Minggu, 17 Januari 2016

Cerpen (Hati si Pendaki)



Hati si Pendaki
(Cerpen UniLilis)
Kalian pernah jatuh cinta tanpa alasan? Atau gini dech, jatuh cinta tanpa sengaja? Hayoo pernah atau g? Oke g usah dijawab, kalian cukup senyum-senyum aja kalau pernah, udah dech g perlu mengerutkan kening gitu, aku mau sedikit cerita tentang seseorang yang Jatuh Cinta tanpa alasan, tepatnya alasannya sederhanalah, karena kata pujangga amatiran seperti aku ini, cinta juga butuh alasan, agar ia selalu kekal dalam labuhan tak bertepi.
“Minggu ini mau ndaki ke mana lagi Da?” Tanyaku pada lelaki yang sedang menikmati teh hangat buatanku di kedai nan sederhana.
“Belum tahu Un, sepertinya mau keluar dari Pulau Sumatera sich, seperti Rinjani mungkin.” Jawabnya singkat sembari meletakkan tangan di atas gelas yang berisu teh hangat yang masih mengepul, maklumlah aku menyeduh teh itu dengan air yang mendidih, maklumlah di sini perbukitan nan dingin.
“Jauh-jauh ke Lombok Da, emangnya uda pernah mendaki atapnya Sumatera?” Aku bertanya heran kepadanya, bagaimana mungkin dia bosan dengan pulau yang banyak memiliki pegunungan dan beberapa gunung aktif ini.
“Belum, saya pernah ke sana sekali, namun belum berani untuk menakhlukkannya, karena...” Ia terdiam, lalu perlahan menseruput teh hangat itu, dan tiba-tiba ia menatapku tajam.
Aku terdiam, bingung, seperti seolah-olah aku telah mencampurkan racun di teh hangat itu.
“Kenapa Da? Ada yang salah dari teh nya?” Tanyaku.
“Ini bukan teh biasa yang sering un hidangkan, dan aku pernah meminum teh ini sebelumnya, bahkan aku sudah berusaha melupakan pahitnya teh ini.” Jawabnya tegas, yang hanya menambah kebingunganku.
“Oh, iya un lupa, itu teh Kayu Aro kiriman teman uni dari Jambi, sepertinya uni salah mengambil teh, maafin uni, mau uni ganti?” Balasku dengan merasa sedikit bersalah padanya.
Ia hanya terdiam, tatapannya jauh kedepan, bahkan mungkin menembus perbukitan tempat kedai ini berdiri.
“Teh ini tak ubah seperti racun dalam hidupku Un, ia kenangan yang menyakitkan, sama seperti wanita dan lelaki itu.” Kali ini ia meneguk teh hangat itu tanpa jeda, aku ingin menghentikannya, namun tidak berani.
“Maukah uni mendengarkan kisahnya? Dan alasan kenapa aku tak pernah mendaki Kerinci, puncak tertinggi di Pualu ini.”
Aku mengangguk, sebagai pelayan di kedai ibuku, apa yang kubisa? Selain mendengarkan curhat-curhatan para pendaki yang kebetulan singgah, atau cerita para penjelajah hutan yang ingin berteduh atau menghaangatkan badan dengan racikan teh ibuku.
“Satu tahun yang lalu gadis itu berhasil membujukku untuk menjenguk serta mendaki Gunung Kerinci, ia adalah gadis yang memang lahir di sana, bahkan ia suka menshare foto-foto keindahan Kerinci di media sosialnya tak luput aku dan sahabatku yang sang pendaki amatiran inipun tertarik, tidak hanya kepada Kerinci tapi kepadanya juga. Hari itu semua perlengkapan sudah disiapkan, tinggal berangkat menuju shleter pendakian, karena ini adalah pendakian pertama di sini, untuk jaga-jaga aku mengajak sahabat karibku yang tak pernah absen menemaniku mendaki, kamipun bersiap untuk mendaki, dan aku tak sabar untuk mendaki bersamanya, sebuah kebahagian bagi kami seorang pendaki Un, jika bisa pergi mendaki bersama orang yang kami cintai, maka spirit yang kupunya juga tinggi, aku ingin menunjukkan jika aku adalah pendaki hebat di matanya, namun sesuatu hal terjadi sore itu, sebelum kami berangkat.”
Meski tak mengerti, aku berusaha mendengarkan cerita lelaki ini.
“Ternyata wanita itu sengaja mengajakku mendaki Un, ia pasti tahu jika aku mendaki akan membawa Andre sahabat terbaikku, kami sama-sama pendaki dan selalu bersama jika mendaki kemanapun dan sore itu, gadis itu berhasil memisahkan persahabatan yang telah kami bina, ia dengan berani menyatakan cinta kepada Andre tepat di kaki gunung Kerinci uni, di antara dedaunan Teh Kayu Aro, dan aku melihat kejadian itu di depan mataku, melihat senyuman Andre dan tawa manis gadis itu.”
Aku terkejut, berani juga gadis itu menyatakan cinta pada lelaki.
“Aku bingung, apa Andre juga selama ini menyimpan rasa ang sama, namun aku sudah tidak peduli uni, aku meninggalkan mereka semua, aku kembali ke sini, kutulis surat singkat, kukatakan jika keluargaku ada kemalangan dan aku harus segara kembali, kubatalkan niatku untuk mendaki atapnya Sumatera yang menjadi saksi hatiku hancur, dan sebelum pulang aku meminum teh kayu aro yang dibuatkannya untuk kami berdua, aku meminum semuanya, ada 3 botol kulahap dengan cepat...”
Aku memberanikan diri mnatap wajahnya, mencoba mencari tetes air mata di sana, tetapi tidak ada, “kuat juga laki-laki ini” pikirku dalam hati.
“AKU BENCI TEH KAYU ARO INI UNI...”
Aku terkejut, tiba-tiba ia mengeraskan suaranya dan membuat aku berdiri tegak, dan terpaksa memberinya sedikit materi kuliah.
“Seharusnya uda bersyukur, berarti uda masih punya waktu untuk menemukan yang lebih baik, wanita yang memang memahami uda, dan tentunya tidak harus seorang pendaki juga, apalagi yang hobi ngeshare-share foto tanpa pernah menikmati keindahannya secara langsung, tapi pointnya temukanlah seseorang yang MEMAHAMI, itu...”
Aku mengemasi gelas kosong bekas minumnya, lalu beranjak ke belakang.
Aneh, fikirku, dia bisa jatuh cinta sama wanita yang hanya suka share-share foto gunung dan oemandangan indah, maka yang ia dapatkan sekedar foto-foto itulah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar