Cintanya
Day..
Aku
menunggunya pulang, tak biasanya ia pulang malam, biasanya menjelang magrib ia
sudah ada di rumah, tapi entah kenapa jam 10 malam ini pun ia belum pulang. Aku
menunggunya di pelataran rumah sembari menatap pagar biru yang dulunya sering
aku tatap setiap pagi hari.
Yah,
pagar biru dengan nomor rumah 32, di complek cevron rumah tetap para pegawai
yang bekerja di camp chevron. Yah sejak dari kecil aku selalu memperhatikan
pagar biru itu berharap ada dia yang berwajah teduh menatapku dari dalam. Bahkan
dulu sengaja memanggil-manggilnya.
“Bang Dayaaaat, bang Dayaaaat...”
Teriak ku kala itu, setiap menjelang ashar aku selalu singgah ke sana untuk
memanggilnya lalu mengajaknya sholat ashar bersama di masjid setelah itu mengaji
bersam dengan ustadz Nasir.
Diapun
sudah tahu dengan kebiasaanku ini, dan dia tahu kalau yang memanggilnya itu
aku, lihatlah ia keluar dengan celana goyang berwarna hitam dan baju koko
putihnya ditambah peci hitam, amboy betapa gagahnya ia kala itu, dan menghampiriku
yang sedang tersenyum di seberang pagar rumahnya
“yok Me, abang dah siap ni.” balasnya
Kamipun
berjalan bersama menuju masjid, dan sepanjang perjalanan kami bertemu dengan
kawan-kawan yang lain, menjelang sampai di masjidpun anggota kamipun sudah
ramai. Ah masa kecilku indah sekali...
“ASSALAMUALAIKUM!!”
Aku
terkejut, sapaan itu keras sekali terdengar di telingaku.
“YA ALLAH..., Abang! abang ni,,,
kalau pulang tidak mengagetkan orang tidak puas kah?”
Aku termenung lama hingga tak sadar bahwa ia sudah pulang bahkan sudah di
hadapanku.
“Kamu ni,, mengkhayal saja... kamu
kira ada Dayat kecil di seberang jalan itu? Tak ada lah,,, Dayat kecil sudah
lama pergi, sudah tu...masuk rumah dah malam ni!”
Ia berucap datar tapi menusuk
Kini
ia memang tak lagi sama dengan yang dulu, bahkan berubah drastis, aku menemukan
orang lain di dirinya, bang Dayat yang kukenal dulu memang tidak ada, tetapi
rasa cinta yang ada di dalam hati ini tetap ada, bahkan tetap hidup untuknya.
Aku
mengikutinya masuk, menutup pintu dan mengusap air mata yang sempat jatuh di
pipi. Aku memilih duduk di ruang tamu, sembari menungunggunya membersihkan
diri, semua perlangkapannya sudah kusiapkan di kamar, air hangatpun sudah ada
di kamar mandi, dan masakan kesukaannya yang dibuatin ibunya tadi sore juga sudah
kuhidangkan, dan ia seperti biasanya tidak ingin aku temani saat makan,
terkecuali ketika ada mamanya berkunjung, karena mama tinggal sendiri,
terkadang mama di sini terkadang mama ikut kakak di Panam, dan terkadang mama
ke Padang menemani adek bungsu bang Day, dan malam ini mama pamit ke Padang
menemani adek bang Dayat yang sedang sibuk menulis skripsi.
“oi.... ooooi... anak masjid bisa
temankan saya makan? Mama g ada ni, sunyi aja meja ni, sinilah duduk, kamu kan
suka cerita dan agak ribut, nah sini biar ada pula yang ribut...”
Astagfirullah kasarnya kata-kata yang keluar dari mulutnya, kalau mau minta
tolong tak bisakah berkata baik-baik, bahkan memanggilpun “anak masjid” “kamu”
dia kira aku ni anak murid di sekolah kah.., astaga memanglah aku suka sekali
di masjid tapi tak haruskah memanggilku dengan panggilan anak masjid.
Dengan
lemah aku jalan menuju meja makan, memasang wajah penuh senyum menatapnya yang
sedang asyik makan, tapi apa balasannya...
“eh, tak usah pasnag muka senyum,
aku tak akan tertarik dengan wajah sok imut tu...”
jleb..
“tapi saya suka sedekah dengan
abang...”
“sedekah? Kamu kira aku miskin?”
“iya... miskin perasaan, senyum itu
sedekah paling sederhana lah bang... meluluhkan hati yang keras, atau terlanjur
keras..” kali ini aku terpaksa melayaninya berdebat, sudah
lama aku menahan hati tak melawan kata-katanya dan kebetulan tidak ada mama,
kesempatan lah.
“ooooow ow ow, dah pandai anak masjid
ceramah di rumah ni.... aplous...” ya Allah balasan
kata-katanya.
“memang pandai... almarhum ustadz
Nasir yang mengajar Me.. kenapa? Abang g datang kan waktu beliau mengajarkan
ceramah, bahkan abang tak pandai kan berdiri di depan umum untuk meberikan
ceramah, pantas lah abang tidak pandai bersosialisasi dengan orang di sekitar
abang,...” ya Robb terpaksa lah melawan suami seperti ini,
maaf kan hamba ya Allah...
“DIAM... tak usah bawa-bawa
almarhum ustadz Nasir.” Ia membentakku
Sontak
aku terdiam, apa dia merasakan Day kecil itu kembali, atau ia merasa bersalah
karena tak mengikutI nasehat ustad Nasir, entahlah jujur aku tak menemukan
dirinya yang dulu, tapi wajah diamya itu masih sama. Lama kami terdiam di meja
makan, semua makanan sudah kubereskan selesai parcakapan itu tak ada percakapan
yang lain..
“saya mau ke kamar, abang ada
keperluan lagi dengan saya?” kalau tak ingat dia
adalah suami yang akan membukakan pintu surga untukku sudah kutinggal ia dari
tadi, tapi hufft demi ilmu agama yang selama ini kupelajari dan demi semua yang
mendoakan ku, terpaksa aku pamit kepadanya.
“ada...”
ia beranjak dari duduknya
Aku
berbalik badan menghadapnya, dan ia pun menatapku tajam
“kenapa bang?”
aku bertanya dengan nada lemah
“kamu... kenapa mau menikah dengan
aku? Tak adakah laki-laki atau ikhwan-ikhwan pengajian kamu tu yang mau menikah
dengan kamu?” aih, pertanyaan apa ini
Jleb...
itu kah yang ingin dia tanya, aku masih diam membisu, tepatnya menyusun
kata-kata yang pas untuk menjawabnya.
“ha, kenapa diam, tak sanggup ya
ikhwan-ikhwan tu menikahi wanita seperti kamu ni? kan kamu anak masjid,
kesayangan usatdz Nasir, kuliah ilmu agama pun, kenapa harus memilih aku?”
inikah pertanyaannya?
Huffft,
haruskah ia menghinaku seperti itu, membawa-bawa partner dakwah pulak
“kenapa saya mau menikah dengan
abang? Oh itu pertanyaannya, saya balek bertanya sama abang, kenapa abang
melamar saya? Membawa mama ke rumah hari itu? Kenapa?”
terima balasan pertanyaan tu Day,,,
Dan
ia akhirnya terdiam
“tak bisa jawab kan?”
aku hendak beranjak ke kamar berniat meninggalkannya tapi terdengar juga ucapan
dari dirinya.
“karena pesan almarhum papa, pesan
itu beliau sampaikan saat ia sakit...” kali ini suaranya
sangat rendah.
Aku
berbalik arah, melihatnya menunduk, kalau lah aku berani mendekatinya...
“pesan papa kala itu, menyuruhku
mencari istri seperti mama, yang bisa mengaji yang sholatnya rajin, dan bisa
menemani papa, selalu ada di samping papa, saat papa sakit dan tak bisa
melakukan apapun, mama tetap ada di samping papa, kamu tahu, satu nama yang
disebutkan papa kala itu nama kamu, Mela Saputri, itu nama kamu kan? Bahkan
kala itu aku mengangguk, walau akhirnya tak bisa mengaji bersama lagi, kamu
tahu aku rindu sekali dengan masa-masa itu, terlebih saat papa meninggal, aku
melihat kamu datang bersama almarhum ustadz Nasir, aku juga tahu ada duka di
hati kamu, tapi.. seperti itu lah aku tak siap menerima kenyataan kala itu, bahkan
memutuskan untuk tak mengaji lagi fokus dengan sekolah dan sekolah, bahkan tak
sempat untuk bermain dan menjengukmu di masjid. Aku hanya mempersiapkan diri
untuk bisa menerimamu menerima kenyataan menikah dengan wanita yang biasa
disebut anak bedeng, rumah susun yang ada di masjid, sementara aku? Anak cevron
yang rumahnya mewah-mewah.. belum lagi ejekan kawan-kawan ku di complek, itu
semua menaikkan egoku... tapi.. itu semua musnah seiring berjalannya waktu dan
bertambhnya usia, benih di hati ini semakin tumbuh kuat, semakin aku tak ingin
bertemu denganmu semakin rindu itu datang menyerang, setelah tamat SMP, SMA aku
memutuskan untuk sempurna melupakanmu, hijrah ke Padang kuliah di sana, dan yang
penting bisa melupakanmu, karena selama ini suara vokalmu selau terdengar di
masjid, suaramu mengajarkan ngaji anak-anak, suaramu ceramah, suaramu tilawah,
semuanya mengganggu dan semakin menyuburkan benih di hati ini. Sementara ego
ini semakin menjadi-jadi tak mau menikah denganmu...”
ia terduduk di sofa ruang tamu.
Sementara
aku sudah dari tadi menangis, tak sanggup melihat wajahnya, ternyata ada cinta
dibalik egoismenya, aku tetap berdiri,
kali ini aku memberanikan diri melihatnya duduk, wajah kecilnya kembali lagi,
wajah yang juga kurindukan.
Aku
tahu sejak ayahnya meninggal, ia tak terlihat lagi di masjid tak terlihat lagi
mengaji, apalagi bulan puasa ia sering pulang sebelum sholat witir selesai, ia
pulang bersama ibunya, sementara adik dan kk nya masih tinggal, dan aku tak
berani berbicara dengan kk serta adiknya karena aku tidak dekat dengan mereka,
apalagi dengan ibunya aku takut dikira mencari perhatian, dan terkadang aku hanya
senyum saja saat bertemu dengan mereka.
Dan
saat aku ceramah, aku mengaji di masjid itu sengaja, sungguh sengaja, aku ingin
ia tahu kalau aku ada di masjd, tapi apa daya ia tak peduli, dan kebanyakan
hari-hari ku memang di masjid, aku selalu berusaha untuk tetap berjamaah di
masjid seperti pesan ustadz Nasir.
Setelah
selesai kuliah dan mendapat pekerjaan di sini, aku tak juga melihatnya ada di
rumah berpagar biru itu.
“sebenarnya abang ada kok di rumah
ni..!” ia menyambung ceritanya dibagian yang sama dengan yang
sedang kuingat.
“abang berangkat kerja pagi,
selepas subuh dan pulang setelah magrib, dan abang tahu kok, Me suka melirik
rumah ini kan berharap abang ada. Tetapi hanya mama yang sering Me jumpai, dan
karena mama tak sanggup melihat Me selalu bolak-balik melewati rumah abang, mama
cerita semuanya ke abang, Me tahu saat itu mama mengingatkan semuanya termasuk
amanah paapyang menyuruh abang melamar Me, padahal kita belum pernah bertemu
setelah kita sama-sama dewasa kan?”
Aku
mengagguk, walaupun berjumpa itu tak sengaja dan ia hanya tersenyum sederhana,
kalaulah dia tahu benih itu juga sudah tumbuh lama di hati ini, rasa rindu dan
penasaran yang menggebu-gebu tapi apa dayalah, kesibukanku yang banyak dan
mengejar beasiswa S.2 di Padang.
“dan sekarang abang masih belum
ikhlas kalau akhirnya abang menikah dengan saya, anak masjid? Abang menyesal
kah? Atau karena amanah ayah abang? Lalu kita mau bangun rumah tangga ni atas
dasar paksaan amanah almahum papa abang? Gitu...!”
entah apa yang membuatku mengeluarkan kata-kata ini, lihatlah kali ini ia yang
menunduk dan menangis.
“please dek, maafkan abang,
kesabaran Me sudah melunturkan keegoisan abang, maafkan kesalahan abang sebulan
terakhir ini...”
Aku
berbalik badan, “dek” ya Allah ia memanggilku “dek”, lalu kenapa aku yang jadi
egois bukankah seharusnya aku mengalah dan menerima semuanya serta membuka
lembaran baru dengannya.
Ia
menarik tanganku, menatapku dengan tatapan sayunya, aku melihatnya astaga... dengan
setengah berlutut, ia menggenggam kedua tanganku, dan akhirnya aku temukan ia
yang dulu... hatikupun luluh dibuatnya, dan mengangguk. Ia berdiri lalu
mengusap air mataku
Terimakasih
atas semuanya duhai Penguasa Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar