Rabu, 03 Juni 2015

Cinta Bang Day Jilid 9



Cinta Bang Day Jilid 9
(Tanpa Perhatian)
Dalam keadaan setengah sadar dan terkulai lemah, bang Dayat membimbingku menuju tempat tidur, membaringkanku perlahan, kondisiku lemah, ku dengar ia sedang menelefon seseorang, namun aku tidak begitu mendengar percakapan itu, yang aku tahu aku telah tertidur lagi di kamar.
Sayup-sayup terdengar suara bang Dayat mengaji, ia baru selesai sholat Magrib di samping tempat tidur, aku pun terbangun dan menyaksikan punggungnya, terdengar ia sudah sampai di bacaan surah al-a’la, surat favorit kami ketika kecil dahulu, aku ikut memuroja’ah surah itu, surah kebanggan kami bersama alm ustadz Nasir. Betapa terguncangnya hatiku bisa memuroja’ah surah itu, aku pun turun dari tempat tidur dan duduk membelakangi bang Dayat, kami berdua bersamaan membaca surat itu.
Aku mengusap air mataku, mengenang masa kecil hanya membuat kerinduan ini semakin membuncah dan mengundang air mata, spontan aku berbalik dan ternyata dalam hitungan detik bang Dayat juga membalikkan badannya, kini kami saling berhadapan.
Bang Dayat menyentuh kedua tanganku, dan mengusap-usap kepalaku.
“Kalau ada yang salah dari abang, tolong dibicarakan baik-baik dek, jangan dibawa menangis dan menangis, menangis hanya akan membuat fisik kita lemah, dan tenaga kita terkuras dek, belajarlah memahami rasa rindu, abang ini kerja dek, banyak yang harus abang fikirkan, seharusnya Me paham akan hal itu, sebentar lagi abang naik pangkat, dan abang berharap Me selalu bisa memotifasi dan menyemangati abang, serta mendo’akan abang, bukannya menambah beban fikiran abang Me, tolonglah dewasa Me, kemana Me yang tangguh itu...?”
Bagaikan petir yang menyambar hati, itukah kalimat-kalimat yang diucapkannya kepadaku malam ini? Setelah kepergian beberapa? Ku kira ia akan mengobati rasa rindu ini dengan memberiku sebuah pelukan hangat, atau menghiburku dengan canda tawanya, tetapi inikah yang kudapatkan, sebuah pengakuan darinya tentang sikapku selama ini? Tidak tahukah dia jikalau aku hanya ingin bersamanya, mungkin ini yang diinginkan calon janin ini, disapa lembut oleh ayahnya, tetapi kenapa isi kepala bang Dayat hanya kerja, kerja dan dunia serta pangkat. Sejak kapan ia peduli dengan kenaikan jabatan itu. Sungguh aku sedang tidak ingin berdebat, jujur aku kehilangan kehangatan darinya, dua minggu tidak di rumah membuatnya lupa esensi dari hidup berumahtangga, walaupun ia tetap ingat dengan Rabbnya.
Aku berdiri, mengusap air mataku, ucapannya malam ini cukup membuatku mengambil keputusan seketika.
“Me mau sholat dulu..!” jawabku datar.

Aktivitas kami malam ini telah selesai, sekarang jam kami beristirahat, aku canggung menyapanya yang sedang sibuk dengan laptop dan HP serta lembaran-lembaran kertas persentasinya. Aku membuatkan segelas susu cokelat hangat kesukaannya, sembari memajang wajah penuh senyum walau hatiku sedang tidak ingin menyapanya, tetapi demi izin yang ingin kuminta, wajah penuh senyum kepalsuan terpaksa harus terpancar juga.
“Bang, ini susu hangatnya semoga bisa membuat rilex dan menambah semangat.” Aku tersenyum walau sedikit kecut dan memilih duduk di belakangnya. Beberapa menit saling terdiam aku mulai berani membuka suara.
“Hmmm bang...” sapaku lembut.
“Ya Me?” jawabnya singkat.
“Me boleh nginap di rumah uda besok Bang? Kebetulan Me sudah libur sekolah, lagian abang kan sedang sibuk-sibuknya, Me takut mengganggu dan Me mau bantuin uda dan uni mengajar mengaji anak-anak sesudah Magrib.” aku bertanya ragu-ragu.
“Oh, ya kalau itu yang Mela inginkan. Kapan mau abang hantar ke rumah uda?” itu jawabannya.
Ya Allah ku kira ia akan menahanku di sini, tidak membolehkanku pergi, tapi... baiklah Me, kuatkan hatimu, dunia sedang di hadapan suami mu...
“Hmmm besok pagi saja, sekalian sama bang Day pergi kerja kan?” balasku singkat.
“Ya, besok abang hantar...!”
Dan, kali ini bang Day benar-benar menginginkan aku pergi dan ia jrlas-jelas tidak ingin diganggu, kenapa ya susah sekali untuk membuat laki-laki itu peka dengan keadaan perempuan, tidak selamanya ‘iya’ kata perempuan itu adalah ‘iya’ yang sebenarnya, bisa jadi ia hanya ingin dibujuk dan dimanja-maja, tetapi...baiklah aku bukan anak gadis lagi, aku harus kuat dan tegas dengan keputusan yang telah kubuat, mungkin tinggal di rumah uda beberapa hari bisa membuatku merasa sedikit lega dan tenang, sembari membiarkan bang Day mengejar keinginan-keinganan duniawinya.
          Aku kesal, sungguh, sejak kapan urusan jabatan dan pangkat itu menguasai hati dan ambisinya... padahal gaji dan keuangan selama ini baik-baik saja bahkan lebih dari cukup, atau memang itukah sifat laki-laki selalu ingin lebih tinggi dan lebih merasa ingin di atas dan dihargai, tetapi kenapa itu juga menimpa suamiku, yang kurasa selama ini ia tidak akan mengejar dunia itu.
Aku jadi teringat nasehat uni, istrinya uda,
“Pekerjaan itu adalah sebuah ambisi dan gengsi bagi kaum laki-laki, mengapa banyak laki-laki yang menunggu mapan baru menikah? Karena itu Me, karena bagi mereka pekerjaan adalah sebuah kehormatan, harga diri, tapi bagi uda mu, itu semua tidak begitu menguasai hatinya, bahkan ia menerima uni yang bekerja sebagai guru, dan ia tidak memaksa uni untuk berhenti kerja bahkan ia enjoy dengan kehidupan ini, mungkin karena akhirat dan dunia udamu seimbang Me.”
Uda memang begitu, pemahamannya terhadap agama tidak terlalu membuatnya berambisi untuk meraih sesuatu, bahkan terkadang cita-cita uda sederhana. Kenapa bang Day seperti ini, penuh ambisi atau.. ah ya Allah hanya kepadaMu aku menitip suamiku, jaga dan bimbing ia ya Rabb.

Pagi ini agak mendung, tetapi tidak menyurutkan langkah bang Day berangkat kerja dan mengantarkanku ke rumah uda, bahkan ia sangat semangat hari ini, ia sampai pagi ini tidak membujukku apapun, semuanya berjalan apa adanya dan kurang hangat kurasa, tetapi baiklah mungkin ini adalah cara agar cita-citanya terwujud dan akupun tidak ingin mengganggunya, berada di dekatnya saat ia sedang bekerja dan focus adalah sesuatu yang nantinya hanya akan menyakiti hatiku sendiri.
Sepanjang perjalanan menuju rumah udapun, bang Dayat sibuk dengan mengangkat telefon dari delegasinya, menager bahkan orang asing yang membuatnya mengeluarkan bahasa asing. Aku hanya tersenyum melihatnya sibuk dengan telfon-telfon aneh itu, hingga tiba di rumah uda, kami disambut dengan hujan gerimis.
“Dek, jangan menyusahlan uda ya, kan uni juga sedang sibuk, kalau ada apa-apa kabarin abang ya, dan do’akan abang ya, semoga abang bisa naik pangkat dan kita bisa...eh”
“Me akan selalu mendoakan abang, dan semoga apa yang abang inginkan tercapai bang, dan satu lagi abang harus ingat.. Me sedang mengandung, jadi Me harap perhatian dari abang.” Balas ku sedikit ketus.
Ia terdiam, menyodorkan tangan kanannya, sembari tangan kirinya mengusap kepalaku, saat seperti inilah yang seringkali membuatku ingin menangis, sentuhan lembut nan sederhana. Aku mengangguk dan pamit ke dalam, ku lihat uda menuju ke luar dan berbicara dengan bang Dayat, sepertinya yang mereka bicarakan adalah perkara yang serius, hingga akhirnya kulihat bang Dayat pergi dengan tatapan sayu, dan uda kembali juga dengan tatapan yang sama.
Aku enggan bertanya banyak hal pada uda, yang jelas uda tahu apa yang sedang kurasakan karena tadi malam aku menceritakan kerisauanku kepada uda, dan uda tentu tahu isi hati adik kesayangannya ini.
Hanya do’a yang kini bisa mewakili kecamuk hati dan buah hati, semoga apa yang ia usahakan adalah hal terbaik untuk kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar