Cinta
Bang Day Jilid 9
(Tanpa
Perhatian)
Dalam
keadaan setengah sadar dan terkulai lemah, bang Dayat membimbingku menuju
tempat tidur, membaringkanku perlahan, kondisiku lemah, ku dengar ia sedang
menelefon seseorang, namun aku tidak begitu mendengar percakapan itu, yang aku
tahu aku telah tertidur lagi di kamar.
Sayup-sayup
terdengar suara bang Dayat mengaji, ia baru selesai sholat Magrib di samping
tempat tidur, aku pun terbangun dan menyaksikan punggungnya, terdengar ia sudah
sampai di bacaan surah al-a’la, surat favorit kami ketika kecil dahulu, aku
ikut memuroja’ah surah itu, surah kebanggan kami bersama alm ustadz Nasir.
Betapa terguncangnya hatiku bisa memuroja’ah surah itu, aku pun turun dari
tempat tidur dan duduk membelakangi bang Dayat, kami berdua bersamaan membaca
surat itu.
Aku
mengusap air mataku, mengenang masa kecil hanya membuat kerinduan ini semakin
membuncah dan mengundang air mata, spontan aku berbalik dan ternyata dalam
hitungan detik bang Dayat juga membalikkan badannya, kini kami saling
berhadapan.
Bang
Dayat menyentuh kedua tanganku, dan mengusap-usap kepalaku.
“Kalau ada yang salah dari abang,
tolong dibicarakan baik-baik dek, jangan dibawa menangis dan menangis, menangis
hanya akan membuat fisik kita lemah, dan tenaga kita terkuras dek, belajarlah
memahami rasa rindu, abang ini kerja dek, banyak yang harus abang fikirkan,
seharusnya Me paham akan hal itu, sebentar lagi abang naik pangkat, dan abang
berharap Me selalu bisa memotifasi dan menyemangati abang, serta mendo’akan
abang, bukannya menambah beban fikiran abang Me, tolonglah dewasa Me, kemana Me
yang tangguh itu...?”
Bagaikan
petir yang menyambar hati, itukah kalimat-kalimat yang diucapkannya kepadaku
malam ini? Setelah kepergian beberapa? Ku kira ia akan mengobati rasa rindu ini
dengan memberiku sebuah pelukan hangat, atau menghiburku dengan canda tawanya,
tetapi inikah yang kudapatkan, sebuah pengakuan darinya tentang sikapku selama
ini? Tidak tahukah dia jikalau aku hanya ingin bersamanya, mungkin ini yang
diinginkan calon janin ini, disapa lembut oleh ayahnya, tetapi kenapa isi
kepala bang Dayat hanya kerja, kerja dan dunia serta pangkat. Sejak kapan ia
peduli dengan kenaikan jabatan itu. Sungguh aku sedang tidak ingin berdebat,
jujur aku kehilangan kehangatan darinya, dua minggu tidak di rumah membuatnya
lupa esensi dari hidup berumahtangga, walaupun ia tetap ingat dengan Rabbnya.
Aku
berdiri, mengusap air mataku, ucapannya malam ini cukup membuatku mengambil
keputusan seketika.
“Me mau sholat dulu..!”
jawabku datar.
Aktivitas
kami malam ini telah selesai, sekarang jam kami beristirahat, aku canggung
menyapanya yang sedang sibuk dengan laptop dan HP serta lembaran-lembaran kertas
persentasinya. Aku membuatkan segelas susu cokelat hangat kesukaannya, sembari
memajang wajah penuh senyum walau hatiku sedang tidak ingin menyapanya, tetapi
demi izin yang ingin kuminta, wajah penuh senyum kepalsuan terpaksa harus
terpancar juga.
“Bang, ini susu hangatnya semoga
bisa membuat rilex dan menambah semangat.” Aku tersenyum
walau sedikit kecut dan memilih duduk di belakangnya. Beberapa menit saling
terdiam aku mulai berani membuka suara.
“Hmmm bang...”
sapaku lembut.
“Ya Me?”
jawabnya singkat.
“Me boleh nginap di rumah uda besok
Bang? Kebetulan Me sudah libur sekolah, lagian abang kan sedang sibuk-sibuknya,
Me takut mengganggu dan Me mau bantuin uda dan uni mengajar mengaji anak-anak
sesudah Magrib.” aku bertanya ragu-ragu.
“Oh, ya kalau itu yang Mela
inginkan. Kapan mau abang hantar ke rumah uda?”
itu jawabannya.
Ya
Allah ku kira ia akan menahanku di sini, tidak membolehkanku pergi, tapi...
baiklah Me, kuatkan hatimu, dunia sedang di hadapan suami mu...
“Hmmm besok pagi saja, sekalian
sama bang Day pergi kerja kan?” balasku singkat.
“Ya, besok abang hantar...!”
Dan,
kali ini bang Day benar-benar menginginkan aku pergi dan ia jrlas-jelas tidak
ingin diganggu, kenapa ya susah sekali untuk membuat laki-laki itu peka dengan
keadaan perempuan, tidak selamanya ‘iya’ kata perempuan itu adalah ‘iya’ yang
sebenarnya, bisa jadi ia hanya ingin dibujuk dan dimanja-maja, tetapi...baiklah
aku bukan anak gadis lagi, aku harus kuat dan tegas dengan keputusan yang telah
kubuat, mungkin tinggal di rumah uda beberapa hari bisa membuatku merasa
sedikit lega dan tenang, sembari membiarkan bang Day mengejar
keinginan-keinganan duniawinya.
Aku
kesal, sungguh, sejak kapan urusan jabatan dan pangkat itu menguasai hati dan
ambisinya... padahal gaji dan keuangan selama ini baik-baik saja bahkan lebih
dari cukup, atau memang itukah sifat laki-laki selalu ingin lebih tinggi dan
lebih merasa ingin di atas dan dihargai, tetapi kenapa itu juga menimpa
suamiku, yang kurasa selama ini ia tidak akan mengejar dunia itu.
Aku
jadi teringat nasehat uni, istrinya uda,
“Pekerjaan itu adalah sebuah ambisi
dan gengsi bagi kaum laki-laki, mengapa banyak laki-laki yang menunggu mapan
baru menikah? Karena itu Me, karena bagi mereka pekerjaan adalah sebuah
kehormatan, harga diri, tapi bagi uda mu, itu semua tidak begitu menguasai
hatinya, bahkan ia menerima uni yang bekerja sebagai guru, dan ia tidak memaksa
uni untuk berhenti kerja bahkan ia enjoy dengan kehidupan ini, mungkin karena
akhirat dan dunia udamu seimbang Me.”
Uda
memang begitu, pemahamannya terhadap agama tidak terlalu membuatnya berambisi
untuk meraih sesuatu, bahkan terkadang cita-cita uda sederhana. Kenapa bang Day
seperti ini, penuh ambisi atau.. ah ya Allah hanya kepadaMu aku menitip
suamiku, jaga dan bimbing ia ya Rabb.
Pagi
ini agak mendung, tetapi tidak menyurutkan langkah bang Day berangkat kerja dan
mengantarkanku ke rumah uda, bahkan ia sangat semangat hari ini, ia sampai pagi
ini tidak membujukku apapun, semuanya berjalan apa adanya dan kurang hangat
kurasa, tetapi baiklah mungkin ini adalah cara agar cita-citanya terwujud dan
akupun tidak ingin mengganggunya, berada di dekatnya saat ia sedang bekerja dan
focus adalah sesuatu yang nantinya hanya akan menyakiti hatiku sendiri.
Sepanjang
perjalanan menuju rumah udapun, bang Dayat sibuk dengan mengangkat telefon dari
delegasinya, menager bahkan orang asing yang membuatnya mengeluarkan bahasa
asing. Aku hanya tersenyum melihatnya sibuk dengan telfon-telfon aneh itu,
hingga tiba di rumah uda, kami disambut dengan hujan gerimis.
“Dek, jangan menyusahlan uda ya,
kan uni juga sedang sibuk, kalau ada apa-apa kabarin abang ya, dan do’akan
abang ya, semoga abang bisa naik pangkat dan kita bisa...eh”
“Me akan selalu mendoakan abang,
dan semoga apa yang abang inginkan tercapai bang, dan satu lagi abang harus
ingat.. Me sedang mengandung, jadi Me harap perhatian dari abang.”
Balas ku sedikit ketus.
Ia
terdiam, menyodorkan tangan kanannya, sembari tangan kirinya mengusap kepalaku,
saat seperti inilah yang seringkali membuatku ingin menangis, sentuhan lembut
nan sederhana. Aku mengangguk dan pamit ke dalam, ku lihat uda menuju ke luar
dan berbicara dengan bang Dayat, sepertinya yang mereka bicarakan adalah
perkara yang serius, hingga akhirnya kulihat bang Dayat pergi dengan tatapan
sayu, dan uda kembali juga dengan tatapan yang sama.
Aku
enggan bertanya banyak hal pada uda, yang jelas uda tahu apa yang sedang
kurasakan karena tadi malam aku menceritakan kerisauanku kepada uda, dan uda
tentu tahu isi hati adik kesayangannya ini.
Hanya
do’a yang kini bisa mewakili kecamuk hati dan buah hati, semoga apa yang ia
usahakan adalah hal terbaik untuk kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar