat yang mengucilkan hatiku.
Saat
itulah, yah saat itu Trisa datang setengah berlari ke arah kami, menggenggam
tangan istriku dengan tatapan yang hanya bisa diartikan oleh mereka berdua.
Aku
memilih mundur, aku tahu jika mereka sudah bertemu, hanya hati mereka yang
bicara. Trisa hanya mengangguk dan berusaha tersenyum menggenggam tangan
istriku dengan yakin, ada aura kekuatan serta semangat dari tatapannya. Trisa
mengusap kepala isteriku, lalu menyentuh pundaknya, dan mereka berdua mengangguk takzim.
Sungguh,
aku tak mengerti tatapan dan makna dari kejadian ini, namun aku yakin mereka
berdua sudah selesai dengan hal masalah ini.
Operasi
sedang berlangsung, aku menunggu di luar, begitupun dengan Trisa, ia memilih
duduk di pinggiran jendela, sedangkan aku tepat di depan pintu operasi.
“Kenapa
kau memutuskan pergi dan baru kembali saat ini?”
Tanya
dengan nada datar yang bahkan mungkin tak bisa di dengar oleh angin, tapi aku
tahu Trisa pasti mendengarkannya.
“Karena
itu janjiku kepada keluarganya, sebelum Ayah dan Bundanya pergi aku dititipi
amanah untuk selalu berda di sampingnya hingga akhirnya seseorang yang bergelar
imam itu hadir dalam hidupnya, saat itulah aku harus pergi, dan masalah
kepergianku itu bukan urusanmu.”
Jawaban
Trisa terkesan tegas, seolah aku memang tidak boleh tahu tentang dirinya selama
ini, karakternya juga tidak pernah berubah. Ia pandai sekali berakting ketika
kami berkumpul bertiga, seolah ia akrab denganku dan semunya terlihat indah,
namun ketika moment kami tinggal berdua, ia berubah, bahkan menganggapku asing
dalam hidupnya.
“Maafkan
aku jika pernah melukai hatimu Na...” Aku akhirnya mengalah.
“Aku
tidak pernah merasa tersakiti, karena orang sepertiku sudah terbiasa dengan
menepati janji dan tak ingin mengganggu kehidupan orang lain.” Jawabnya cepat
“Kenapa
kau menganggap kami orang lain? Aku sudah menganggapmu seperti kakak Na..”
Emsosiki hampir naik.
“Apa
kau bisa diam, perbanyalah do’a untuk kesembuhan istri dan kelahiran 2 anakmu,
karena aku terlalu takut dengan janji kami tadi.” Ia membentakku cepat.
Aku memilih diam, bicara dengan Trisa memang
begitu aku tak pernah menang, ada saja yang bisa ia jadikan jawaban. Akupun
entah kenapa tetiba lupa dengan istriku di dalam sana yang sedang bertarung
nyawa.
Dua
jam kemudian pintu itu dibuka, aku dipersilahkan masuk untuk mengazankan dua
putra kembarku, sementara istriku bersama Trisa. Saat seperti ini ia memilih
bersama Trisa, ia memiliki ruhiyah yang kuat bahkan menyatu dengan istriku.
Aku
bersyukur semuanya berjalan lancar, kami sudah di ruangan inap, dengan dua
putra kembar kami, belum ada nama untuk mereka. Ku lihat istriku ceria,
wajahnya berseri-seri mungkin karena kehadiran dua putra dan sahabat karibnya
ia merasa lebih hidup, dan lupa atas keputus asaannya menjelang operasi tadi.
Aku
duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dan tersenyum hangat, mengusap
kepalanya dengan lembut hingga akhirnya ia tertidur pulas. Kurasa ia terlalu
lelah dengan ini semua, namun aku mulai merasakan sesuatu yang aneh, tangannya
berubah menjadi dingin dan aku tak bisa merasakan hembusan nafasnya, aku
mencoba memanggil namanya berkali kali dan mengguncangkan bahunya, tapi tidak
ada respon, aku menoleh ke belakang melihat ke arah Trisa yang ternyata matanya
telah basah dan air mata itu mengalir deras di pipi Trisa
“Dia
sudah pergi Mas, meninggalkan kita semua....”
Lucky Club Casino Site - Bet £10 Get £50 Welcome Bonus
BalasHapusLucky Club is an online casino site for bettors that are looking for a new place to play, and luckyclub.live we have a selection of games to choose from.