Jumat, 03 April 2015

Cinta Dari Day



Cintanya Day..
Aku menunggunya pulang, tak biasanya ia pulang malam, biasanya menjelang magrib ia sudah ada di rumah, tapi entah kenapa jam 10 malam ini pun ia belum pulang. Aku menunggunya di pelataran rumah sembari menatap pagar biru yang dulunya sering aku tatap setiap pagi hari.
Yah, pagar biru dengan nomor rumah 32, di complek cevron rumah tetap para pegawai yang bekerja di camp chevron. Yah sejak dari kecil aku selalu memperhatikan pagar biru itu berharap ada dia yang berwajah teduh menatapku dari dalam. Bahkan dulu sengaja memanggil-manggilnya.
“Bang Dayaaaat, bang Dayaaaat...” Teriak ku kala itu, setiap menjelang ashar aku selalu singgah ke sana untuk memanggilnya lalu mengajaknya sholat ashar bersama di masjid setelah itu mengaji bersam dengan ustadz Nasir.
Diapun sudah tahu dengan kebiasaanku ini, dan dia tahu kalau yang memanggilnya itu aku, lihatlah ia keluar dengan celana goyang berwarna hitam dan baju koko putihnya ditambah peci hitam, amboy betapa gagahnya ia kala itu, dan menghampiriku yang sedang tersenyum di seberang pagar rumahnya
“yok Me, abang dah siap ni.” balasnya
Kamipun berjalan bersama menuju masjid, dan sepanjang perjalanan kami bertemu dengan kawan-kawan yang lain, menjelang sampai di masjidpun anggota kamipun sudah ramai. Ah masa kecilku indah sekali...
“ASSALAMUALAIKUM!!”
Aku terkejut, sapaan itu keras sekali terdengar di telingaku.
“YA ALLAH..., Abang! abang ni,,, kalau pulang tidak mengagetkan orang tidak puas kah?” Aku termenung lama hingga tak sadar bahwa ia sudah pulang bahkan sudah di hadapanku.
“Kamu ni,, mengkhayal saja... kamu kira ada Dayat kecil di seberang jalan itu? Tak ada lah,,, Dayat kecil sudah lama pergi, sudah tu...masuk rumah dah malam ni!” Ia berucap datar tapi menusuk
Kini ia memang tak lagi sama dengan yang dulu, bahkan berubah drastis, aku menemukan orang lain di dirinya, bang Dayat yang kukenal dulu memang tidak ada, tetapi rasa cinta yang ada di dalam hati ini tetap ada, bahkan tetap hidup untuknya.
Aku mengikutinya masuk, menutup pintu dan mengusap air mata yang sempat jatuh di pipi. Aku memilih duduk di ruang tamu, sembari menungunggunya membersihkan diri, semua perlangkapannya sudah kusiapkan di kamar, air hangatpun sudah ada di kamar mandi, dan masakan kesukaannya yang dibuatin ibunya tadi sore juga sudah kuhidangkan, dan ia seperti biasanya tidak ingin aku temani saat makan, terkecuali ketika ada mamanya berkunjung, karena mama tinggal sendiri, terkadang mama di sini terkadang mama ikut kakak di Panam, dan terkadang mama ke Padang menemani adek bungsu bang Day, dan malam ini mama pamit ke Padang menemani adek bang Dayat yang sedang sibuk menulis skripsi.
“oi.... ooooi... anak masjid bisa temankan saya makan? Mama g ada ni, sunyi aja meja ni, sinilah duduk, kamu kan suka cerita dan agak ribut, nah sini biar ada pula yang ribut...” Astagfirullah kasarnya kata-kata yang keluar dari mulutnya, kalau mau minta tolong tak bisakah berkata baik-baik, bahkan memanggilpun “anak masjid” “kamu” dia kira aku ni anak murid di sekolah kah.., astaga memanglah aku suka sekali di masjid tapi tak haruskah memanggilku dengan panggilan anak masjid.
Dengan lemah aku jalan menuju meja makan, memasang wajah penuh senyum menatapnya yang sedang asyik makan, tapi apa balasannya...
“eh, tak usah pasnag muka senyum, aku tak akan tertarik dengan wajah sok imut tu...” jleb..
“tapi saya suka sedekah dengan abang...”
“sedekah? Kamu kira aku miskin?”
“iya... miskin perasaan, senyum itu sedekah paling sederhana lah bang... meluluhkan hati yang keras, atau terlanjur keras..” kali ini aku terpaksa melayaninya berdebat, sudah lama aku menahan hati tak melawan kata-katanya dan kebetulan tidak ada mama, kesempatan lah.
“ooooow ow ow, dah pandai anak masjid ceramah di rumah ni.... aplous...” ya Allah balasan kata-katanya.
“memang pandai... almarhum ustadz Nasir yang mengajar Me.. kenapa? Abang g datang kan waktu beliau mengajarkan ceramah, bahkan abang tak pandai kan berdiri di depan umum untuk meberikan ceramah, pantas lah abang tidak pandai bersosialisasi dengan orang di sekitar abang,...” ya Robb terpaksa lah melawan suami seperti ini, maaf kan hamba ya Allah...
“DIAM... tak usah bawa-bawa almarhum ustadz Nasir.” Ia membentakku
Sontak aku terdiam, apa dia merasakan Day kecil itu kembali, atau ia merasa bersalah karena tak mengikutI nasehat ustad Nasir, entahlah jujur aku tak menemukan dirinya yang dulu, tapi wajah diamya itu masih sama. Lama kami terdiam di meja makan, semua makanan sudah kubereskan selesai parcakapan itu tak ada percakapan yang lain..
“saya mau ke kamar, abang ada keperluan lagi dengan saya?” kalau tak ingat dia adalah suami yang akan membukakan pintu surga untukku sudah kutinggal ia dari tadi, tapi hufft demi ilmu agama yang selama ini kupelajari dan demi semua yang mendoakan ku, terpaksa aku pamit kepadanya.
“ada...” ia beranjak dari duduknya
Aku berbalik badan menghadapnya, dan ia pun menatapku tajam
“kenapa bang?” aku bertanya dengan nada lemah
“kamu... kenapa mau menikah dengan aku? Tak adakah laki-laki atau ikhwan-ikhwan pengajian kamu tu yang mau menikah dengan kamu?” aih, pertanyaan apa ini
Jleb... itu kah yang ingin dia tanya, aku masih diam membisu, tepatnya menyusun kata-kata yang pas untuk menjawabnya.
“ha, kenapa diam, tak sanggup ya ikhwan-ikhwan tu menikahi wanita seperti kamu ni? kan kamu anak masjid, kesayangan usatdz Nasir, kuliah ilmu agama pun, kenapa harus memilih aku?” inikah pertanyaannya?
Huffft, haruskah ia menghinaku seperti itu, membawa-bawa partner dakwah pulak
“kenapa saya mau menikah dengan abang? Oh itu pertanyaannya, saya balek bertanya sama abang, kenapa abang melamar saya? Membawa mama ke rumah hari itu? Kenapa?” terima balasan pertanyaan tu Day,,,
Dan ia akhirnya terdiam
“tak bisa jawab kan?” aku hendak beranjak ke kamar berniat meninggalkannya tapi terdengar juga ucapan dari dirinya.
“karena pesan almarhum papa, pesan itu beliau sampaikan saat ia sakit...” kali ini suaranya sangat rendah.
Aku berbalik arah, melihatnya menunduk, kalau lah aku berani mendekatinya...
“pesan papa kala itu, menyuruhku mencari istri seperti mama, yang bisa mengaji yang sholatnya rajin, dan bisa menemani papa, selalu ada di samping papa, saat papa sakit dan tak bisa melakukan apapun, mama tetap ada di samping papa, kamu tahu, satu nama yang disebutkan papa kala itu nama kamu, Mela Saputri, itu nama kamu kan? Bahkan kala itu aku mengangguk, walau akhirnya tak bisa mengaji bersama lagi, kamu tahu aku rindu sekali dengan masa-masa itu, terlebih saat papa meninggal, aku melihat kamu datang bersama almarhum ustadz Nasir, aku juga tahu ada duka di hati kamu, tapi.. seperti itu lah aku tak siap menerima kenyataan kala itu, bahkan memutuskan untuk tak mengaji lagi fokus dengan sekolah dan sekolah, bahkan tak sempat untuk bermain dan menjengukmu di masjid. Aku hanya mempersiapkan diri untuk bisa menerimamu menerima kenyataan menikah dengan wanita yang biasa disebut anak bedeng, rumah susun yang ada di masjid, sementara aku? Anak cevron yang rumahnya mewah-mewah.. belum lagi ejekan kawan-kawan ku di complek, itu semua menaikkan egoku... tapi.. itu semua musnah seiring berjalannya waktu dan bertambhnya usia, benih di hati ini semakin tumbuh kuat, semakin aku tak ingin bertemu denganmu semakin rindu itu datang menyerang, setelah tamat SMP, SMA aku memutuskan untuk sempurna melupakanmu, hijrah ke Padang kuliah di sana, dan yang penting bisa melupakanmu, karena selama ini suara vokalmu selau terdengar di masjid, suaramu mengajarkan ngaji anak-anak, suaramu ceramah, suaramu tilawah, semuanya mengganggu dan semakin menyuburkan benih di hati ini. Sementara ego ini semakin menjadi-jadi tak mau menikah denganmu...” ia terduduk di sofa ruang tamu.
Sementara aku sudah dari tadi menangis, tak sanggup melihat wajahnya, ternyata ada cinta dibalik egoismenya,  aku tetap berdiri, kali ini aku memberanikan diri melihatnya duduk, wajah kecilnya kembali lagi, wajah yang juga kurindukan.
Aku tahu sejak ayahnya meninggal, ia tak terlihat lagi di masjid tak terlihat lagi mengaji, apalagi bulan puasa ia sering pulang sebelum sholat witir selesai, ia pulang bersama ibunya, sementara adik dan kk nya masih tinggal, dan aku tak berani berbicara dengan kk serta adiknya karena aku tidak dekat dengan mereka, apalagi dengan ibunya aku takut dikira mencari perhatian, dan terkadang aku hanya senyum saja saat bertemu dengan mereka.
Dan saat aku ceramah, aku mengaji di masjid itu sengaja, sungguh sengaja, aku ingin ia tahu kalau aku ada di masjd, tapi apa daya ia tak peduli, dan kebanyakan hari-hari ku memang di masjid, aku selalu berusaha untuk tetap berjamaah di masjid seperti pesan ustadz Nasir.
Setelah selesai kuliah dan mendapat pekerjaan di sini, aku tak juga melihatnya ada di rumah berpagar biru itu.
“sebenarnya abang ada kok di rumah ni..!” ia menyambung ceritanya dibagian yang sama dengan yang sedang kuingat.
“abang berangkat kerja pagi, selepas subuh dan pulang setelah magrib, dan abang tahu kok, Me suka melirik rumah ini kan berharap abang ada. Tetapi hanya mama yang sering Me jumpai, dan karena mama tak sanggup melihat Me selalu bolak-balik melewati rumah abang, mama cerita semuanya ke abang, Me tahu saat itu mama mengingatkan semuanya termasuk amanah paapyang menyuruh abang melamar Me, padahal kita belum pernah bertemu setelah kita sama-sama dewasa kan?”
Aku mengagguk, walaupun berjumpa itu tak sengaja dan ia hanya tersenyum sederhana, kalaulah dia tahu benih itu juga sudah tumbuh lama di hati ini, rasa rindu dan penasaran yang menggebu-gebu tapi apa dayalah, kesibukanku yang banyak dan mengejar beasiswa S.2 di Padang.
“dan sekarang abang masih belum ikhlas kalau akhirnya abang menikah dengan saya, anak masjid? Abang menyesal kah? Atau karena amanah ayah abang? Lalu kita mau bangun rumah tangga ni atas dasar paksaan amanah almahum papa abang? Gitu...!” entah apa yang membuatku mengeluarkan kata-kata ini, lihatlah kali ini ia yang menunduk dan menangis.
“please dek, maafkan abang, kesabaran Me sudah melunturkan keegoisan abang, maafkan kesalahan abang sebulan terakhir ini...”
Aku berbalik badan, “dek” ya Allah ia memanggilku “dek”, lalu kenapa aku yang jadi egois bukankah seharusnya aku mengalah dan menerima semuanya serta membuka lembaran baru dengannya.
Ia menarik tanganku, menatapku dengan tatapan sayunya, aku melihatnya astaga... dengan setengah berlutut, ia menggenggam kedua tanganku, dan akhirnya aku temukan ia yang dulu... hatikupun luluh dibuatnya, dan mengangguk. Ia berdiri lalu mengusap air mataku
Terimakasih atas semuanya duhai Penguasa Alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar